Pahlawan Baru di Zaman Ilmu

Pahlawan Baru di Zaman Ilmu

Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D.

 

Ketika kita memperingati Hari Pahlawan 10 November, pikiran kita sering melayang pada suara bedil dan dentum meriam, simbol kepahlawanan fisik di masa lalu.

Namun, di tengah dunia yang kian digital, bentuk kepahlawanan berubah: bukan lagi mengangkat senjata, melainkan mengangkat martabat manusia melalui ilmu dan adab.

Dalam konteks inilah, pesantren menduduki posisi strategis. Lembaga yang lahir dari tradisi ulama dan masyarakat ini telah melahirkan ribuan pejuang, dari KH Hasyim Asy'ari hingga KH Ahmad Dahlan, dari pahlawan kemerdekaan hingga pendidik di pelosok negeri.

Mereka semua berjuang dengan satu semangat: membebaskan manusia dari kemiskinan dan kemiskinan batin.

Konferensi tahunan Majelis Masyayikh di Jakarta minggu ini menjadi pengingat penting: bahwa rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi terhadap pesantren bukanlah kemurahan negara, tapi pengakuan terhadap jasa kepahlawanan peradaban.

Pesantren bukan warisan masa lalu yang harus disimpan di museum kaca, tetapi modal sosial bangsa untuk masa depan.

Rekognisi Sebagai Perjuangan

Profesi pahlawan di masa kini tidak selalu berlumur darah, tapi bisa berlumur keringat intelektual.

Di masa lalu, pesantren menjadi benteng perjuangan spiritual; kini ia menjadi laboratorium sosial untuk membentuk karakter bangsa. Namun perjuangan baru muncul dalam bentuk lain: rekognisi akademik dan kesetaraan saling pendidikan.

Melalui berbagai kebijakan afirmatif, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mendorong agar kompetensi santri diakui secara akademik.

Langkah-langkah itu mencakup: ekuivalensi kitab dan ilmu pesantren agar diakui sebagai bagian dari prestasi akademik; jalur afirmatif Jalur Prestasi Santri untuk memberi kesempatan luas kepada lulusan pesantren; dan program bridging dan transfer kredit agar santri dapat mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerangka nilai-nilai keislaman.

Ini bukan sekedar urusan administratif, melainkan bentuk keadilan epistemik, memberi tempat bagi ilmu yang lahir dari pesantren untuk berdialog setara dengan ilmu modern.

Sebagaimana ditekankan oleh Martha C. Nussbaum dalam Creating Capabilities (2011), martabat manusia terjamin bukan hanya ketika ia diberi akses ekonomi, tetapi ketika pikirannya diakui dan pengetahuannya dihargai.

Dalam konteks Indonesia, pengakuan terhadap pesantren berarti membuka ruang bagi kebijaksanaan lokal untuk berkontribusi dalam percakapan tentang kemanusiaan global.

Santri dan Pahlawan Sosial

Kepahlawanan hari ini tidak cukup diukur dari keberanian di medan perang, tapi dari kemampuan menjaga nilai di tengah derasnya arus pragmatisme.

Santri yang memilih jalan ilmu dan keadaban adalah pahlawan sosial yang menjaga hati nurani bangsa di tengah kemajuan tanpa arah.

Pesantren modern kini melahirkan pahlawan dalam tiga wajah baru: pertama, pahlawan intelektual, yang mengubah naskah kitab menjadi kebijakan sosial dan penelitian terapan; kedua, pahlawan ekologis, yang menanam pohon di halaman pesantren dan mengajarkan fikih lingkungan; dan ketiga, pahlawan digital, yang menebar literasi dan mencegah kebencian melalui media sosial.

Konsep ini sejalan dengan pandangan Anthony Giddens tentang modernitas refleksif, masyarakat yang maju bukanlah yang paling cepat berubah, melainkan yang paling sadar terhadap arah perubahan.

Pesantren adalah ruang refleksi itu: tempat di mana teknologi dan spiritualitas bisa berdialog secara sehat.

Keadilan Ilmu, Keadilan Bangsa

Tema konferensi Majelis Masyayikh menekankan tiga kata kunci: rekognisi, afirmasi, dan keadilan.

