Urgensi Revitalisasi Pesantren

Urgensi Revitalisasi Pesantren

Prof. Dr. Imam Subchi, M.A.

 

Dewasa ini, pondok pesantren menjadi diskursus publik. Pasalnya, sebagai entitas sosial – pondok pesantren menjadi medium utama di tengah peradaban mutakhir yang secara eksistensi masih tetap mengajarkan risalah-risalah keagamaan dan modernitas.

Meski begitu, stereotipe terhadap pondok pesantren masih saja menanggalkan persepsi yang konotasinya mengarah kepada negatif, terlebih saat munculnya fenomena kontemporer mengenai runtuhnya bangunan di salah satu pondok pesantren di Sidoarjo. Teranyar, hal serupa juga terjadi di Situbondo.

Atas dasar tersebut, persepsi-persepsi ini sempat menerbitkan tanya di benak publik tentang reaktualisasi peran pesantren. Terdapat pihak yang menyayangkan mengapa pengelola pesantren tidak cermat dalam menghitung ruang bangunan yang layak untuk santri, sehingga berimbas pada bencana tersebut.

Yang lain, malah melempar api dalam sekam sehingga memantik perdebatan relevansi pesantren dalam peta jalan pendidikan nasional. Ini merupakan anggapan yang terlalu jauh untuk dibicarakan.

Pesantren merupakan garda terdepan pendidikan anak bangsa. Embrio pesantren diduga sudah ada sejak zaman Hindu-Budha, salah satunya dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah artefak mandala di Palembang yang ditengarai sudah ada sejak masa kekuasaan Sriwijaya sekitar 7 hingga 8 M.

Mandala menjadi sentra penting pengajaran Budha yang menjadi tempat bersua para sastri (orang yang belajar susastra ajaran Budha) dengan para guru. Konsep pendidikan ini yang mengilhami para Wali Songo dalam membentuk lembaga pendidikan Islam. Lembaga ini mempunyai karakter dan kentara sebagai katalisator pencetak generasi terdidik hingga masa kini dan akan terus berkecambah hingga masa depan.

Pondok pesantren memiliki ciri khas dan karakteristik yang unik, karena mampu memberikan pemahaman yang baik terhadap para santri, yang mengakibatkan kemampuan dan etika sosial santri juga relatif baik. 

Bahkan, figur ulama, kiai, dan santri seringkali menjalin ikatan sosial dengan masyarakat secara maksimal, seperti membantu para kiai atau santri yang saat membangun, menghadirkan figur kiai dan santri dalam acara masyarakat dan seterusnya. Jadi, keberadaan figur-figur ini sangatlah penting bagi kehidupan publik.

Pondok pesantren, dewasa ini telah mengalami transformasi besar, baik dari kurikulum pendidikan maupun dari sektor ekonomi. Namun, tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang secara gradual dan dilakukan dengan penuh ekstensif.

Dengan kata lain, para santri yang menimba ilmu di pondok pesantren pada dasarnya dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan, baik secara intelektualitas, nilai, norma, dan kompetensi serta integritas. Meski demikian, pondok pesantren yang berbasis tradisional juga masih sangat banyak di Indonesia. Ada pula pondok pesantren yang telah mengadakan sistem pendidikan gabungan dengan menghadirkan pendidikan formal.

Tak ayal, saat ini, banyak para santri yang telah selesai menempuh pendidikan di pondok pesantren ada yang melanjutkan ke pondok pesantren lainnya, termasuk ada yang studi ke luar negeri.

Bahkan, pemerintah juga memberikan perhatian kepada santri melalui Kementerian Agama dalam memberikan aksesibilitas beasiswa terhadap para santri yang bisa diakses secara komprehensif. 

Jadi, kepedulian pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemimpin yang baik secara intelektualitas maupun religiusitas. Sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian penuh terhadap pondok pesantren, terlebih secara historis keterlibatan para ulama, kiai, dan santri dalam mempertahankan Indonesia dari negara-negara koloni.

Pada saat yang sama, bagi para ulama, kiai, dan santri keberadaan pondok pesantren menjadi sangat substansial, karena mendorong sekaligus menciptakan pendidikan yang berbasis pada intelektualitas dan etika serta moral yang berkembang di tengah pergumulan publik. 

Sehingga, secara etika nilai dan moralitas yang berbasis pada moralitas keagamaan ini secara faktual bisa ditemukan dalam ruang publik, terlebih secara konsisten mempelajari Kitab Ta'lim Muta'allim yang menjadi salah satu materi pokok yang dibahas secara sistemik. Akibatnya, hubungan antara kiai dan santri sangat kentara sekali dalam percakapan sosial tersebut.

