RUU Perlindungan Umat Beragama, Belum Tentu Jamin Hak Minoritas

RUU Perlindungan Umat Beragama, Belum Tentu Jamin Hak Minoritas

[caption id="attachment_9448" align="aligncenter" width="770"]Menag beri Kuliah umum yang bertajuk "Keselamatan dan Kesejahteraan Jamaah Haji" di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Menag beri Kuliah umum yang bertajuk "Keselamatan dan Kesejahteraan Jamaah Haji" di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)[/caption] BERITA UIN, Online -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan hak kelompok beragama minoritas belum tentu terjamin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama. Lukman mengatakan pihaknya tengah mengumpulkan aspirasi dari berbagai kalangan untuk RUU tersebut. Saat ini Kementerian Agama telah mengadakan diskusi secara internal untuk pembahasan RUU tersebut. Kemudian, pada beberapa bulan ke depan, kata Lukman, akan dilakukan diskusi dengan mengundang pihak eksternal seperti majelis agama, ormas keagamaan, tokoh agama, akademisi, serta pers. "Soal perlindungan kelompok beragama minoritas, tergantung aspirasi yang terkumpul nanti. Bisa saja kelompok seperti Ahmadiyah akan diberikan ruang atau justru dibatasi," kata Lukman saat ditemui di Jakarta, Rabu (10/2). Kendati demikian, Lukman berpendapat apabila RUU Perlindungan Umat Beragama disahkan, maka kelompok beragama ataupun aliran yang tidak sejalan dengan agama yang diakui pemerintah akan mendapatkan kepastian hukum. "Nanti akan dilihat apakah aliran kepercayaan adalah bagian dari agama atau di luar agama. Ini cara pandang yang harus disamakan," kata Lukman. Selama ini Lukman menilai ada keragaman dalam melihat aliran atau kepercayaan yang berbeda dari enam agama yang diakui pemerintah. Di satu sisi, kata Lukman, ada tuntutan agar aliran atau kepercayaan tersebut diakomodasi selayaknya agama yang diakui. Namun, di sisi lainnya, ada warga dari aliran atau kepercayaan tersebut yang menolak dianggap sebagai agama. Oleh karena itu, Lukman menilai harus ada regulasi yang mengatur aliran atau kepercayaan yang berbeda dari enam agama yang diakui pemerintah Indonesia. "Setidaknya harus ada kesepakatan dalam memandang hal tersebut. Ini bukan persoalan sederhana. Perlu ada satu titik di mana semuanya saling memahami," katanya. Selain itu, Lukman menilai penyiaran agama juga menjadi salah satu hal yang harus disoroti dalam RUU tersebut. Pasalnya, ia menilai penyiaran agama yang tidak terkontrol regulasi dapat memicu konflik. Hal lainnya yang rencananya akan diatur dalam RUU tersebut adalah pendirian rumah ibadah. Lukman menilai perlu ada wadah hukum yang lebih kuat dalam mendirikan rumah ibadah, di mana hal tersebut menjadi kewenangan kepala daerah. "Pendirian rumah ibadah terkait dengan persoalan sosial, tata kota, dan tata ruang sehingga porsi kepala daerah lebih dominan. Perlu ada aturan menyangkut itu," ujarnya. Selain itu, Lukman mengatakan RUU ini akan menentukan lembaga mana yang berhak menilai aliran atau kepercayaan orang lain sesat. Mekanismenya juga akan diatur dalam RUU tersebut. Pada tahun lalu, Kementerian Agama telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum diajukan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin telah melakukan kunjungan ke tokoh agama dan masyarakat di Indonesia untuk meminta pertimbangan mengenai konten RUU tersebut. Lukman menjelaskan definisi tentang penodaan dan penistaan agama akan dicantumkan didalam RUU Perlindungan Umat Beragama itu. Menurutnya, selama ini beberapa tindakan penodaan agama seringkali disalahartikan oleh masyarakat sebagai tindakan yang boleh dilakukan. Oleh karena itu, dia menilai perlindungan agama perlu dicantumkan dalam RUU Perlindungan Umat Beragama. (cnnindonesia)