Utopia Pemapanan Politik

Utopia Pemapanan Politik

SAAT ini, berbagai pihak berperhatian terhadap perbaikan kualitas penyelenggaraan politik dan demokrasi di Indonesia berharap-harap cemas atas revisi paket UU politik di DPR. Pembahasan paket UU politik menjadi salah satu prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2010. Hingga kini pembahasan berlangsung alot dan sarat pertarungan kepentingan. Mengingat setiap revisi atas paket UU politik biasa menjadi pintu masuk bagi artikulasi kepentingan para politisi atau partai politik menyongsong dinamika politik Indonesia ke depan.

Revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, serta Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden sebenarnya menjadi titik krusial bagi penguatan politik dan pelembagaan demokrasi Indonesia ke depan. Betapa penting dan strategis keempat UU Politik itu, terlebih Indonesia akan melewati fase alih generasi kepemimpinan di Pemilu 2014. Namun, optimisme atas kinerja para politisi Senayan ini kian memudar. Alih-alih fokus pada penyelsaian bahasan secara tepat waktu, menguat justru aroma kepentingan politik yang kian tajam. Kemungkinan tertunda pengesahan hasil revisi paket UU politik tahun ini. Sebuah paradoks antara apa yang diprioritaskan dengan kerja yang dilakukan.

Skeptisme

Revisi atas paket UU politik tentu menjadi sebuah kebutuhan. Mengingat banyak hal harus diperbaiki. Hanya, kita memiliki sejumlah catatan, bahwa revisi senantiasa dilandasi bukan motivasi membuat komprehensif paket UU politik. Namun, lebih banyak dimotivasi sejumlah variabel kepentingan para politisi dan partai politik yang membahas paket UU politik ini di DPR. Kurang lebih ada empat alasan mengapa layak skeptis dapat penyelesaian paket UU Politik tahun ini sesuai prioritas mereka.

Pertama, para politisi di DPR terlalu sibuk kontestasi kepentingan antarparpol. Dalam politik, tentu kontestasi antara kekuataan suatu hal sangat lumrah. Namun, saat ada kepentiangan lebih besar yakni kualitas demokrasi dan pemapanan politik di negeri ini, kontestasi itu seyogianya mengacu pada kepentingan itu. Misal, soal aturan mengenai peningkatan angka parliamentary treshold (PT) pada revisi UU Nomor 10 Tahun 2008. Seharusnya para politisi di DPR mendudukkan perbincangan PT itu dalam konteks menyederhanakan parpol bukan pemilahan biner kepentingan partai besar dan partai kecil.

Fakta dari dinamika politik berkembang sejak Orde Lama hingga sekarang menunjukkan multipartai ektrem tak sesuai karakteristik desain institusional politik Indonesia. Negeri ini pernah mempraktikkan multipartai pada Pemilu 1955, 1971, 1999, 2004 juga 2009. Hasilnya, tak terlalu menggembirakan. Ternyata pemilu itu tak menghasilkan pemapanan politik yang kuat. Multipartai ekstrem terlalu kompleks dalam mendukung efektivitas pemerintahan. Kondisi multipartai ekstrem yang bersanding dengan presidensialisme terutama pasca Indonesia memasuki liberalisasi politik tahun 1998 hingga sekarang, belum sukses membuat negara ini lebih baik. Begitu juga pengalaman Indonesia di era pengelolaan politik yang dominan dari Orde Baru. Tak menyehatkan demokrasi. Multipartai sederhana yang dipaksakan Soeharto telah menempatkan Golkar sebagai kekuatan dominan. Sementara PDI dan PPP hanya ornamen demokrasi. Baik multipartai ekstrem maupun sentralisasi politik pada satu partai dominan, sama-sama tak menguntungkan bagi pemapanan demokrasi Indonesia.

