Visi Kemanusiaan Haji dan Kurban

Visi Kemanusiaan Haji dan Kurban

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia

Pemerintah kerajaan Arab Saudi tahun ini resmi tidak menerima kehadiran jamaah haji dari luar Saudi. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Indonesia, kembali batal berhaji karena alasan pandemi. Keselamatan, kesehatan, dan kemasalahatan kemanusiaan menjadi pertimbangan utamanya.

Pembatalan pemberangkatan haji tidak berarti pembatalan nilai-nilai kemanusiaan yang idealnya tetap dipetik dari ibadah haji dan kurban. Hikmah kemanusiaan dari manasik (prosesi) ibadah haji dan kurban harus dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena, haji dan kurban merupakan ibadah multidimensi paling unik, kaya visi dan pesan kemanusiaan.

Ibadah haji dan kurban bukan sekadar ritualitas simbolik tanpa makna, melainkan sarat nilai spiritual dan visi kemanusiaan. Oleh sebab itu, setiap umat diperintah berkurban dengan syariat masing-masing. “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS al-Hajj/22: 34).

Dimensi haji

Haji merupakan merupakan ibadah multidimensi yang diikuti jutaan tamu Allah dari segala penjuru dunia. Di samping berskala internasional, haji juga berdimensi sosio-kultural. Sepintas, pelaksanaan ibadah haji tampak bersifat fisik, seperti: berpakaian ihram, berlari kecil mengelilingi Ka’bah (tawaf), sa’i antara bukit Safa dan Marwa, wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di Muzdalifah, melempar jamrah dan mabit di Mina, dan mencukur atau memendekkan rambut (tahallul). Namun di balik semua ritualitas itu sarat visi dan pesan kemanusiaan substansial yang bermuara pembentukan kesalehan jamaah haji.

Ibadah haji juga sarat dimensi edukasi yang sangat penting, yaitu pendidikan sejarah evolusi dan transformasi kemanusiaan universal. Karena haji dan kurban melibatkan aktor teladan kemanusiaan: Nabi Adam AS dan istrinya (Hawa’), Nabi Ibrahim, Hajar (istrinya), Nabi Ismail (anaknya), dan tentu saja Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka tampil memerankan diri sebagai teladan kemanusiaan yang menginspirasi sepanjang zaman.

Komplek Masjidil Haram (Ka’bah, Hijir Ismail, sumur Zamzam, tempat sa’i), Arafah dan Jabal Rahmah, Muzdalifah, dan Mina, dan tempat-tempat ziarah keagamaan lainnya di Mekkah dan sekitarnya juga sarat pelajaran sosial historis. Menurut Imam al-Ghazali, haji sebagai ziarah spiritual merupakan manifestasi rahbaniyyah. Artinya, jamaah haji yang berziarah tersebut harus meninggalkan semua kegiatan duniawi dan berkonsentrasi penuh pada ziarahnya dengan berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah untuk meraih 15 jenis pengampunan dan cinta-Nya.

Dimensi sosio-historis haji dengan aneka simbol yang “terkoneksi” dengan dzikrullah dan taqarrub ila Allah tersebut merupakan peta jalan kehidupan yang harus dilalui jamaah haji untuk merengkuh cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan. Ibadah haji menyerukan penyelaman jejak rekam masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih humanis, progresif, produktif, dan mencerahkan. Manasik haji itu ibarat laboratorium pendidikan holistik integratif yang melatih dan membiasakan jamaah haji memiliki kompetensi dan keterampilan hidup yang manusiawi.

Dengan kata lain, orientasi sosial historis haji dan kurban adalah menumbuhkan kesadaran historis  bahwa cinta Ilahi harus menjadi fondasi dan peta jalan kehidupan yang bervisi kemanusiaan.  Allah memerintahkan Ibrahim AS membangun Ka’bah sebagai poros dan kiblat ibadah berbasis akidah tauhid, beragama secara hanif: benar, lurus, dan autentik; dan beramal saleh yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Spirit cinta

Haji dan kurban memang sangat kaya spirit cinta (mahabbah, rahmah). Karena spirit cinta, Adam dan Hawa, yang telah berpisah sekian lama dan saling mencari, dipertemukan kembali oleh Allah SWT di Jabal Rahmah, di padang Arafah. Keduanya saling mencari cinta sejati: cinta kemanusiaan dan cinta Tuhan.

Dalam merengkuh cinta kemanusiaan, spirit perjuangan dan kerelaan berkorban membuahkan kearifan (‘arafah) mendalam, baik personal, sosial, keduniaan maupun kearifan keakhiratan. Karena itu, jamaah haji yang belajar meraih cinta Ilahi harus berhenti sejenak dengan berefleksi (wuquf) di Arafah. Jadi, wukuf di Arafah, sebagai puncak ibadah haji (al-Hajju ‘arafah), merupakan perjuangan spiritual untuk menemukan cinta Ilahi dan cinta manusiawi sejati.