Kehadiran pondok pesantren dinilai substansial juga bukan sekadar menjadi konsumsi sosial ketiga entitas tersebut, melainkan oleh masyarakat pada umumnya, baik yang memiliki jabatan politik (formal), informal, maupun non-elite. Sehingga, sangat mafhum bagi kita untuk menemukan dalam realitas sosial, seperti silaturahmi yang dilakukan oleh masyarakat, pejabat, dan para kandidat yang berlaga pada politik praktis.

Dalam konteks ini, terlihat bahwa kehadiran entitas sosial dan pondok pesantren menjadi sangat penting sekali. Bahkan, sejak para wali ada di Indonesia, komitmen para wali tersebut terhadap nilai-nilai spiritualitas sangat tinggi.

Sehingga, para wali mampu mengatasi problematika sosial, ekonomi, sosial, dan budaya yang berawal pada abad ke-15, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sunan Drajat pada masa tersebut. Termasuk Masjid Agung Demak sebagai salah satu masjid tertua yang ada di Jawa, yang secara umum bagian dari kompleks Pondok Pesantren Glagahwangi.

Tak ayal, sebagian besar adagium yang disampaikan pada rentang waktu para wali hadir di ruang publik memberikan satu pemahaman yang sangat penting. Seperti pesan dakwah dari Sunan Drajat yang bicara tentang jroning suka kudu eling lan waspada, yang memiliki makna tatkala senang harus tetap ingat dan waspada.

Dengan kata lain, merujuk pada kehadiran para tokoh keagamaan tersebut menunjukkan eksistensi pondok pesantren yang relatif lebih kohesi, bahkan sampai saat ini. Oleh karena itu, eksistensi tersebut bermuara terhadap nilai dan norma yang dimiliki oleh para santri yang bisa menjadi pemimpin negeri. Terlebih saat ini pondok pesantren juga melakukan transformasi yang besar, termasuk dalam memperbarui kurikulum untuk menyesuaikan dengan perkembangan peradaban.

Sebab, meminjam istilah Einstein, yang bisa beradaptasi secara baik, dia akan bertahan. Dalam konteks ini, pondok pesantren mampu bertahan di tengah pergumulan sosio-politik. Dengan demikian, hal ini mencerminkan kuatnya fondasi yang dibangun oleh pondok pesantren.

Sehingga, dalam konteks ini, Menteri Agama, Prof. KH Nasaruddin Umar, berkeyakinan bahwa pesantren merupakan tonggak penting pendidikan Islam. Lewat lembaga pendidikan ini, manusia Indonesia menjadi insan terdidik dan mempunyai akhlak yang lembut, sehingga ikut membantu membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai masyarakat Timur yang ramah dan menyenangkan bagi para pendatang baru. Lebih dari itu, pesantren menjadi kawah bagi lahirnya sejumlah pemikir dan tokoh penting bangsa, seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid sampai dengan Kiai Nasaruddin Umar sendiri, adalah produk pesantren.

Hal tersebut menunjukkan bahwa para santri juga bisa menjadi seorang pemimpin sekaligus intelektual yang kompeten dan memiliki integritas penuh dalam membangun tata kelola pemerintahan. Keberadaan para figur tersebut sekaligus mengalienasi para pihak yang menilai negatif keberadaan pondok pesantren dan santri.

Padahal, pondok pesantren dan kiai atau ulama sejak awal memberikan pemahaman keagamaan yang luhur terhadap para santri dan masyarakat. Akibatnya, relasi sosial ini sangat terjalin baik.

Tercatat, terdapat madrasah dan pondok pesantren yang kini tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah madrasah sebesar 83.391 lembaga yang terkluster terhadap Lembaga pendidikan seperti raudlatul athfal (RA) sebesar 30.148 RA (36.08 persen). Madrasah ibtidaiyah (MI) sebanyak 25.840 MI (30,92 persen), madrasah tsanawiyah (MTs) sebanyak 18.380 MTs, madrasah aliyah (MA) sebanyak 9.150 MA (Kementerian Agama, 2020).

Pada saat yang sama, jumlah pondok pesantren tercatat sebanyak 42.433 pondok pesantren aktif di Indonesia (Kementerian Agama, 2025).

Salah satu hal menarik yang disampaikan oleh Menteri Agama adalah menguatnya hubungan negara dan pesantren. Formula ini seyogyanya dapat dilihat dalam serbaneka kisah masa silam. Kaum ulama mengambil peran dalam jalan panjang perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.

