Analisis Psikologi Islam Terhadap Puasa

Analisis Psikologi Islam Terhadap Puasa

[caption id="attachment_11801" align="alignright" width="225"]IMG-20160629-WA0008.jpg Dekan Fakultas Psikologi Prof Dr Abd Mujib MAg sedang menyampaikan Kultum Zhuhur di Masjid al-Jamiah Student Center UIN Jakarta, Selasa (28/6/16)[/caption]

Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saya diminta oleh satu perusahaan di Kalimantan. Di sana saya diminta untuk mengisi berbagai acara. Ada acara di televisi lokal, radio, mengisi khutbah jumat, training dan salah satunya ada juga sesi konseling.

Ketika itu, ada seorang ibu datang ke saya. Wajahnya sangat muram. Dia terlihat menderita, kemudian duduk di depan saya. Lalu saya tanya, apa yang bisa saya bantu ? dia hanya diam sampai setengah jam. Kemudian saya tanya lagi. Ibu itu kemudian menangis sangat kuat. Seolah-olah dia punya masalah yang di pendam, dan baru kali ini dia bisa menangis meluapkannya. Tak lama, sedikit demi sedikit dia kemudian bercerita.

Ibu ini punya penyakit yang sangat berat. Pertama, Insomnia atau sulit tidur. Kalau pun tidur dia pasti selalu mimpi buruk. Sementara kalau kurang tidur, kondisi badan jadi kurang fit. Karena tidur adalah istirahat yang paling bagus.

Penyakit kedua, penyakit Anti Sosial. Ketika saya bertemu dengan perempuan lain, seolah-olah perempuan tersebut mengatakan kepada saya bahwa saya wanita jalang, jelek, tidak patut datang ke tempat ini. Dengan perasaan seperti itu, ibu ini tidak mau bertemu dengan orang lain. “Jangankan masuk majelis talim tertentu, untuk bertemu orang saja saya menderita. Seolah-olah saya ini adalah wanita yang jelek. Padahal, tak seorang pun mengatakannya, itu hanya perasaan saya saja,” katanya.

Ternyata ibu ini, pada masa lalunya pernah pacaran dan berjanji untuk menikah. Namun sayangnya anak perempuan di sana tidak mungkin mencari pilihannya sendiri. Sehingga si ibu menikah dengan lelaki lain. Setelah menikah, si ibu ini masih berhubungan dengan pacarnya. Bahkan dalam pengakuannya, anak pertamanya adalah anak hasil hubungan gelap dengan pacar sebelumnya, bukan dengan suaminya yang sekarang.

Si Ibu merasa menderita ketika anak pertamanya terlahir idiot. Saking idiotnya, untuk buang air saja, kalau tidak diantarkan ke toilet, dia akan buang air di sembarang tempat. Wajah anaknya tidak begitu baik. Sementara, anaknya yang kedua, wajahnya sangat cakep, bahkan dia menjadi 5 besar terbaik di sekolahnya.

Akan tetapi, suaminya justru lebih sayang kepada anak yang pertama. Padahal bukan anak biologisnya. Hal inilah yang jadi baban batin si ibu selama ini. Sehingga dia punya dua penyakit tadi (Insomnia dan Anti Sosial). Lalu si ibu bertanya, “apakah saya harus cerita kepada suami saya ?,”

Pertanyaan yang sangat dilematis bagi konselor untuk menterapi ibu tersebut. Sebab kalau dijawab harus mengatakan terus terang, jangan-jangan suaminya marah, lalu menceraikan si ibu tadi dan meninggalkan anaknya. Sementara, kalau dibilang tidak perlu diceritakan kepada suaminya, cuku diam saja, itu akan menjadi beban batin sangat luar biasa bagi si ibu.

Mengapa si ibu mempunyai penyakit dua tadi (Insomnia dan Anti Sosial) ?. Dalam ilmu Psikologi, ini yang disebut dengan Giulty Feeling atau rasa bersalah (berdosa). Banyak masalah berat sesungguhnya diawali dengan rasa bersalah. Kalau kita lihat, dalam wacana psikologi Islam justru sumber penyakit jiwa itu adalah dosa. Dosa sebagaimana dalam hadits nabi adalah apa yang membimbangkan, mencemaskan, menggalaukan, menggelisahkan, mengkhawatirkan di dalam dada. Seseorang benci jika perbuatannya jika diketahui orang lain.

Jadi dosa itu ada dua masalah dalam Psikologi. Pertama, masalah simptomatis, yaitu jiwanya terasa gelisah, resah, dan seterusnya. Kedua, dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan orang lain karena takut perbuatannya diketahui orang lain. Dalam hadits lain disebutkan, apabila seorang hamba melakukan satu kesalahan, maka dicatat dalam hatinya satu titik hitam.

Banyak dimensi puasa yang bisa kita pelajari, salah satunya adalah dimensi Kesehatan Mental. Puasa secara psikologis bisa menghilangkan simptom atau gejala-gejala psikologis yang mengganggu jiwa kita. Termasuk juga rasa berdosa dan bersalah. Perintah Allah SWT terhadap kita, salah satunya puasa ini sangat bagus untuk terapi. Baik untuk terapi insomnia, kegelisahan, dan keadaan sulit menyesuaikan diri yang diakibatkan oleh Giulty Feeling.

Pada intinya, kita semua harus berusaha di akhir ramadhan ini untuk memaknai dan mencari hikmah dari puasa yang kita lakukan. Karena puasa sesungguhnya bukan semata-mata kewajiban. Tetapi sudah menjadi kebutuhan untuk menumbuhkan dan mengembangkan psikologi kita, supaya yang sakit menjadi sembuh, dan yang sembuh menjadi berkembang lebih baik.

Disarikan oleh Nur Jamal Shaid dari kultum Ramadhan Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag di Masjid Al-Jami’ah UIN Jakarta, Selasa 28 Juni 2016.