Udhiyah untuk Kebahagiaan Bersama

Udhiyah untuk Kebahagiaan Bersama

Setiap manusia mendambakan kehidupan bahagia, bahkan kebahagiaan senantiasa menjadi bagian terpenting dalam doa harian kita kepada Allah Tuhan Yang Maha Pemberi kebahagiaan.

Kebahagiaan senantiasa menjadi dambaan setiap mu’min, tidak hanya di akhirat kelak, tapi juga dalam kehidupan dunia saat ini, dan untuk kebahagiaan pulalah Allah menurunkan syari’ah, baik aturan-aturan berupa perintah maupun aturan-aturan berupa larangan.

Umat Islam diperintahkan untuk melakukan shalat wajib lima kali dalam setiap hari, dengan berbagai anjuran sunah yang mengiringi shalat-shalat wajib, semata-semata untuk kebahagiaan umat islam itu sendiri, baik kebahagiaan dunia maupun akhirat kelak.

Demikian pula, dengan perintah zakat atau beribadah dengan pemberian harta, baik wajib maupun sunah, demikian pula dengan perintah puasa baik wajib maupun sunah, demikian pula dengan perintah haji dan umrah, baik wajib maupun sunah, semuanya untuk kebahaiaan mereka dalam kehidupan dunia saat ini, dan kehidupan akhirat kelak.

Oleh sebab itu, setiap pelaksanaan syari’ah sebaiknya dilihat tidak saja aspek peragaan fisik atau pemberian harta, tapi sebaiknya dilihat juga aspek spiritual di balik semua yang dilakukan, yang sangat sesuai dengan basis natur penciptaan manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa memerlukan sosok ke-Tuhanan.

Kebahagiaan dalam kehidupan dunia, sering kali dianggap simpel oleh semua orang, sehingga acap kali kita tidak merasa penting untuk mencoba memahaminya secara konsepsional.

Aliran Psikologi kognitif mencoba menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah kesesuaian antara apa yang difikirkan dan yang diinginkan tentang hidup, dengan apa yang diraih dalam kehidupan. Semakin tinggi tingkat kesesuaiannya, maka semakin tinggi tingkat kebahagiaannya.

Sementara kalangan aliran psikologi afektif menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah refleksi perasaan dari apa yang sudah mereka capai. Aliran ini tidak mengkalkulasi pencapaian untuk mengukur kebahagiaan, tapi menyimpulkan dari perasaan yang terefleksi dalam setiap pencapaian. Apa yang manusia fikirkan, dan apa yang manusia angan-angankan, pada hakikatnya adalah menjadi kebutuhan yang ingin mereka penuhi. Dan setiap manusia melalukan sesuatu, maka pada hakikatnya dia sedang memenuhi kebutuhannya.

Kebutuhan manusia sebagai individu, pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kendati demikian, setidaknya ada kebutuhan dasar yang semua muslim itu sama, yaitu; (1) Beragama (2) berbagi pada sesama (3) relasi sosial dan harmoni (5) kesehatan.

Berbagai kebutuhan tersebut disimpulkan dari tulisan Dr Ghalib Ahmad Mishri dan Dr Nathif Jami Adam dari King Fahd University. Setiap muslim akan bisa mencapai kebahagiaan dengan baik jika mampu memenuhi kebutuhan jiwanya dengan menjadikan iman sebagai dasar dalam setiap amal dan karya, kekuatan kontrol dalam pelaksanaan amal dan karya, dan menjadi tujuan dari setiap amal dan karya, dan begitulah seterusnya, bahwa mereka akan mencapai kebahagiaan bisa dapat melaksanakan ibadah, jika bisa memberi pada orang lain, bisa menjaga harmonisme relasi sosial dan seterusnya, karena pada hakikatnya semua itu merupakan kebutuhan dasar mereka untuk mencapai kebahagiaan.

Dengan demikian, semua ketentuan agama yang disampaikan Allah pada umat manusia, baik berupa perintah maupun larangan, mengikat atau tidak mengikat, pada akhirnya merupakan instrumen normatif untuk proses pencapaian kebahagiaan manusia sendiri, bukan semata kebahagiaan akhirat, tapi juga kebahagiaan dalam kehidupan dunia saat ini.

Disadari atau tidak oleh kita semua, kebermaknaan hidup bagi orang lain, merupakan kebutuhan psikologis semua orang, yang akan mampu menghantarkan kebahagiaan kita di dunia ini. Ketika kita memberi dan ketika kita berbagi pada orang lain, pada hakikatnya bukan semata sedang berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan apa yang kita bagi, tapi juga sedang memenuhi kebutuhan kita sendiri, yakni kebutuhan akan kebermaknaan hidup kita bagi orang lain melalui sikap dan tindakan “memberi” (giving). Demikian pula, ketika kita mengembangkan relasi sosial (Relating) dengan bersilaturrahmi, melakukan komunikasi sosial, berdialog di Mushalla, di Mesjid, di pertemuan warga dan yang sejenisnya, bukan saja untuk membangun kebersamaan, keharmonisan sosial, tapi pada saat yang sama sedang memenuhi kebutuahn kita untuk bisa diterima di tengah-tengah masyarakat di mana kita berada. Semakin kita terasa dibutuhkan oleh masyarakat, maka akan semakin tinggi rasa kepuasan psikologis kita, dan semakin tinggi pula pencapaian kebahagiaan kita dalam kehidupan dunia ini.

