Aktualisasi Nilai Kepramukaan

Aktualisasi Nilai Kepramukaan

PRAMUKA sangat lekat dalam sistem pendidikan nasional. Ia identik dengan sekolah. Tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Setiap siswa pasti merasakan pengalaman menjadi anggota pramuka, berikut dengan atributnya; seragam cokelat, topi, tali putih, peluit, dasi merah putih, dan ikat pinggang berlogo tunas kelapa.

Pramuka menjadi ekstrakrikuler wajib di sekolah karena dianggap mampu mengembangkan nilai-nilai baik dalam diri siswa, seperti disiplin, mandiri, kerja sama, dan tanggung jawab. UU No 12/2010 tentang Gerakan Pramuka dan Permendikbud No62/2014 tentang Kegiatan Ekstrakulikuler pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah merupakan penegasan pentingnya gerakan pramuka dalam sistem pendidikan nasional dan pembentukan karakter siswa.

Pertanyaannya, pertama, apakah pramuka sudah berhasil mengembangkan nilai-nilai baik dalam diri anggota mereka? Kedua, apakah kurikulum pramuka masih relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan zaman, dan kebutuhan masyarakat (users)?

Riset Anggriani dkk (2013) menyimpulkan pramuka berpengaruh terhadap perubahan perilaku siswa sebesar 41,4%. Hasil riset Octaviani (2016) menyatakan pramuka mampu membentuk karakter siswa. Kesimpulan riset Sulistiyarini (2016) juga menyebutkan pramuka mengembangkan kemandirian dan tanggung jawab. Kecuali itu, menurut ketiga riset itu, pramuka mengalami kendala dalam implementasi yang kerap tidak sesuai dengan yang direncanakan secara tertulis. Waktu pelaksanaan, jumlah pembina tidak sesuai dengan jumlah siswa, minat siswa rendah, dan bolos saat kegiatan.

Bisa jadi bagi siswa saat ini, pramuka tidak lebih menarik daripada kursus bahasa Inggris dan matematika.

Belajar hidup bersama

Empat pilar pendidikan menurut UNESCO ialah belajar mengetahui, belajar melakukan sesuatu, belajar menjadi sesuatu, dan belajar hidup bersama. Pilar keempat terasa belum bisa dicapai pendidikan kita karena pelajar kita belum mampu menghargai perbedaan, egois, penuh amarah, dan pendendam.

Sementara itu, tugas pendidikan yang paling berat ialah pembentukan karakter. Luaran pendidikan tidak hanya harus cerdas, tetapi punya integritas. Karena itu, beragam strategi dilakukan pemerintah untuk pengembangan sikap dan perilaku positif siswa. Mewajibkan ekskul pramuka ialah salah satunya.

Peran sentral pramuka saat ini patut disoal mengingat peningkatan tawuran, perundungan, bahkan radikalisme di kalangan pelajar dan pemuda Indonesia. Logikanya pramuka baru bisa dianggap berhasil jika tawuran, perundungan, dan radikalisme menurun. Faktanya tidak, perilaku destruktif pelajar justru semakin mengkhawatirkan. Contoh, pada 2018 tawuran pelajar terjadi di Depok, Bogor, Medan, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon.

Korban tawuran tidak hanya mengalami luka, tetapi juga kehilangan nyawa. Pelaku tawuran tidak hanya pelajar SMA/SMK, SMP, tetapi juga SD. Siswa tidak segan membawa senjata tajam untuk melukai lawan.

Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 22% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara itu, 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.

Pramuka harus terlibat aktif mencegah tumbuhnya sikap-sikap intoleran, dendam, kebencian, marah, di kalangan pelajar sejak dini. Ia tidak bisa tidak harus memberi solusi terhadap masalah-masalah remaja dan bangsa agar eksistensinya memberi kemanfaatan pembangunan pendidikan, keamanan, dan demokrasi santun dan penuh adab.

