“Syakur” (Menjadi Manusia yang Bersyukur)

“Syakur” (Menjadi Manusia yang Bersyukur)

Oleh Prof. Dr. Masri Mansoer

Kemanusian kita bukan diukur oleh seberapa banyak harta kekayaan dan pengetahuan yang kita miliki, tetapi ditentukan oleh seberapa banyak dan besar syukur kita kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah/mengkapitalisasi (nikmat)-Ku kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim: 7). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Luqman: 12).

Kata “Syukur” dan yang seakar dengannya disebutkan sebanyak 75 kali dalam al-Qur'an dan juga menyebutkan sejumlah arti yang sama (75 kali) untuk kata “Bala’” (musibah).

Kata syukr - yang terdiri atas kata syinkaf, dan ra’, secara bahasa, bermakna membuka, menampakkan, menyingkap, dan menunjukkan. Lawannya kafara menutup, menyembunyikan atau meingkari.

Dalam  Maqayisul Lughah ditemukan empat makna kata sya-ka-ra. Pertama, adalah pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh seseorang. Ketika mendapat nikmat kita baca alhamdulillah umpamanya. Kedua, syukr  bermakna penuh atau lebat/subur. Ketika kita mendapatkan nikmat kita gunakan untuk kebaikan, maka akan ditambah oleh Allah SWT sebagaimana Surah Ibrahim ayat 7.

Ketiga, syukur dalam pengertian sikap manusia yang ridha dan puas atas nikmat Allah SWT, baik banyak maupun sedikit.

Melalui makna dasar tersebut  tergambar bahwa siapa yang merasa puas dengan perolehan nikmat yang sedikit setelah berusaha dengan maksimal, maka hakikatnya dia akan memeroleh nikmat yang banyak, lebat, dan subur, mengingat balasan Allah tidak selalu dalam bentuk material yang kasat mata, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah rasa bahagia.

Keempat, sebagaimana dijelaskan Raghib al-Ashfahani dalam Mufradat-nya berpendapat bahwa kata syukr juga berarti sebagai upaya untuk mau menampakkan nikmat-nikmat Tuhan ke permukaan dengan tujuan bukan pamer (lihat penghujung surah adh-Dhuha). Dengan demikian, makna syakara dalam hal ini menampakkan nikmat Allah merupakan lawan dari kafara (menutup) atau tidak mau mensyukuri nikmat Allah SWT.

Dengan demikian, makna kata dasar syukr di atas dapat kita pahami dengan perasaan syukr menuntut pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan dan pengamalan/pemanfaatan nikmat tersebut melalui anggota tubuh.

Mensyukuri nikmat sehat pendengaran, penglihatan, dan suasana hati, haruslah disyukuri dengan jalan hanya mendengar, melihat, dan merasakan yang baik-baik dan halal saja menurut aturan Islam. Yaitu berupaya sekuat tenaga hanya melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang membuat kita selalu ingat kepada Allah (dzikrullah), atau menghindari diri dari hal-hal yang dapat membuat kita lupa kepada-Nya dan mendorong kita memperturutkan hawa nafsu serta mengikuti ajakatan setan. Semua ibadah yang diwajibkan dalam Islam selain untuk menjadikan kita manusia bermoral adalah tanda kita bersyukur.

Imam Ghazali menyebutkan, syukur itu tersusun dari tiga unsur, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Ilmunya ialah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterima itu semata-mata dari Allah SWT. Keadaannya adalah menyatakan kegembiraan atau bahagia karena memperoleh kenikmatan. Amalnya adalah menunaikan nikmat itu sesuai dengan tujuan penciptaan nikmat dengan perbuatan yang dicintai dan ridhai oleh Allah SWT.

Sehingga akhirnya, makna syakara ini sangat terkait dengan kata yasykur, syakir maupun syakur.

Kata yasykur (bentuk fi’l mudhari/kegiatan yang terus menerus dilakukan) bermakna upaya yang terus menerus (kontinuo) dan sungguh-sungguh untuk mensyukuri nikmat Allah. Sedangkan syakir, tingkatannya lebih tinggi dari yasykur - jika bersyukur semakin sering (instens) dilakukan oleh seorang hamba, maka ia akan memeroleh derajat syakir, yaitu yang selalu bersyukur dalam keadaan bagaimanapun, keadaan duka, susah dan ditimpa musibah seperti musibah korona ini dia tetap bersyukur, apalagi dalam keadaan suka.