Zainul Milal Bizawie, sejarawan santri, dalam bukunya Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring ulama-santri (1830-1945), membabar kisah-kisah kiai dan santri dalam memperjuangkan sekaligus mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kiai Mojo, sang guru spiritual dari Pangeran Diponegoro, berjasa dalam memugar semangat perang pasukan Jawa agar trengginas di medan laga. Kolaborasi keduanya disebut sebagai sinergi brahmana-ksatria yang merambat menjadi pemahaman dasar pentingnya keberadaan agama akan kerja-kerja besar peradaban, termasuk memperjuangkan negara yang merdeka.

Polemik

Musibah ambruknya bangunan pesantren bukan hanya menyebabkan kerusakan materiil yang parah, tetapi juga memakan korban jiwa dan luka-luka di antara santri. Peristiwa pilu ini secara otomatis memantik perhatian publik yang luas, sekaligus membuka ruang perdebatan mengenai aspek keselamatan bangunan dan tata kelola di lingkungan lembaga pendidikan agama tersebut. Kedua pesantren yang menjadi lokasi kejadian pun langsung menjadi sorotan, memaksa kita untuk melihat lebih dalam tentang standar infrastruktur di tempat-tempat yang seharusnya menjadi lokasi yang aman untuk menuntut ilmu.

Masyarakat pun terbelah dalam menyikapi musibah ini. Di satu sisi, banyak pihak yang mengutarakan rasa simpati dan solidaritas yang mendalam kepada para korban, keluarga, serta seluruh warga pesantren yang harus menanggung beban fisik dan psikis.

Doa dan bantuan mengalir sebagai wujud kepedulian sosial. Namun, di sisi lain, muncul kritik pedas yang menyoroti kemungkinan adanya "salah asuh" dalam pengelolaan pesantren.

Banyak yang menuding bahwa musibah ini adalah akumulasi dari kesalahan manajemen, mulai dari perencanaan pembangunan yang asal-asalan, pengawasan konstruksi yang minim, hingga kurangnya perawatan terhadap bangunan yang sudah tua. Polemik ini semakin memanas dengan adanya wacana penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembiayaan rekonstruksi, yang dianggap sebagian kalangan sebagai pemborosan uang negara untuk menutupi kelalaian pihak pesantren.

Sudah saatnya publik mengakhiri polemik yang berkepanjangan dan mulai menyikapi kasus tragis ini dengan kepala dingin dan kebijaksanaan yang lebih besar. Musibah, dengan segala kesedihan dan kerugiannya, adalah takdir yang dapat menimpa siapa pun dan institusi mana pun, tidak terkecuali warga pesantren yang tengah menimba ilmu.

Daripada saling menyalahkan dan memperuncing perbedaan pendapat, energi kita seharusnya difokuskan pada upaya kolektif untuk membangun sistem yang lebih baik. Tujuannya jelas: memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan dan memulihkan kondisi kesehatan dan psikis para korban serta keluarganya.

Dalam proses penanganan pascamusibah, pihak berwenang seperti kepolisian dan tim forensik tentu memiliki kewenangan dan bahkan kewajiban untuk melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Investigasi ini mutlak diperlukan untuk mengungkap akar penyebab ambruknya bangunan, apakah karena faktor teknis, kelalaian, atau sebab-sebab lainnya.

Namun, proses investigasi ini harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Hal yang terpenting adalah tidak mengganggu proses kegiatan belajar mengajar yang masih berjalan di pesantren, serta menghormati kondisi trauma yang dialami oleh para santri dan pengasuh.

Proses hukum harus berjalan, tetapi pendidikan dan pemulihan psikologis tidak boleh terabaikan. Di atas semua perdebatan dan proses hukum, nasib para korban yang terdampak harus menjadi perhatian utama bagi pengelola pesantren dan pemerintah setempat. Pemerintah daerah, bersama dengan Kementerian Agama dan instansi terkait lainnya, wajib hadir memberikan perhatian yang komprehensif.

Perhatian ini tidak hanya berupa bantuan medis dan pemulihan infrastruktur, tetapi juga dukungan psikososial untuk menyembuhkan luka batin. Khususnya kepada keluarga korban jiwa, pemerintah harus memberikan santunan dan pendampingan yang memadai sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi warganya.

Dengan fokus pada pemulihan korban dan perbaikan sistem, tragedi ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat standar keamanan semua lembaga pendidikan di Indonesia.


Dukungan Sistemik

Dukungan pemerintah terhadap para santri juga diwujudkan dengan lahirnya Hari Santri Nasional yang selalu digelar secara reguler pada 22 Oktober. Hal tersebut bermula dan diprakarsai oleh Muassis Nahdlatul Ulama (NU) seperti KH Hasyim Asy’ari tentang Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.

Sehingga, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Alhasil, pemerintah selalu menggelar Hari Santri Nasional per tanggal tersebut di teritorialnya masing-masing, terutama di basis-basis pondok pesantren yang terletak di wilayah tersebut, termasuk digelar di pusat kota dan pondok pesantren.

