Alquran dan Aktualisasi Peran Kenabian

Alquran dan Aktualisasi Peran Kenabian

NUZUL (turunnya) Alquran di bulan Ramadhan merupakan “anugerah dan berkah terindah” dari Allah SWT untuk umat manusia, khususnya umat Islam. Semua ayatnyabagian intan berlian yang dari sudut pandang mana pun dilihat dan dibaca selalu memancarkan kilauan cahaya yang indah, menarik, dan unik.

Bagaimana kilauan cahaya Alquran itu menyinari, mencerahkan, dan mencerdaskan umat sehingga nilai-nilai dan pesan-pesan moral Alquran itu membumi, mewarnai, dan menginspirasi kehidupanberperadaban maju? Jika Rasulullah itu ibarat “Alquran berjalan”, bagaimana umat merespons, meyakini, dan mengaktualisasikan peran kenabiannya dalam konteks sosial dan perubahan zaman?

Lima Peran Kenabian

Peran kenabian sangat penting dipahami agar umat, khusus ulama sebagai pewaris nabi, dapat meneladani dan memainkan peran kenabian dalam membumikan Alquran. Peran kenabian (prophetic roles) dijelaskan oleh Allah dalam kitab suci-Nya. “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.” (QS al-Ahzab [33]: 45-46)

Peran kenabian itu sejatinya merupakan manifestasi dari visi dan misi kerasulan, yaitu mewujudkan Islam rahmatan li al-‘alamin (sebagai agama rahmat bagi semesta raya). “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Dengan kata lain, visi dan misi kerasulan Muhammad SAW, dengan Alquran dan as-Sunnah sebagai sumber acuan dan referensinya, dapat “dibumikan” dan diteladankan melalui aktualisasi peran kenabian.

Ada lima peran kenabian yang menjadi faktor penentu keberhasilan realisasi visi dan misi Islam tersebut. Pertama, peran sebagai saksi dan bukti (syahid) kebenaran Alquran. Dalam konteks ini,Nabi SAW menjadi saksi dan bukti langsung dan faktual dari nilai-nilai Alquran. Perintah salat misalnya langsung diamalkan dan dicontohkan oleh Nabi, sehingga para sahabat diinstruksikan untuk mengikuti tata caranya. “Salatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR al-Bukhari). Peran kenabian ini menghendaki “contoh, teladan, dan bukti konkret” pengamalan ajaran dalam kehidupan.

Kedua, peran sebagai penyampai kabar gembira (mubasysyir). Peran kenabian ini menghendaki kompetensi sebagai motivator yang dapat memberikan harapan masa depan yang lebih baik. Peran ini menuntut kemampuan meyakinkan ada kehidupan sesudah mati (akhirat), sehingga umat termotivasi untuk berbuat baik dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) demi mengharapkan rida Allah dan surga-Nya. Dalam hal ini, Alquran sarat dengan kabar gembira dan harapan masa depan yang sangat menjanjikan bagi orang mukmin.

Misalnya saja, “Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka.” (QS Muhammad [47]:15)

Ketiga, peran sebagai pemberi peringatan (nadzir). Selain dimotivasi, umat perlu juga diberi peringatan terhadap adanya hukuman setimpal dan siksa di akhirat kelak agar tidak melanggar aturan, tidak melakukan kemaksiatan dan kemungkaran seperti korupsi dan berlaku curang. Peran ini sangat penting diaktualisasikan dengan penegakan hukum secara adil supaya masyarakat tertib, taat asas, disiplin, aman, dan damai.

Keempat, peran sebagai penyeru (dai) kepada agama Allah. Alquran diturunkan kepada umat agar difungsikan antara lain sebagai petunjuk (huda), pembeda (furqan) antara kebenaran dan kebatilan, dan sebagai penjelas (bayyinat) antara satu ayat dengan ayat lainnya. Peran ini menghendaki kompetensi komunikasi dan edukasi yang efektif dalam mencerdaskan dan mencerahkan akal sehat umat. Dengan demikian, dakwah amar makruf nahi munkar merupakan tugas mulia setiap mukmin dalam rangka pembumian Alquran.