Dimensi cinta Ilahi dan manusiasi diaktualisasikan dengan mengembangkan kesadaran humanis, menghormati dan menegakkan HAM, dan kesadaran eskatologis dalam menatap cinta masa depan: cinta ukhrawi dan cinta Tuhan. Di Arafah pula, Nabi SAW menyampaikan orasi Wada’ yang menyerukan pentingnya cinta kemanusiaan dengan tidak menumpahkan darah (cinta perdamaian, antikekerasan, terorisme, konflik dan perang), menjaga properti (antikorupsi, antikekayaan illegal dan tidak halal), dan menjaga harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan.

Cinta kemanusiaan juga didemonstrasikan Hajar ketika mencari air kehidupan bagi masa depan putranya yang sedang kehausan. Ketika diminta tinggal oleh suaminya, Ibrahim, sekaligus ditugasi merawat bayi Ismail, di tanah yang tandus dan gersang, tanpa tanaman dan tumbuh-tumbuhan, cinta Hajar tumbuh bersemi mengasihi buah hatinya. Karena keyakinan dan cintanya kepada Allah yang sangat tulus, Hajar berusaha membesarkan dan mendidik putranya dengan sentuhan kasih sayang.

Cinta buah hati membuat sang ibu mengerahkan segala tenaga dan usahanya demi masa depannya. Etos pengorbanan tanpa mengenal lelah demi sang buah hati menginspirasi sang ibu berhati mulia dan tulus (shafa), sehingga usahanya semata-mata untuk mencapai keberkahan dan kepuasan  (marwah) bagi masa depan anaknya. Cinta seorang ibu yang tanpa pamrih mengantarkan masa depan Ismail menjadi anak yang berbakti dan penuh dedikasi.

Akan tetapi, ketika sang anak mencapai usia sanggup berusaha, Ibrahim AS mendapat ujian keimanan, kesabaran, dan ketulusan melalui mimpi. Allah memerintahkannya untuk “menyembelih” Ismail. Drama pengorbanan ini sarat dengan pembuktian cinta Tuhan dan cinta kemanusiaan. Untuk menggapai cinta Tuhan, diperlukan keimanan, kesabaran, dan keikhlasan autentik. Cinta Tuhan harus mengalahkan segala bentuk cinta: keduniaan, harta benda, kedudukan, dan kekuasaan. Cinta Tuhan mengharuskan totalitas kepasrahan, ketaatan, dan ketulusan dalam mengorbankan yang dicintainya, termasuk anak sendiri.

Mengapa yang dikorbankan adalah anak yang dicintainya? Karena, manusia seringkali terjebak pada cinta dunia, harta, anak, wanita, dan kekuasaan, sementara lupa merengkuh cinta abadi, yaitu cinta ilahi dan cinta kemanusiaan sejati. Ketulusan dan kebesaran jiwa Ibrahim AS dalam mengorbankan anaknya yang kemudian diganti oleh Allah dengan hewan sembelihan yang besar menunjukkan bahwa manusia tidak sepatutnya dikorbankan. Tradisi pengorbanan manusia atas nama apapun harus dihapuskan. Yang harus disembelih adalah sifat-sifat kebinatangan negatif dan destruktif.

Selain itu, ibadah kurban juga merupakan tolok ukur cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Jika panjang jarak dan luas diukur dengan meter, kilometer atau mil; berat benda diukur dengan gram, kilo, kwintal dan ton; dan kadar emas diukur dengan karat, maka kadar cinta kepada Allah itu diukur dengan keikhlasan hamba mengorbankan “Ismail” yang dicintainya. Jadi, melalui ibadah haji dan kurban, visi dan nilai kemanusiaan harus dihormati, dihargai, dicerdaskan dan diberdayakan. Manusia tidak sepatutnya dikorbankan atau dijadikan objek kekerasan, penindasan, pelecehan, pembunuhan, dan sebagainya.

Karena itulah, hakikat ibadah kurban bukan terletak pada darah yang dialirkan dan daging yang dimakan atau dibagikan, tetapi pada visi kemanusiaan berupa ketulusan cinta dan takwa hamba kepada Allah. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi taqwa dari (lubuk hati)-mu-lah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj [22]: 37).

Dalam Sacrifice and Islamic Identity, Abelilah Ljamai menegaskan bahwa haji dan kurban bukan ibadah ritual tahunan semata, tetapi merupakan identitas dan tradisi keberagamaan liberatif: menyelamatkan dan membebaskan manusia dari identitas dan karakter kebinatangan.  Dengan demikian, melalui haji dan kurban, cinta Tuhan dan cinta kemanusiaan harus diaktualisasikan dalam rangka memaknai kehidupan yang penuh perjuangan, pengabdian, kebermanfaatan, dan keberkahan.

Sumber: Koran Republika, Rabu, 21 Juli 2021. (mf)