Agama Inklusif Jadi Benteng

Agama Inklusif Jadi Benteng

Meski berkembang di dunia, populisme agama, khususnya populisme Islam, sulit berkembang di Indonesia. Demikian juga populisme agama tidak berpeluang memenangi politik dan kekuasaan Indonesia.

Akhir-akhir ini muncul fenomena populisme agama di dunia. Di Indonesia, gerakan populisme agama tidak memiliki prospek berkembang karena watak agama-agama di Indonsia yang inklusif serta tataran hukum dan realitas politik Indonesia yang tidak memberikan tempat bagi gerakan politik semacam populisme agama.

Di Eropa, sekitar tiga dasawarsa terakhir beberapa figur politik menyusun gerakan populisme seperti yang dilakukan Geert Wilder di Belanda dan Marine Le Pen di Perancis yang mendirikan partai populisme politik masing-masing.

Di Amerika Serikat, dalam beberapa tahun terakhir populisme politik menguat dan berpuncak pada terpilihnya Donal Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2016. Gerakan-gerakan yang diusung, seperti ideologi anti-migran, anti-Muslim, dan anti-Uni Eropa. Belakangan, fenomena semacam ini juga terjadi di Indonesia dengan bangkitnya gerakan populisme agama, khususnya populisme Islam.

‘’Apakah populisme agama, khususnya populisme Islam, memiliki peluang memenangi politik dan kekuasaan di Indonesia? Menurut saya, tidak ada tempat bagi populisme Islam di Indonesia. Kalaupun  ada, itu (berasal) dari luar. Populisme Islam yang dibawa gerakan-gerakan tertentu sebetulnya boleh dibilang berada pada pinggiran  masyarakat Muslim di Indonesia dan sangat terkait dengan politik,’’ kata Guru Besar Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra di Jakarta, Kamis, (10/1/2019) malam.

Azyumardi mengatakan hal tersebut dalam acara kajian Etika dan Peradaban Edisi Kelima dengan tema ‘’Modal Spiritual, Populisme Agama, dan Kemajuan Masyarakat‘’ di Auditorium Nurcholish Madjid Kampus Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

Diskusi tersebut digelar Paramadina Institute of Ethics and Civilization bekerjasama dengan Yayasan Persada Hati di Auditorium Nurcholish Madjid. Selain Azyumardi, hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini, antropolog Universitas Boston, Prof Robert Hefner, dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, Pendeta Martin Lukito Sinaga, dengan moderator dosen Program Magister Studi Islam Universitas Paramadina, Sunaryo.

Islam ‘’Wasathiyah’’

Azyumardi mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan popularisme Islam di Indonesia sulit memiliki masa depan dalam kancah politik dan kekuasaan. Pertama, realitas Islam Indonesia yang bersifat Wasathiyah (Islam jalan tengah) dan insklusif tidak cocok dengan pemikiran dan praksis politik yang mengandalkan kekuatan massa yang cenderung konfrontatif. Meskipun ada elemen masyarakat arus utama yang simpatik dan pro pemikiran dengan gerakan populisme Islam, arus utama dalam ormas-ormas tetap memegang Islam Wasathiyah.

Kedua, tatanan hukum dan realitas politik Indonesia tidak memberikan tempat bagi gerakan politik semacam populisme Islam. Bisa jadi kekuatan politik, seperti partai politik tertentu, memanfaatkan masa populisme Islam dapat mengarahkan parpol.

“Indonesia beruntung memiliki Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai garda atau benteng Islam jalan tengah yang punya komitmen pada NKRI dan pancasila. Karena itulah, populisme Islam tidak punya prospek di Indonesia,” katanya.

Robert sebagai antropolog yang mengamati situasi Indonesia puluhan tahun beranggapan, inilah saatnya Indonesia sebagai negara besar tampil di pentas internasional untuk mengingatkan negara-negara Barat bahwa nasionalisme dan demokrasi yang inklusif sama sekali bertentangan dengan agama Islam.

“Keistimewaan Indoneisa terletak pada sosiabilitasnya, identitas orang Indonesia yang memiliki latar belakang sosial, multietnis, inklusif, dan pluar. Inilah yang memberikan sumbangan terhadap nasionalisme Indonesia,” ucapnya.

Sumber: Koran Kompas, Sabtu, 12 Januari 2019, h. 10.(lrf/mf/abk)