Syiah Bukan Paham Baru di Indonesia

Syiah Bukan Paham Baru di Indonesia


Reporter: Hamzah Farihin

Diorama, BERITA UIN Online - Syiah masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya agama Islam. Hal ini terbukti dari para penyebar agama Islam di Nusantara seperti  para wali yang berasal dari kalangan keturunan Arab penganut Syiah. Selain itu, relief di Klentheng Cheng Ho, Semarang, yang berusia ratusan tahun, juga memperkuat teori tersebut. Relief itu menunjukkan, para saudagar dari Persia atau Iran sedang melakukan kunjungan ke Nusantara.

“Karena itu, sejatinya tidak ada yang baru dan aneh ketika kini Syiah berkembang di masyarakat,” kata Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta Dr Zulkifli dalam diskusi perdana Forum Silaturahmi Ilmiah (FSI) UIN Jakarta bertema “Membincang Syiah di Indonesia” di Ruang Diorama, Rabu (25/1). Selain Zulkifli, presentasi juga disampaikan Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Dr Fuad Jabali. Sedangkan Rektor Prof Dr Komarudin Hidayat bertindak sebagai pembahas.

Menurut Zulkifli, Syiah berkembang pesat ke segala penjuru dunia setelah terjadinya Revolusi Islam di Iran tahun 1979 dan keberanian pemimpin-pemimpin Iran melawan Amerika Serikat dan sekutunya. Keberanian inilah yang menjadikan marketing Syiah ke segala penjuru dunia termasuk ke Indonesia berjalan dengan sukses. Sehingga mayoritas orang Indonesia yang Sunni atau Abangan pun bersimpati ke orang-orang (Syiah) Iran. Bahkan, tidak sedikit orang Indonesia yang Sunni menjadi Syiah dengan ikut atau bergabung dalam organisasi-organisasi Syiah yang ada di Indonesia, baik di kampus maupun di kelompok pengajian.

Peneliti Syiah Indonesia jebolan Leiden University ini menjelaskan, penganut Islam Syiah di Indonesia berkembang begitu cepat semenjak pemerintahan Abdurahman Wahid. Pada masa itu keberadaan Syiah mulai diakui pemerintah dan dilegalkan untuk berkembang. Namun pada dasarnya mereka (Syiah) tidak terlalu menonjolkan keberadaannya, karena target utama hanya mengharapkan pengakuan saja dari lingkungannnya atas status yang tergambar dengan ajaran Islam yang diakuinya.

“Akan tetapi mereka tidak menunjukkan identitasnya. Sehingga kalau bertanya dengan orang Syiah, mereka tidak akan menjawab kelompok Syiah, jawabannya selalu ambigu, namun tetap saja pada dasarnya mereka berkeyakinan Syiah,” katanya.

Zulkifli menegaskan, sebenarnya pemerintah melalui MUI telah mengeluarkan keputusan tentang paham Syiah di Indonesia. MUI berpendapat, masyarakat perlu memposisikan kehati-hatian akan paham Syiah di Indonesia, bukan mengharamkan. “Paham Syiah tidak bisa dibuat fatwa haram karena tidak menyentuh sisi fundamental keislaman di Indonesia. Hanya saja MUI pusat harus berhati-hati dalam memutuskan fatwa Syiah. Karena kecenderungan paham Syiah terus dipolitisasi untuk memenangkan dominasi Sunni,” jelasnya.

Sementara itu, Dosen Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, Dr Fuad Jabali menilai, keberadaan paham Syiah di Indonesia, bukan dikarenakan unsur kultural atau intelektual tetapi lebih kepada sosial politik. Tanpa adanya revolusi Islam Iran, mungkin saja orang Sunni tidak terlalu berminat untuk pindah pemahaman ke Syiah. “Dan yang menjadi masalah, masyarakat Indonesia selalu didikte sejak lahir. Didikte oleh lingkungan, keluarga, sekolah, komunitas, dan pemahaman yang dibawa dari Timur Tengah. Di sana ada demo kita juga ikut berdemo, ” katanya.

Karena itu, orang Indonesia sulit sekali dan bahkan terkadang tidak bisa keluar dari jeratan masa lalu orang lain. “Misalnya saya. Ayah saya tumbuh di Garut dari keluarga Sunni, maka masa lalu ayah saya pun menjadi masa depan saya, bahkan dalam beberapa hal, menjadi penjara bagi saya. Penjara kesunnian versi ayah saya. Padahal, kalau ayah saya lahir di Iran, maka ayah saya bisa dipastikan Syiah, dan saya pun Syiah. Kalau ayah saya lahir di Israel maka saya adalah Yahudi,” kilahnya.

Atas dasar pemikiran tersebut, Fuad Jabali menegaskan, komunitas Sunni tidak dibenarkan menganggap bahwa Syiah adalah ajaran yang sesat dan tidak benar. Karena di mata Syiah mungkin saja Sunni juga dianggap sebagai ajaran yang sesat. Walaupun telah berhasil menunjukkan secara rasional kepada teman Syiah bahwa Sunni lebih unggul dari Syiah, tapi belum tentu orang Syiah mau pindah ke Sunni.

“Karena menjadi Syiah dan Sunni bukan semata-mata persoalan rasionalitas, tetapi menyangkut persoalan sosial, keluarga, masa lalu, jati diri dan hidayah yang sering kali berada di luar kontrol kita. Kebencian Sunni kepada Syiah adalah warisan kebencian Muawiyah kepada Ali di masa lalu, warisan kebencian kekuasaan berbasis suku kepada musuh-musuhnya. Jika demikian, jangan-jangan hubungan Sunni-Syiah di Indonesia adalah hubungan orang lain di masa lalu yang kita mainkan di masa kini,” katanya.

Bagi Komarudin Hidayat, persoalan Sunni-Syiah lebih kepada sentimen kabilah. Kalau saat ini istilahnya rasa nasionalisme, dulu melakukan peperangan memperebutkan sumber air sebagai ghanimah-nya. Sekarang melakukan peperangan ghanimah-nya sumber minyak. “Sentuhan kabillah dulu dengan tribalisasi, kemudian datang Rasulullah menyelesaikan dengan akhlakul karimah, namun sepeninggal Rasul, akhlak tersebut hampir punah, sehingga saat kepemimpinan Ali dibangkitkan lagi tetapi tidak mampu mempertahankan akhlak yang dibawa rasul saat itu, maka  terjadilah perpecahan,” tuturnya.[]