Antara Politik Islam dan Islam Politik

Antara Politik Islam dan Islam Politik

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar

Dalam kitab Shahih Bukhari dikisahkan, ketika Rasulullah memimpin delegasi dalam perjanjian Hudaibiyyah berhadapan dengan Suhail yang menjadi pemimpin dari kaum kafir Quraish. Keduanya menggagas perjanjian damai dan sekaligus gencatan senjata.

Ketika naskah perjanjian dirumuskan, Nabi meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, namun ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing baginya. Ia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu.

Materi perjanjian itu juga kelihatan tidak adil karena sepintas menguntungkan kaum kafir, yaitu jika yang melanggar perjanjian orang kafir Quraisy Mekah di wilayah Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekkah. Akan tetapi, jika yang melanggar orang Islam di wilayah kekuasaan Mekkah, maka ia ditahan di Mekkah.

Sebagai penutup perjanjian itu, Nabi mengusulkan kata: Hadza maqudhiya ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah), kembali Suhail menolaknya dengan alasan kami berperang karena tidak mengakui anda sebagai Rasul. Ia mengusulkan kata: Hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn ‘Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

Penyoretan basmalah dan penyoretan kata “Rasulullah” serta isi perjanjiannya tidak adil, membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, namun Rasulullah meminta para sahabat untuk menyetujui naskah perjanjian itu.

Konon, Rasulullah mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata “Rasulullah”, yang dianggapnya sebagai salah suatu prinsip dasar aqidah Islam.

Setelah itu, Rasulullah menerangkan kepada para sahabatnya, mengapa perjanjian itu diterima.

Pertama, pencoretan kata bismillahirrahmanirrahim dan kata Rasulullah memang masalah, tetapi lebih besar akibatnya bagi umat Islam jika perjanjian itu ditolak, karena posisi umat Islam masih minoritas.

Butir-butir perjanjian itu diterima agar kaum kafir Quraisy Mekah tidak ditahan di Madinah agar tidak ikut membebani ekonomi Madinah yang sudah dibanjiri pengungsi. Sedangkan orang Islam yang dibiarkan ditahan di Mekkah pasti akan berusaha menjalankan politik tertentu untuk memecah belah kekuatan kaum kafir Quraisy di sana. Alhasil, semua prediksi Rasulullah benar dan sahabat kemudian mengagumi kecerdasan Rasulullah.

Inilah politik Islam. Terkadang harus mundur selangkah untuk meraih kemenangan. Dalam posisi umat Islam masih minoritas, tidak ada cara terbaik kecuali kooperatif dengan keiinginan mayoritas, demi menyelamatkan umat.

Terkadang juga harus bersabar dan menanti saat yang tepat untuk memulai sebuah strategi baru untuk mencapai kesuksesan menyeluruh.

Politik Islam bukan untuk mentolerir jatuhnya korban hanya untuk mencapai kemenangan politik secara simbolis. Kemenangan substansial jauh lebih berharga ketimbang kemenangan simbolik. Untuk apa kemenangan simbolik jika substansi Islam tidak bisa diimplementasikan.

Ketika Ali dan Mu’awiyah berseteru, masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Ali sudah dilantik menjadi khalifah keempat tetapi tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah peperangan yang disebut Perang Shiffin.

Mu’awiyah didukung oleh ‘Aisyah, isteri Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh isterinya, Fathimah, putri Nabi. Perang tidak dapat dielakkan antara keduanya. Di tengah perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal sebagai politikus cerdik di pihak Mu’awiyah, menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.

Ia menggunakan simbol 500 Al-Qur’an yang diusung diujung tombak sambil mengajak semua pasukan untuk kembali kepada penyelesaian secara Al-Qur’an. Ali dan Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ary, seorang ulama yang disegani dan Amru ibn Al-Ash mewakili pihak Mu’awiyah.

Amr ibn ‘Ash tahu keshalihan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar demi kemuliaan Islam dan demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali dan Mu’awiyah mengundurkan diri lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.

Dengan lugu Abu Musa, perunding mewakili pihak Ali ibn Ai Thalib menerima usulan itu. Ia diminta berpidato lebih awal di depan massa dan pasukan kedua belah pihak. Ia menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan kini saatnya kita akan mencari khalifah yang dapat diterima oleh semua pihak.

Tiba giliran Amr ibn ‘Ash, menelikung pernyataan itu dengan mengatakan, oleh karena sekarang tidak ada lagi khalifah, maka dengan ini kami melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya, maka peperangan pecah kembali. (rm.id/zm)

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat kolom opini Tangsel Pos Jumat 2 September 2022. Lihat di  https://tangselpos.id/detail/2884/antara-politik-islam-dan-islam-politik