Sejalan dengan kesimpulan Dr Ghalib dan Dr Nathif di atas, pengalaman sebuah oragnisasi bernama action for happiness yang berpusat di UK, menyimpulkan, setidaknya ada lima (5) cara yang sangat tinggi tingkat konsistensinya, untuk mencapai kebahagiaan, yaitu (1) giving, (2) Relating, (3) Exercising (4) Appreciating dan (5) Trying Out.

Pengalaman manusia yang disimpulkan lewat pengamatan oleh para ahli psikologi tersebut, hanyalah sebuah pembenaran terhadap sebuah pola hidup dan kehidupan manusia yang dirancang Tuhan, yang Dia keluarkan secara komprehensif sebagai ajaran Agama. Begitulah istimewanya manusia di mata Tuhan Allah SWT, untuk kepentingan subyektifnya saja Allah menyiapkan rancangan disain prilaku yang menjadi agama, dan berimplikasi pahala dan dosa.

Untuk kebutuhan psikologisnya, seseorang perlu menjadi bagian dari komunitas, perlu komunikasi, dan perlu memiliki kebermaknaan dalam lingkungannya. Semua tindakan untuk menjadi bermakna tersebut, Allah jadikan sebagai bagian dari ajaran agama. Dengan demikian, beragama dengan baik dalam kehidupan sosial, menjadi bagian penting bagi seseorang untuk memperoleh kebahagiaan hidup.

Sejalan dengan itu, Allah sangat mengecam mereka yang lalai terhadap anak yatim, yang lalai terhadap orang-orang miskin, dan juga lalai dalam pelaksanaan ibadah, dan bahkan menyebutnya sebagi orang yang mendustakan agama, yakni mengaku beragama, padahal sebenarnya tidak sedang beragama, sebagaimana diungkap dalam surah al-Ma’un (S.107).

Artinya: "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang melakukan shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna."

Surah al Ma’un ini sedang mengkritik kita semua, karena kita sering tertipu oleh kehidupan dunia, sehingga kita sering sangat kikir untuk memenuhi kebutuhan sendiri, yaitu giving. Allah menegaskan orang yang tidak menyukai giving adalah orang yang mendustakan agamanya, artinya mengaku beragama tapi tidak sedang beragama, atau dalam bahasa lain dia adalah orang munafiq.

Surah al Ma’un ini menjelaskan tiga ciri orang munafiq, tidak mau memberi pada anak yatim, tidak mau memberi pada orang miskin, lalai dalam melaksanakan shalat, dan mencegah orang lain untuk memberi. Kelalaian akan tiga pekerjaan tersebut, akan semakin menjauhkan kita dari kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat, karena beberapa kebutuhan kita tidak kita penuhi, dan pada saat yang sama beberapa perbuatan untuk penyiapan bekal akhirat juga tereduksi.

Kebutuhan akan komunikasi dengan Tuhan melalui ibadah shalat, terkurangi, jika kita lalai melaksanakan ibadaha shalat, kebutuhan akan koneksi dengan Zat Yang Maha tidak terbatas, menjadi terkurangi, padahal manusia adalah makhluk dengan berbagai keterbatasan, dan akan sesantiasa memerlukan untuk terkoneksi dengan Yang Maha Tidak terbatas, sekedar untuk memenuhi berbagai harapan yang tidak bisa dijangkau karena keterbatasn kemanusiaan.

Demikian pula jika kita tidak peduli pada orang miskin, tidak peduli pada anak yatim, maka makna hidup sebagai seseorang yang berguna bagi lingkungan dan masyarakatnya, menjadi sirna. Kita memberi, kita peduli, bukan memenuhi kepentingan penerima, dan bukan sedang mencukupi kebutuhan mereka yang kita pedulikan, tapi justru sedang memenuhi kebutuhan kejiwaan kita untuk menggapai kebermaknaan hidup agar memperoleh kepuasan dan kebahagiaan.

Oleh sebab itulah, surah al-Ma’un tersebut disambung dengan surah al-Kautsar (nikmat yang banyak), yang memerintahkan bagi umat Islam yang memperoleh nikmat yang banyak, untuk memprioritaskan upaya memenuhi kebutuhan spiritual dengan mempersembahkan udhiyah kepada Allah untuk didistribusikan pada mereka yang membutuhkan. Allah menegaskan dalam surah al-Kautsar (S.108) ayat 1-3, yang artinya: "Kami telah memberimu nikmat yang banyak، Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah Qurban، sesungguhnya orang-orang yang membencimu, itulah yang terputus."