Kelima, peran sebagai cahaya yang menerangi atau penerang jalan dan pencerah kehidupan. Alquran merupakan cahaya (nur) yang sarat dengan ajaran dan pesan yang mencerahkan. Karena itu, peran kenabian ini mengharuskan umat tampil menjadi inspirator yang menggerakkan hati dan pikiran untuk meraih cita-cita mulia dan berprestasi tinggi. Nabi SAW membuktikan diri sebagai pencerah dan inspirator sejati yang paling sukses dalam memengaruhi dan menggerakkan umat manusia sehingga kata-kata dan perilaku beliau diikuti dan ditransmisi (diriwayatkan) dari generasi ke generasi dalam Hadits yang kemudian dibukukan dalam banyak kitab Hadits seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Turmudzi, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan sebagainya.

Menuju Peradaban Alquran

Perintah pertama Alquran yang turun kepada Nabi SAW ketika berkhalwat (berkontemplasi) di Gua Hira, Jabal Nur, sejatinya memberi isyarat kuat bahwa umat Islam harus menjadi umat pembaca (ummah qari’ah) dalam arti luas. Tidak hanya membaca yang tersurat seperti ayat-ayat Quraniyyah dan aneka referensi ilmu pengetahuan, tetapi juga membaca yang tersirat dan terdapat dalam ayat-ayat kauniyyah dengan segala tanda keagungan dan kebesaran Allah di alam raya.

Karena itu, perintah iqra’ dalam surat al-‘Alaq: 1-5 tidak dibatasi objeknya, tetapi dipagari spirit membacanya bi ismi Rabbik (dengan menyebut nama dan semata-mata karena mengharap rida-Nya) sehingga melahirkan etos akademik dan intelektualisme: menelaah, mengkaji, meneliti, dan mengembangkan sains dan teknologi. Iqra’ bi ismi Rabbik merupakan landasan spiritual dan moral dalam pengembangan peradaban Alquran.

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, jika peradaban Yunani adalah peradaban akal (pemikiran), sementara peradaban Mesir pra-Islam adalah peradaban pascakematian, maka peradaban Islam adalah peradaban teks. Peradaban teks sendiri sejatinya merupakan hasil dialektika antara interaksi umat dengan Kitab Suci, realitas sosial, dan semesta raya melalui proses pembacaan kritis dan kreatif. Dengan kata lain, pembacaan Alquran yang dikontekstualisasikan dengan realitas sosial dan ayat-ayat semesta meniscayakan lahirnya peradaban berkemajuan dan berkeadaban.

Di era post-truth ini, inspirasi dan nilai-nilai kebenaran Alquran harus tetap menjadi referensi umat dalam mengelola kehidupan menuju tegaknya peradaban Alquran itu sendiri. Tanpa cahaya terang Alquran, umat manusia akan mengalami disorientasi dalam menapaki jalan kehidupannya. Karena, sesuai dengan fungsi utamanya, Alquran membumi untuk memberi petunjuk yang jelas dan peta jalan kehidupan yang lurus dan benar menuju kebahagiaan hakiki, duniawi, dan ukhrawi.

Tidak berlebihan apabila umat Islam selalu menjadikan Alquran sebagai “imam” yang membimbing perjalanan hidupnya dalam semua aspek kehidupan. Jika Alquran dipandang sebagai “jamuan spesial” Allah (ma’dubatullah), maka umat harus dapat menikmati jamuan spiritual itu sebagai energi positif untuk melakukan perubahan progresif menuju terwujudnya peradaban Alquran, yaitu peradaban berbasis iman, ilmu, dan amal saleh (karya produktif yang bermanfaat dan bermaslahat bagi umat manusia).

Meski sedang dipenjara, mufasir Sayyid Qutub dalam pengantar tafsirnya, Fi Zhilal al-Quran, menyatakan bahwa hidup di bawah naungan Alquran itu sungguh nikmat. Sudahkah umat merasa nikmat dengan membaca dan bertadarus Alquran, sehingga pembacaannya membuahkan spirit pembangunan peradaban Alquran? Mari kita mulai menikmati pembacaan Alquran dengan spirit aktualisasi lima peran kenabian tersebut dan dengan semangat menjadi umat terbaik (khair ummah) di segala lini kehidupan dengan teladan kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan persatuan.

Dr Muhbib Abd Wahab MAg, Ketua Prodi Magister PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran Sindo, Rabu, 22 Mei 2019. (lrf/mf)