Studi PAI Harus Akomodasi Kecenderungan Generasi Milenial

Studi PAI Harus Akomodasi Kecenderungan Generasi Milenial

Jakarta, BERITA UIN Online— Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dan perguruan tinggi perlu mengakomodasi kecenderungan generasi milenial. Di saat yang sama, literatur Islam moderat juga perlu diperkaya sehingga bisa mengisi kebutuhan kalangan yang lahir dalam 25 tahun terakhir.

Demikian rekomendasi riset Literatur Keislaman Generasi Milenial hasil kerjasama PPIM UIN Jakarta, Pascasarjana UIN Yogyakarta, dan CONVEY Indonesia. Hasil riset dipaparkan Direktur Pascasarjana UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan MA di Jakarta, Rabu (10/1/2018).

Paparan riset sendiri diisi dengan diskusi yang melibatkan sejumlah narasumber. Diantaranya Guru Besar UIN Jakarta Prof. Dr. Jamhari Makruf, Guru Besar UIN Yogyakarta Prof. Dr. Amin Abdilah, dan Dosen Komunikasi UI Dr. Inaya Rakhmani MA.

Riset, tutur Noorhaidi, melihat pentingnya penyempurnaan PAI baik di aspek kurikulum, materi, maupun buku-buku rujukan yang digunakan sehingga mampu mengakomodasi kecenderungan pembacaan kalangan milenial. Di saat yang sama, penyediaan literatur Islam moderat yang menarik minat baca mereka juga amat dibutuhkan.

“Pemerintah perlu memperkuat literatur keislaman yang mengemban misi dan menyemai Islam arus utama bercorak moderat sekaligus menjadi pegangan tambahan pelajar dan mahasiswa saat mempelajari Islam,” paparnya lagi.

Generasi milenial, lanjutnya, yang lekat dengan teknologi digital dan bersinggungan dengan gaya hidup instan cenderung memilih literatur keislaman populer dengan gaya bahasa renyah dan desain trendi. Sebaliknya, mereka kurang begitu meminati pembacaan literatur keislaman tradisional yang cukup berat untuk dibaca.

Kecenderungan demikian, riset mencatat, memberikan celah masuknya penyebaran pengaruh Islam ideologis melalui berbagai terbitan literatur dengan gaya bahasa dan desain milenial. Padahal kontennya memuat tema-tema tema-tema jihadi, tahriri, tarbawi, salafi, dan populisme Islam.

Riset sendiri dilakukan di 16 kota di Indonesia, yaitu Medan, Pekanbaru, Padang, Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, Palu, Mataram, Ambon, dan Denpasar. Di kota-kota ini, sebanyak 288 informan individu diwawancara dan 32 focus group discussion (FGD) dilakukan guna melihat peta literatur keislaman generasi yang lahir setelah 1992.

Sedang literatur keislaman yang dimaksudkan dalam penelitian sendiri adalah setiap bentuk bacaan yang diduga berpengaruh atas wawasan dan pengetahuan generasi milenial. Ini bisa berupa buku-buku teks, buku-buku bacaan luar kelas, majalah, leaflet dan lainnya

Di tepi lain, riset juga menemukan pola hubungan yang paralel antara pertumbuhan produksi literatur keislaman dan perkembangan gerakan Islamisme di sebuah kota. Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Bogor adalah empat kota yang produktif menerbitkan buku-buku Jihadisme di Indonesia sekaligus dinamis dalam menampilkan gerakan tersebut.

 

Milenial dan Penguatan Keagamaan Konservatif

Menanggapi temuan riset, Jamhari mengungkapan, terdapat kecenderungan bertolakbelakang yang ditampilkan generasi milenial. Di satu sisi generasi ini menunjukan hibriditas gaya hidup seperti konsumsi kuliner, gaya berpakaian, bahkan musik. Di sisi ini, mereka menunjukan penerimaan terhadap gaya hidup yang lain.

Namun di sisi keagamaan, jelasnya, muncul kecenderungan untuk mempertahankan sikap keagamaan yang konservatif. Pembacaan opini keagamaan Islam secara hitam putih dengan mengabaikan latar belakang konteks opini tersebut menjadi faktor lahirnya sikap tersebut. “Nah, ini yang aneh,” ujarnya.

Inaya menambahkan, hasil pembacaannya atas generasi milenial menyimpulkan jika generasi ini memiliki kecenderungan penerimaan terhadap yang instan, populer, dan trendi, termasuk pembacaan literatur. Untuk itu, Inaya merekomendasikan perlunya penulisan literatur keislaman dengan gaya bahasa dan desain milenial dengan tetap mempertahankan kualitas konten. “Mungkin perlu pemenuhan literatur keislaman ready to use,” ucapnya.

Di sisi lain, Amin justru menilai, kecenderungan generasi yang serba instan, termasuk pembacaan atas literatur keislaman merupakan alarm pentingnya pembacaan ulang atas kebijakan kurikulum dan pendekatan pembelajaran PAI nasional. Kurikulum dan pendekatan pembelajaran, jelasnya, perlu didesain dengan pendekatan yang sesuai dengan nalar generasi milenial.

Kecenderungan demikian, sambungnya, juga harusnya diantisipasi pemerintah dengan menyeimbangkan fasilitasi peminatan studi sains dan humaniora. Menurutnya, keduanya dibutuhkan dalam pengembangan inovasi teknologi modern sekaligus penghargaan terhadap nilai-nilai keadaban hidup umat manusia sendiri.

“Ini misalnya bisa diberikan dengan memberikan porsi yang sama beasiswa antara beasiswa studi sains dengan religious studies. Kedua-duanya dibutuhkan,” tandasnya. (farah nh/yuni nk/zm)