Kedua, suatu hal yang biasa terjadi dalam setiap revisi UU paket politik, bahwa penyelsaian pembahasan selalu mepet dengan penyelenggaraan pemilu. Misal, UU nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD. Lalu, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden mepet dengan penyelenggaraan pemilu 2009. Sebenarnya, niatan awal menjadikan paket UU Politik ke dalam prioritas Prolegnas 2010 layak diapresiasi. Karena memungkinkan publik mengkritisi, memperdebatkan, memberi masukan alternatif dalam bentuk naskah akademik dan lain-lain. Para anggota DPR mesti menjadikan pemilu 2009 sebagai pelajaran. Misal, betapa mepet persiapan para penyelengaraan pemilu karena pengesahan revisi UU tak datang jauh hari Ini juga berefek pada kualitas hasil penyelenggaraan pemilu 2009 yang kurang maksimal.

Ketiga, tak pernah ajeg sebuah aturan yang sudah baik karena pertimbangan kompromi politik. Misal, saat ini menguat wacana dalam pembahasan revisi UU No.22 tahun 2007 bahwa para penyelenggara pemilu akan mungkin dari parpol. Argumen yang berhembus dari para politisi Senayan bahwa kemandirian penyelenggara pemilu dianggap terletak pada kelembagaaan, bukan pada personel orang per orang. Wacana ini tentu tak sekadar kemunduran berpikir. Melainkan berbahaya bagi penguatan sistem pemilu dan demokrasi ke depan. Revisi bukan memperbaiki bagian yang masih lemah, justru menegasikan sesuatu yang sesungguhnya sudah baik. Ini terjadi tentu bukan karena para politisi DPR tak memahami persoalan, lebih karena pertimbangan kepentingan. Merevisi untuk mencari peluang paling menguntungkan bagi upaya pemenangan partai politik.

Keempat, skeptisme juga menguat di tengah perilaku para politisi Senayan yang kurang berhasil menunjukkan kinerja cemerlang tahun pertama periode jabatan mereka. Sejumlah catatan wanprestasi lebih mengemuka dibanding implementasi fungsi-fungsi kelembagaan yang membanggakan. Deretan kontroversi tersaji secara kasat mata di mata publik mulai dari minim produktivitas legislasi, absensi, pleserian ke luar negeri, usulan dana aspirasi, rumah aspirasi. Dan sejumlah persoalan lain yang kian mengukuhkan citra DPR-RI kusut-masai. Manajemen kehormatan DPR tak dibangun secara seksama, hingga DPR lebih sibuk berbenah dari sorotan publik atas perilaku sebagian anggota mereka, dibanding fokus bekerja dan menyelesaikan sejumlah agenda. Agenda yang sangat penting dan menentukan masa depan bangsa.

Skala Prioritas

DPR bagaimana pun adalah lembaga politik. Rekam jejak para anggota DPR akan menjadi catatan tersendiri bagi publik. Meski seolah-olah diam, sesungguhnya publik bergerak menilai mengklasifikasi baik atau buruk para anggota DPR. Memang, publik politik kerap berbaik hati tak menghukum para politisi “rahwana” ini di Pemilu. Namun, kian hari kelompok publik berperhatian (attentive public) kian membesar dan perlahan tapi pasti menunjukkan geliat perlawanan “kelompok bungkam”. Media massa dan media baru (online) pun kian menunjukkan kontribusi dalam memajang secara telanjang siapa dan bagaimana kiprah para anggota DPR.

Tak menutup kemungkinan gejala rontok para elit parpol di pemilu 2009 akibat sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak, kian menguat di pemilu legislatif 2014. Mereka yang dianggap cacat politik atau tak memberi peran dan pesan politik transformasional, akan tersisih dari pilihan konstituen. Salah satu mendesak yang penting para anggota DPR periode ini adalah kerja keras menyelesaikan apa yang telah mereka prioritaskan tahun 2010. Antara lain, paket UU Politik. Jika pun meleset tidak tahun ini, seyogianya bisa diputuskan tak terlalu jauh dari tahun prioritas mereka. Artinya, paling telat awal tahun 2011, paket UU Politik ini bisa rampung. Jangan sampai, lagi dan lagi DPR terjerembab ke dalam kubangan persoalan berulang: pengesahan regulasi di penghujung harapan publik. Tugas para anggota DPR sekarang menunjukkan secara cermat dan sungguh-sungguh bahwa pemapanan politik bukanlah sebuah utopia.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jurnal Nasional, 19 September 2010

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute