Tarik Ulur Pembahasan RUU Pemilu

Tarik Ulur Pembahasan RUU Pemilu

[caption id="attachment_18657" align="alignnone" width="620"]Adi Prayitno M.Si Adi Prayitno M.Si[/caption]

Oleh Adi Prayitno, M.Si

Hingga kini Pansus RUU Pemilu belum mampu menyepakati sejumlah isu krusial. Akibatnya tahapan Pemilu Serentak 2019 dipastikan molor. Di tengah waktu yang kian terjepit, Pansus mesti bermanuver cepat menyepakati poin krusial tersebut. Tak ada lagi waktu tarik ulur. Sejak Kamis lalu (8/6) pengambilan keputusan atas sejumlah isu krusial sudah dimulai. Hanya satu isu yang berhasil disepakati, yakni saksi partai politik harus dilatih oleh Bawaslu. Selebihnya tak ada isu penting lain yang disetujui akibat perbedaan pandangan fraksi-fraksi di parlemen. Lima hari berselang, Pansus RUU Pemilu kembali menggelar sidang guna membahas poin krusial yang masih tercecer. Harapannya akan terjadi titik temu antarfaksi.

Namun rapat kembali ditunda. Pemerintah berhalangan hadir karena ingin memberikan waktu kepada fraksi-fraksi untuk melakukan rapat konsultasi alias lobi politik. Setidaknya ada lima poin krusial yang menjadi perdebatan tak kunjung usai, yakni parliamentary threshold, presidential threshold, magnitudo daerah pemilihan (dapil), sistem pemilu, dan metode konversi suara. Jika diringkas kembali, dari lima isu krusial ini, hanya ada dua isu yang paling sulit dikompromikan, yakni soal parliamentary threshold dan presidential threshold.

Banyak kalangan menduga, dua poin tersebut sulit mencapai titik temu karena menyangkut eksistensi partai politik di Senayan di masa mendatang. Termasuk soal peluang partai politik bisa mengusung capres dan cawapres sendiri. Secara umum fraksi-fraksi di DPR terbelah menyikapi dua poin krusial ini.

Partai besar seperti Golkar, PDIP plus satu partai bawah NasDem tetap mengusulkan presidential threshold atau ambang batas minimal syarat pencalonan presiden sebesar 20% perolahan suara di DPR atau 25% suara sah tingkat nasional. Sementara itu koalisi partai bawah dan menengah mengusulkan zero threshold (0%). Argumen penyokong 20% atau 25% presidential threshold didasarkan pada kenyataan bahwa seorang presiden terpilih harus memiliki jenjang politik memadai dimulai dari level bawah, yaitu presiden yang lahir dari rahim kaderisasi yang matang di partai politik.

Tak hanya itu, ketatnya syarat pencalonan presiden dianggap sebagai ikhtiar melahirkan presiden terpilih yang memiliki sokongan politik maksimal. Atau menghindari terpilihnya presiden minoritas. Menurut Scott Mainwaring dalam Presidentialism, Multyparty, and Democracy (1990), sistem presidensial multipartai memang sangat rentan melahirkan presiden minoritas, yakni presiden yang dapat sokongan minoritas di parlemen. Fenomena ini terpotret dari tahun pertama era Jokowi-JK yang sibuk meladeni manuver politik barisan oposisi.

Sementara itu soal parliamentary threshold atau ambang batas perolehan suara di parlemen juga terbelah. Partai besar ngotot akan menaikkan ambang batas suara parlemen menjadi 5% dari yang semula hanya 3,5%. Usul ini dimaksudkan untuk menyederhanakan keterwakilan partai politik di parlemen. Adapun koalisi partai menengah tetap ngotot di angka 3,5% untuk memfasilitasi banyaknya partai politik yang ikut pemilu. Penyederhanaan parpol mestinya tak dibatasi UU Pemilu yang diskriminatif, tapi melalui proses natural. Toh puluhan partai politik yang bermunculan pascareformasi berguguran secara alamiah karena tak dapat mendongkrak kinerja elektoral mereka. Tak Substansial Jika dibedah secara utuh, perdebatan poin yang dianggap krusial dalam RUU Pemilu sebenarnya tak terlalu substansial bagi pembenahan kualitas pemilu. Semuanya tak lebih dari sekadar upaya mengakomodasi kepentingan partai politik. Terutama partai besar yang tak mau kehilangan kemewahannya sebagai ”partai pemenang”. Inilah watak dasar partai politik. Menghalalkan segala cara untuk meraup kekuasaan meski harus mengabaikan kualitas demokrasi.

Partai politik biasanya cukup serius, bahkan harus ”gebrak meja” jika menyangkut kepentingan politik mereka. Namun mereka tak acuh jika beririsan dengan kepentingan rakyat. Bisa dicek satu per satu poin krusial tersebut. Ambang batas pencalonan presiden maupun parlemen tak ada kaitannya dengan upaya meningkatkan partisipasi rakyat. Begitu pun dengan metode konversi suara, alokasi kursi dapil, maupun sistem pemilu, semuanya nyaris tak ada kaitannya langsung dengan upaya menciptakan pemilu yang lebih jurdil nan demokratis.

Mestinya yang menjadi bahan perdebatan penting adalah segala hal yang terkait dengan upaya membangun kualitas pemilu. Misalnya dengan meningkatkan angka partisipasi pemilih, mengamputasi praktik politik uang (money politics), meredam politik dinasti, dan meminimalkan konflik akibat kecurangan pemilu. Ataupun upaya menciptakan pemilih kritis dengan melakukan pendidikan politik rakyat guna menjaring politisi andal yang populis. Juga menghadang politisi busuk yang hanya merongrong negara dengan berbagai perilaku korupsi.

Selain tak substansial , ada indikasi RUU Pemilu hanya akan melanggengkan oligarki partai politik dengan mengusulkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas yang dalam praktiknya tertutup. Itu artinya pemilih hanya membeli kucing dalam karung tanpa mengetahui rekam jejak sang caleg. Karena caleg terpilih ditentukan oleh partai politik, bukan oleh perolehan suara mayoritas. Pada saat bersamaan juga terendus upaya menghambat munculnya calon presiden alternatif.

Opsi 20% presidential threshold bisa dibaca sebagai manuver menutup gerak laju capres potensial alternatif tersebut. Mestinya partai politik besar memberi panutan bagaimana menciptakan kualitas demokrasi yang ajek. Bukan malah menghambat munculnya figur dan partai politik alternatif di tengah pluralisme rakyat. Titik Kompromi Dalam politik tak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Adagium politik ini cocok untuk menarasikan situasi buntu pembahasan RUU Pemilu. Partai-partai besar, terutama PDIP dan Golkar yang mendapat sokongan pemerintah, sejatinya bisa mundur selangkah agar terbuka ruang kompromi politik guna mengesahkan poin krusial. Begitu pun dengan partai kecil dan menengah juga harus mampu mundur selangkah untuk menemukan titik kompromi. Kata ahli politik Prusia, Otto von Bismarck, dalam politik apa pun serba mungkin (art of possibilities).

Politik hadir sebagai media negosiasi terhadap pihak pihak yang berseberangan. Jikapun fraksi-fraksi di DPR tetap bersikukuh dengan sikap politik masing-masing, titik kompromi yang paling rasional ialah melalui mekanisme voting terbuka di sidang paripurna. Sebab voting merupakan instrumen politik yang bisa diterima dalam sistem demokrasi. Sebab, jika tetap terjadi kebuntuan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan untuk kembali ke UU Pemilu lama Nomor 8/2012 tentang Pemilu. Jelas ini langkah mundur yang tak memiliki argumen kuat.

Tak mungkin menganulir sejumlah poin yang sudah ditetapkan Pansus Pemilu. Termasuk betapa boros dan mubazirnya waktu yang terbuang jika akhirnya Pemilu 2019 dipaksa mengacu pada UU Pemilu lama. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan untuk tidak menuntaskan sejumlah poin yang dianggap krusial terebut. Kuncinya adalah political will bersama antara Pansus RUU Pemilu dan pemerintah untuk menyudahi tarik ulur ini. (zm) Penulis adalah Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute. Artikel dimuat dalam kolom opini Koran SINDO, Kamis 15 Juni 2017, bisa diakses pada http://koran-sindo.com/page/news/2017-06-15/1/5/Tarik_Ulur_Pembahasan_RUU_Pemilu