Ada teori dalam memahami sebuah ayat, yakni munasabah baina al surah wa al surah, atau korelasi antara satu surah dengan yang sesudahnya. Kedua surah al-Maun dan al Kautsar ini secara substantif menjelaskan ajaran yang sama dalam bingkai yang berbeda. Pada surah al-Ma’un Allah menyampaikan pesan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang akan membawa setiap orang pada kemunafiqan, sementara surah al-Kautsar ini, merupakan jawaban langsung dari pernyataan Allah di surah al Ma’un, bahwa untuk membuang tradisi buruk bersikap munafik, mendsutakan agama, dan lalai dalam pelaksanaan shalat, lalai dalam memberikan hak-hak fakir miskin, dan lalai dalam mengurusi anak yatim.

Allah memerintahkan perbuatan ibadah yang sangat multidimensional, yaitu ibadah makhdah dengan menyembelih binatang yang halal untuk dikonsumsi umat Islam. Penyembelihan binatang sebagai simbol bagi manusia untuk menyembelih atau mematikan jiwa kebinatangan yang ada pada setiap kita.

Ini benar-benar pelajaran dari Allah untuk kita semua, yang memiliki natur seperti binatang, tapi kita ini manusia yang diberi kekuatan akal yang potensinya untuk mengikat kebenaran dan kebaikan dipengaruhi oleh unsur nasut yang dibawa oleh ruh, dan mampu membedakan yang benar dan yang salah, dan manusia sering kali lalai, dan terus berada dalam dunia kebinatangannya, bahkan mungkin lebih sesat dari pada binatang, dengan terus menumpuk harta kekayaan karena kecintaannya pada dunia, dan menumpuk kekayaan dengan cara yang salah.

Oleh sebab itu, Allah memerintahkan untuk memotong jiwa kebinatangan tersebut, dan kita diarahkan Allah untuk menjadi manusia, dan berprilaku sebagaimana manusia yang memahami aturan, menyadari akan perlunya ikut aturan, sehingga kendati pun kaya, dengan cara yang benar, dipakai dalam jalan yang benar dengan cara yang benar, sehingga harta itu menjadi modal kita untuk memperoleh kebahagiaan di dunia ini, dan kebahagiaan di akhirat kelak.

Allah memerintahkan menyembelih binatang, sebagai perbuatan ibadah mahdhah, yakni perbuatan ibadah yang semata-mata untuk ibadah bukan kegiatan sosial, tetapi memiliki dimensi perbaikan sosial baik dalam konteks relasi sosial antara satu dengan yang lain, maupun pendistribusian karunia Allah, yang diperoleh seseorang untuk bisa dinikmati bersama.

Akan tetapi, bersamaan dengan itu, penyembelihan binatang udhiyah, pada sisi lain juga menjadi wasilah bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya, yakni rasa diterima oleh lingkungannya, dan rasa kebermaknaan dirinya dalam lingkungan sosialnya dan keduanya merupakan dua dari sepuluh kebutuhan jiwa untuk mencapai kebahagaiaan.

Dengan demikian, seseorang yang memiliki kelapangan, dan telah mempersembahkan binatang udhiyah untuk disembelih sebagai perbuatan ibadah, dia sudah memenuhi salah satu kebutuhannya, yakni mengisi relung jiwanya dengan Tuhan. Betapa pentingnya udhiyah untuk memperoleh kebahagiaan dan kepuasan hidup, sehingga Rasulullah dengan tegas menyatakan, “Barangsiapa yang memiliki kelapangan harta, namun tidak menyembelih binatang untuk udhiyah, maka sebaiknya jangan mendekati tempat pelaksanaan ibadah shalat ied."

Kemudian, ibadah qurban juga berdimensi sosial, karena dagingnya dibagi-bagi, bahkan dipersiapkan untuk tiga hari kedepan, siapa tahu masih ada anak-anak yatim dan faqir miskin yang terbagi daging bisa mendapatkannya di hari kedua atau ketiga. Tradisi zaman Nabi, sepertiga daging tersebut dijemur untk dikeringkan sehingga bisa dibagi dai hari kedua atau ketiga. Hari-hari tersebut dinamai dengan hari tasyriq, yakni hari menjemur daging qurban untuk diawetkan.

Dengan demikian, mereka yang berqurban, telah memenuhi salah satu kebutuhan jiwanya, untuk merasa diterima di lingkungannya, merasa dibutuhkan oleh sesamanya, dan kemudian merasa bahwa keberadaannya itu bermakna bagi orang lain. Akan tetapi, pada saat yang sama Allah juga memberikan pelajaran secara personal kepada setiap insan yang berqurban, yakni menyembelih binatang, yang secara simbolik adalah memotong jiwa kebinatangan yang terkadang menghinggapi kita, dan tidak saja untuk mereka yang berudhiyah, tapi juga bagi masyarakat lain yang menyaksikan pemotongan hewan qurban, agar nafsu kebinatangan tidak lagi mempengaruhi hidup kita dan hidup mereka yang terlibat dalam proses ritual tersebut, sehingga kita dan semua mereka dan bahkan semua umat Islam, akan dipenuhi rasa kesadaran yang terus menerus untuk menjalani hidup sesuai dengan aturan Tuhan. (mf)

Prof Dr Dede Rosyada MA, Rektor UIN Jakarta, Khutbah Ied al Adha, Masjid al Ittihad Tebet, Jakarta, 22 Agustus 2018 M./10 Dzulhijjah 1439.