Mahasiswa Kritisi Dinasti Politik

Mahasiswa Kritisi Dinasti Politik

[caption id="attachment_15040" align="alignleft" width="300"]Diinasti politik dinilai mempersempit kader terbaik politik sekaligus menyuburkan potensi korupsi. Demikian benang merah Diskusi Publik Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (HMJ PBI), FITK UIN Jakarta, dan Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan di Ruang Teater Mahmud Yunus FITK, Senin (20/12/2016). Dinasti politik dinilai mempersempit kader terbaik politik sekaligus menyuburkan potensi korupsi.
Demikian benang merah Diskusi Publik Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (HMJ PBI), FITK UIN Jakarta, dan Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan di Ruang Teater Mahmud Yunus FITK, Senin (20/12/2016).[/caption]

Teater Mahmud Yunus, BERITA UIN Online- Mahasiswa mengkiritisi masih tingginya kecenderungan dinasti politik menjelang pemilu kepala daerah (Pilkada) 2017. Dinasti politik dinilai mempersempit kader terbaik politik sekaligus menyuburkan potensi korupsi.

Demikian benang merah Diskusi Publik Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (HMJ PBI), FITK UIN Jakarta, dan Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan di Ruang Teater Mahmud Yunus FITK,  Senin (20/12/2016). Diskusi digelar menyongsong pilkada serentak pada tahun depan.

Diskusi yang dimoderatori Sofyan Hadi Permana, Ketua HMJ PBI, menghadirkan lima narasumber. kelimanya,  Adi Prayitno (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Ray Rangkuti (Direktur Lingkar Madani Indonesia), Khaliullah Pasaribu (Anggota Indonesian Corruption Watch), Gufron Khan (Kepala Madrasah sekolah anti Korupsi Universitas Muhamadiyah Tangerang),  dan Beno Novit Neang (kepala Sekolah Anti Korupsi).

Merujuk sejumlah pengalaman di daerah, Ray mengungkapkan, dinasti politik menjadi salah satu penghantar utama pemusatan seluruh akses politik dan meruyaknya tindak pidana korupsi. Kondisi ini menyebabkan sumber daya politik potensial kesulitan untuk berkompetisi dalam proses politik secara sehat.

Secara ekonomi, tambahnya, dinasti politik juga memungkinkan terjadinya pemusatan sumber daya ekonomi, termasuk pemanfaatan pembiayaan daerah bagi kepentingan dinasti. “Secara keseluruhan, dinasti politik sama sekali tidak menguntungkan masyarakat melainkan hanya menguntungkan bagi satu keluarga dinasti politik,” tandasnya.

Tanpa menafikan beberapa kasus dinasti politik yang berhasil membangun daerahnya, Adi mengatakan, tidak sedikit kasus-kasus dinasti politik malah menyebabkan daerah-daerah yang mereka pimpin relatif tertinggal. Ini terlihat dari masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, rendahnya partisipasi pendidikan, dan minimnya layanan kesehatan.

“Dinasti politik juga menyebabkan tertutupnya akses sumber daya politik potensial untuk masuk ke dalam ranah birokrasi pemerintahan,” tambahnya.

Terpisah, Sofyan Hadi Permana mengungkapkan, realitas dinasti politik cukup terang benderang di lingkungan terdekat mahasiswa sendiri. Dalam kajian politik, Banten dinilai salah satu provinsi dengan potensi dinastik politik cukup kuat.“Ini menempatkan Banten sebagai provinsi yang rentan terjebak dalam perilaku korupsi,” tambahnya.

Selain paparan dari para narasumber, diskusi juga menghadirkan pembacaan puisi dari Gol A Gong. Aktifis literasi asal Banten ini membacakan puisinya, Banten Tolak Dinasti politik. (Edi E/zuhrotul uyun)