Tiga persoalan itu bisa menjadi fokus utama pembina pramuka dalam menyusun materi kepramukaan. Nilai kecintaan pada alam dan sesama manusia yang menonjol dalam setiap kegiatan pramuka harus bisa mewujud dalam penolakan siswa terhadap tawuran dan perundungan. Anggota pramuka harus saling menyayangi sesama pelajar meskipun beda sekolah. Pembina pramuka perlu menekankan hal itu agar nilai-nilai kepramukaan membumi, kontekstual, dan aktual.

Sementara itu, nilai kecintaan pada Tanah Air dan bangsa harus bisa ditampilkan dalam penolakan siswa terhadap intoleransi, makar, radikalisasi, dan (ide) penggantian Pancasila sebagai dasar negara. Setiap selesai melakukan kegiatan kepramukaan, pembina menjelaskan nilai apa yang terkandung dalam kegiatan apa, dan mengaitkannya dengan masalah kekinian yang bisa merusak NKRI. Menurut Ralph Waldo Trine dalam Character Building Thought Power (2008), 'Sikap, kebiasaan, karakter, dan hidup manusia sangat bergantung pada kemampuan mengontrol pikiran'.

Muda suka berkarya

Pramuka merupakan singkatan dari praja muda karana yang berarti jiwa muda yang suka berkarya. Seorang anggota pramuka harus rajin, terampil, dan produktif. Anggota pramuka harus membuktikan bahwa melalui kepramukaan, ia bisa menghasilkan karya nyata dan meraih prestasi.

Kepramukaan harus melampaui aktivitas basah-basahan di sawah, melumpur, baris-berbaris di tengah terik matahari, jurit malam, api unggun, berkemah, melewati kuburan di tengah malam, dan beragam latihan fisik lainnya.

Jim Boeglin dalam Character Building (2018) menulis, 'I would learn about character in nonmilitary ways'. Pramuka harus mengembangkan sikap rasa ingin tahu dan cinta belajar kepada para anggotanya. Kedua sikap itu modal pelajar untuk berkarya sesuai dengan bakat masing-masing (kecerdasan jamak).

Pramuka harus menumbuhkan sikap-sikap yang koheren dengan terwujudnya pelajar yang kreatif dan berkarya nyata. Kecuali pramuka, siswa tersebar dalam ekskul-ekskul lainnya, seperti bahasa asing, melukis, musik, tari, karya ilmiah remaja (KIR), dan tata boga.

Bakat-bakat anggota yang beragam itulah yang harus 'didukung' kepramukaan dan pembina pramuka. Pertama, pramuka bisa melombakan melukis, musik, KIR, atau tata boga dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Hal itu akan menghapus kesan bahwa pramuka identik dengan prestasi nonakademik. Pramuka menghadirkan diri sebagai wadah pengembangan akademik dan nonakademik, tanpa harus meniggalkan ciri khasnya, yaitu latihan ketahanan fisik dan kepemimpinan.

Kedua, pramuka bisa menampilkan prestasi anggotanya dalam bidang beragam, seperti melukis, bermusik, memasak, atau karya tulis. Pramuka perlu menghadirkan wajah prestasi anggotanya sebagai penghargaan sekaligus motivasi bagi anggota lainnya. Pramuka bisa menjadi jembatan anggotanya meraih prestasi sesuai dengan bakat masing-masing.

Aktualisasi nilai-nilai kepramukaan sangat penting agar pelajar zaman now tertarik mengikuti ekskul wajib ini. Kontribusinya dalam menjawab masalah-masalah pelajar dan kebangsaan yang masih menghantui negeri ini harus jelas. Jika tidak, pramuka sekadar habituasi ritual fisik yang kadang tidak produktif, melelahkan, dan membosankan.

Jejen Musfah

Dosen Kebijakan Pendidikan S-2 UIN Jakarta, Pengurus Besar PGRI

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini harian Media Indonesia, edisi Senin 13 Agustus 2018 (lrf)