Pada saat yang sama, pada kegiatan Hari Santri Nasional 2025 lalu, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto juga akan membentuk satu Direktorat Jenderal Pondok Pesantren. Sehingga, dukungan yang diberikan pemerintah tampak riil dalam memerhatikan pondok pesantren dan santri.

Karena itu, di tengah pergumulan modernitas saat ini, santri juga mengalami transformasi. Santri tidak sekadar menimba ilmu, melainkan turut dalam meningkatkan kompetensi melalui perdagangan, seperti peci, sarung, pakaian dan seterusnya.

Dalam konteks ini, terutama dukungan riil yang diberikan pemerintah terhadap pondok pesantren yang mengalami kerusakan dari infrastruktur yang runtuh juga diberikan.

Aksi cepat tanggap yang ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintahan Presiden Prabowo dalam menangani korban dan memperbaiki pesantren yang roboh di Sidoarjo dan Situbondo merupakan langkah strategis yang layak diapresiasi. Respon yang cepat dan penuh empati ini bukan sekadar tindakan reaktif sesaat, melainkan cerminan dari komitmen negara untuk memastikan sirkulasi pendidikan agama dapat berjalan secara teratur dan berkualitas.

Dengan intervensi yang tepat sasaran, negara menunjukkan sensitivitasnya yang besar dalam membina kecerdasan umat, tidak hanya dari aspek spiritual dan moral tetapi juga dari sisi keamanan dan kenyamanan infrastruktur. Hal ini menegaskan bahwa negara hadir sebagai penjaga yang memastikan generasi penerus bangsa dapat menimba ilmu dalam lingkungan yang aman dan layak, sehingga masa depan pendidikan agama tetap terjamin.

Langkah konkret pemerintah dalam memfasilitasi renovasi dan pembangunan kembali pesantren tersebut berperan signifikan dalam mempertebal kerja sama yang sinergis antara ulama dan pemerintah. Selama ini, pesantren sebagai basis pendidikan ulama dan tokoh agama telah berjasa besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tindakan pemerintah kali ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa negara sungguh-sungguh menyokong kepentingan pendidikan agama dan menghargai peran strategis para ulama. Hubungan mutualisme ini sangat penting untuk dikembangkan. Pemerintah memberikan dukungan fasilitas, sementara para ulama dan pesantren terus mencetak kader-kader bangsa yang berakhlak mulia dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Dampak kebajikan lainnya adalah memperkokoh ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan mendorong gelombang filantropi Islam yang berkeadaban. Ketika negara turun tangan membantu, hal itu memancarkan sinyal positif kepada seluruh elemen masyarakat.

Tindakan pemerintah ini menjadi katalisator yang menginspirasi lahirnya gerakan sosial dan donasi dari berbagai lapisan umat Islam, yang tergerak untuk turut berbagi beban dan meringankan penderitaan saudara-saudaranya. Filantropi yang bangkit tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga berkeadaban karena dilandasi oleh semangat tolong-menolong dalam kebaikan dan tanggung jawab sosial, yang sejalan dengan nilai-nilai luhur agama.

Berdasarkan data yang dihimpun, Indonesia memiliki kontribusi pesantren dan santri yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan. Dikutip dari Dataloka, jumlah pondok pesantren di Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai 42.391, dengan Jawa Barat sebagai provinsi yang memiliki jumlah pesantren terbanyak. Sementara itu, menurut data dari Kementerian Agama Republik Indonesia, jumlah santri pada 2023 telah mencapai 4,3 juta orang.

Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan besarnya peran pesantren dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga merefleksikan kepercayaan dan harapan yang besar dari para orang tua terhadap pendidikan pesantren. Di tengah kekhawatiran akan degradasi moral dan lunturnya identitas budaya, banyak orang tua melihat pesantren sebagai benteng yang dapat membentuk karakter anak-anak mereka menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia, spiritualis, dan memiliki ketahanan mental. Mereka berharap lingkungan pesantren yang menekankan nilai-nilai agama, disiplin, dan kemandirian dapat menjadi solusi untuk mencetak generasi yang unggul dan berintegritas di masa depan.

Publik perlu melihat ke dalam tentang diskusi pesantren hari ini. Jangan karena masalah yang kebetulan mendera pesantren sekarang, membuat mata sejarah kita tertutup. Pesantren senantiasa penting untuk merajut peradaban manusia dan eksistensinya harus tetap terjaga. (zm)


Penulis: Prof. Dr. Imam Subchi, M.A, 
Dosen Antropologi Islam Fakultas Adab dan Humaniora, Wakil Rektor II UIN Syarif Hidayatullah