Tiga kata ini sejatinya adalah makna terdalam dari jihad keilmuan.

Keadilan bukan hanya tentang pendistribusian kekayaan, tetapi juga pendistribusian kesempatan belajar. Jika pahlawan 1945 berjuang memerdekakan tanah air, maka pahlawan hari ini berjuang memerdekakan pikiran dan kriteria.

Selama ini pengetahuan hanya diukur dengan standar Barat dan mengabaikan kearifan lokal, selama itu pula bangsa ini belum sepenuhnya merdeka secara epistemik.

Dalam Islam, ilmu tidak pernah netral nilainya. Ia selalu berpijak pada al-'adl wa al-ihsan, keadilan dan kebaikan.

Maka kebijakan pendidikan harus berpihak pada yang lemah, memberi penegasan bagi mereka yang selama ini berada di pinggiran sistem.

Seperti pesan KH Hasyim Asy'ari dalam Adab al-'Alim wa al-Muta'allim: “Ilmu tanpa adab adalah bencana; adab tanpa ilmu adalah mendalam.”

Pesantren dan Semangat Kebangsaan

Di tengah krisis global, pesantren membuktikan diri sebagai benteng moral.

Ketika banyak bangsa kehilangan orientasi, santri Indonesia tetap memegang teguh keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal.

Dalam istilah Seyyed Hossein Nasr, pesantren melestarikan ilmu suci, pengetahuan yang menghubungkan manusia dengan Yang Maha Suci, bukan sekadar dengan algoritma.

Program Pesantren untuk Perdamaian yang diinisiasi oleh UIN Jakarta, CSRC, dan PPIM, misalnya, menjadi contoh bagaimana nilai moderasi dan dialog lintas iman ditanamkan sejak dini. Inilah model kepahlawanan baru: bukan menaklukkan musuh, tapi menyembuhkan luka sosial.

Kampus agama dan pesantren harus bersinergi membentuk ekosistem keilmuan yang berdaya dan berkeadilan.

Sinergi itu bukan proyek seremonial, melainkan jalan panjang peradaban.

Karena masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak gedung yang dibangun, tetapi seberapa banyak nilai yang ditanami.

Refleksi Hari Pahlawan

Hari Pahlawan bukan hanya hari untuk mengenang, tapi untuk melanjutkan keberanian.

Dulu, para pejuang pertempuran di Surabaya; kini, para santri dan akademisi bertempur di ruang-ruang belajar, di laboratorium, dan di dunia digital.

Bedanya hanya alat; semangatnya tetap sama: cinta tanah air yang lahir dari iman.

Pahlawan sejati tidak selalu berangkat dari barak militer. Bisa jadi mereka berasal dari ma'had, madrasah, atau pesantren,  tempat di mana keberanian moral dipraktikkan, dan dijadikan contoh etika hidup.

Seperti yang dikatakan Rumi, “Barangsiapa menyalakan lilin ilmu di tengah gelapnya zaman, dialah pahlawan sejati.”

Maka Hari Pahlawan tahun ini hendak kita rayakan bukan dengan nostalgia, tapi dengan komitmen baru: meneruskan jihad keilmuan, memperkuat pesantren sebagai benteng moral bangsa, dan menegakkan keadilan pengetahuan bagi seluruh anak negeri.

Bangsa ini tidak akan kehabisan pahlawan selama masih ada guru yang ikhlas mengajar, santri yang tekun belajar, dan ulama yang menjaga hati nurani.

Dari ruang-ruang pesantren, dari kelas-kelas kampus, lahirlah pahlawan-pahlawan baru, bukan yang mampu membunuh, namun yang berjuang untuk menghidupkan martabat manusia.

Maka ketika kita mengenang 10 November, mari kita panjatkan doa bagi para syuhada dan pendiri pesantren, sekaligus tekadkan sumpah baru: Kami santri Indonesia, bersumpah untuk berjuang dengan ilmu, beramal dengan adab, dan berbakti untuk kemanusiaan.

Itulah makna pahlawan sejati yang berkeadaban.

Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway.id, Jumat, 07 November 2025