KELEBU

KELEBU

Katagori Budaya dan Bahasa

Betawi DepokĀ  Oleh: Syamsul Yakin Penulis Buku "Milir" Dosen Magister KPI FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kelebu itu adalah karam atau tenggelam. Perahu yang dimasuki air perlahan akan kelebu. Jadi kelebu bukan hanya karena air hujan, tapi air apa saja yang membuat karam dan tenggelam.

Tapi bagi masyarakat Betawi Depok, kelebu itu identik dengan kebanjiran karena hujan yang turun dalam waktu lama. Empang yang limpas dinamakan kelebu. Kalau hujannya gede, air limpas ke empang-empang yang ada di sebelahnya. Sehingga batas antara empang yang satu dengan empang lainnya tidak terlihat. Ikan-ikan yang dipelihara juga sudah jadi satu. Menariknya, dalam kondisi kelebu, orang bebas mengambil ikan di lokasi tersebut dengan menggunakan umbing atau jala. Apalagi kalau air hujan masih terus turun.

Hulu Kali Pesanggerahan itu adalah gabungan dari berbagai kali. Jadi satu di Sawangan. Dari Sawangan melintasi Parung Bingung, Meruyung, Limo, terus ke Bintaro, Ulujami, hingga ke laut. Sebelum tahun 2000, Sawangan, Parung Bingung dan Meruyung sering kelebu karena curah hujan yang tinggi dan hujan yang tak kunjung berhenti.

Ketika air Kali Pesanggerahan limpas, yang kelebu bukan hanya empang, tapi juga sawah, tanaman palawija seperti kacang, timun, pare, terong, dan juga oyong.

Namun sebelum tahun 1980, di sepanjang Kali Pesanggerahan hampir tidak ada empang, yang ada hamparan sawah yang ditanami padi dan palawija. Pergeseran sawah jadi empang baru terjadi sekitar tahun 1990, ketika sawah mulai ditinggalkan pemiliknya karena dianggap tidak produktif menanam padi dan palawija. Pasalnya harga pupuk mahal. Namun penyebab utamanya karena generasi kedua pemilik sawah sudah jadi anak sekolahan. Ada di antara anak pemilik sawah yang jadi guru di sekolah, kerja di instansi, atau memilih kerja di kantor swasta. Akibatnya sawah terbengkalai. Untuk memanfaatkan sawah, cara yang paling mudah adalah dibuat empang.

Jadi kalau sebelum tahun 1980 yang kelebu itu adalah sawah dan palawija, maka pada 1990 yang kelebu itu adalah gabungan sawah dan empang. Kelebu pada era inilah yang membuat orang sekampung turun membawa alat penangkap ikan seperti seser, lambit, tanggok, umbing, atau tebar. Sumber ikan datang dari empang-empang yang kanyut dibawa air dari beludik, atau dari empang yang ada lokasi sendiri. Inilah pesta rakyat masyarakat Sawangan, Parung Bingung, Meruyung, Limo yang sekarang sudah jarang terjadi.

Dahulu kelebu itu hampir terjadi setiap tahun. Bahkan ada istilah banjir besar lima tahunan pada sepanjang Kali Pesanggerahan. Hampir dua dekade ini, ketika sisi kiri dan kanan Kali Pesanggerahan sudah jadi perumahan, justru banjir besar lima tahunan tidak pernah terjadi. Saya belum menyelediki sebab-musababnya.

Kalau diselidiki, saat ini limbah rumah tangga dibuang ke Kali Pesanggerahan. Sisi kiri dan kanan Kali Pesanggerahan sebagian sudah dibeton oleh pengembang. Sementara sawah yang berfungsi menampung air saat hujan juga sudah diurug. Namun banjir tahunan dan lima tahunan malah tidak terjadi lagi. Sejumlah perumahan dan cluster yang ada di pinggir Kali Pesanggerahan saya saksikan belum ada yang kelebu. Memang andaikata perumahan tersebut kelebu orang tidak lagi datang mencari ikan, karena empang sudah jadi sarang orang.

Terus terang saya rindu kelebu. Rindu melihat pohon timun bapak saya kelebu galengannya. Ini kelebu yang disengaja. Karena pohon timun hendak digubuhin. Saya juga rindu melihat uangan kelebu, karena saya bendung untuk sekadar bermain-main saja. Saya rindu melihat para petani pulang kehujanan berpayungkan daun sente atau daun pisang. Dulu, saat saya jadi petani bayam, lahan saya juga pernah kelebu. Lucunya, pohon bayam yang kelebu itu setelah kering harus buru-buru saya siram dengan kocor. Sebab kalau tidak, daun bayam bisa jadi rombeng. Kalau rombeng tentu tidak laku dijual.(sam)