Selanjutnya, syakur, yaitu perasaaan dan kesadaran untuk mensyukuri nikmat Allah telah menginternalisasi atau mendarah daging (baik bersyukur terhadap cobaan dari Allah) telah menjadi kepribadian seorang hamba, maka mereka akan memeroleh derajat tertinggi yakni syakur.

Tingkatan ketiga sulit dilakukan, karenanya, al-Qur’an melukiskan bahwa sangat sedikit hamba Allah yang memperoleh derajat syakur, “Dan sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang syakur (mau berterimakasih)” (QS Saba: 13). Dengan memahami ketiga makna dan proses syukur ini, kita akan dibimbing oleh Allah menjadi orang-orang yang syakur.

Kenapa kita perlu bersyukur, karena telah banyak nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita secara gratis, kalua kita bersyukur hakekatnya kita telah bersyukur untuk diri sendiri, kalua kita bersyukur hakekatnya telah melejutkan/mengkapitalkan untuk menambah nikmat yang lebih banyak lagi kepada kita.  Mari kita renungkan dengan udara dan air yang gratis telah dikaruniakan dan diberikan oleh Allah kepada kita.

Mari kita berhitung tentang nikmat udara: Satu menit kita bernafas = 16x, satu jam 960x, sehari 24x960 = 23.040x. Dalam semenit kita memerlukan 7-8 liter udara dalam kegiatan kondisi normal tidak beraktivitas banyak, jadi sehari kita membutuhkan 11.500 liter, jika 20% dari udara adalah oksigen berarti kita butuh 2200 liter oksigen sehari, dan 80% dari udara berisi nitrogen berarti kita butuh 8800 liter. Kalau saja oksigen 1 liter dihargai Rp. 35.000x2.200 = Rp 77.000.000/hari. Kalau nitrogen 1 liter Rp 15.000x88000 = Rp 1.320.000.000/hari

Jadi, satu hari saja kita harus mengeluarkan uang Rp 1.397.000.000 (satu miliyar tiga ratus Sembilan puluh tujuh juta). Kalau rata-rata gaji kita sebulan Rp 5 juta, berapa tahun untuk bisa membeli udara yang sudah kita hirup selama ini dan sekarang sudah berapa umur kita tinggal mengalikan. Allah tidak minta kita membayar tetapi hanya minta kita bersyukur.

Maka benar kata Allah: fabiayi aalaa-i rabbikumaa tukazibaan. Jadi air, buahan-tanaman, ikan, minyak, emas, tembaga, nikel, dan lain sebagainya yang kita ambil dari bumi ini Allah tidak pernah dibayar kepada Allah. Kalau kita beli air, beras, sayuran, buah-buahan, ikan, BBM, emas, besi dan lain sebagainya bukan kita beli kerpada Allah tetapi kepada sesama dalam urusan muamalah. Lalu, apakah pantas kita kufur, tidak beriman, dan tidak berterima kasih kepada Allah, apalagi kalau kita berbuat kerusakan di bumi ini, sangat amat zalimnya kita. Manusia itu memang banyak yang tidak bersyukur dan zalim. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyal karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS al-Ghafir/al-Mukmin: 61). “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS al-Ahzab: 72). “Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat Allah”. (QS Ibrahim: 34).

Momen setelah Ramadhan dan era “new normal” ini kita gunakan semaksimal mungkin untuk bersyukur dan tetap beraktivitas mencari kehidupan, mentakmirkan masjid dan mushalla dengan tetap disiplin menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan sesuai protokol kesehatan. Selain itu kita juga harus saling bekerja sama dan membantu agar kehidupan kita dapat berjalan dengan baik. Marilah kita menjadi manusia yang syakur selagi mentari bersinar, selagi udara untuk bernafas digratiskan, dan selagi hayat ditakdirkan. Semoga kita selalu terbimbing menjadi insan yang syakur. Wallahu’alam.* (ns)

* Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluudin dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta. ** Naskah ceramah ini dapat juga ditonton di https://youtu.be/iF0Xnh2Uws.