Reposisi Pesantren Di Era Disrupsi

Reposisi Pesantren Di Era Disrupsi

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pesantren boleh dikata sebagai lembaga pendidikan tradisional khas Indonesia. Padahal dari segi nama, “pesantren” itu dicomot dari bahasa asing, yakni Sansekerta. Itulah faktanya. Seperti komentar JS Badudu, bahwa sebelas kata bahasa Indonesia, sepuluh kata merupakan serapan dari bahasa asing, baik Arab, Belanda, Inggris, dan lainnya.

Unsur-unsur pesantren yang terpenting adalah kiyai, kitab kuning, santri, masjid, dan asrama. Kiyai adalah nama untuk seorang ulama berakhlak mulia dan berilmu tinggi. Dalam terminologi al-Qur’an, ulama itu sosok yang takut kepada Allah SWT. Misalnya, “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama” (QS. Fathir/35: 28).

Secara manajerial, kiyai biasanya ditemani oleh seorang istri yang kaprah disebut Ibu Nyai untuk mengurus pesantren. Secara operasional, kiyai mengangkat badal (pengganti) untuk urusan pengajaran. Untuk urusan ritual dan peribadatan seperti imam shalat, memimpin wirid ditangani sendiri oleh kiyai. Jadi kiyai adalah figur sentral dan tunggal.

Secara ontologis, sumber ilmu pengetahuan pesantren adalah al-Qur’an, al-Hadits, dan kitab kuning. Kitab kuning memuat berbagai bidang studi Islam seperti akidah, fikih, akhlak, kalam, sejarah, ilmu nahwu atau gramatika Arab, dan ilmu sharaf atau morfologi Arab. Semua pelajaran umumnya disampaikan langsung oleh kiyai.

Berdasar sumber ilmu pengetahuan yang diajarkan di pesantren, dapat dikata bahwa pesantren mengajarkan rumpun ilmu pengetahuan agama. Secara epistemologis, metode bayani digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan agama, seperti tafsir, hadits, dan lain-lain. Metode bayani ini bertumpu pada penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW.

Metode bayani ditempuh kiyai karena tujuan belajar di pesantren adalah tafaqquh fiddin, yakni memperdalam ilmu pengetahuan agama, bukan ilmu pengetahuan sosial yang menggunakan metode burhani, ilmu pengetahuan alam yang menggunakan metode ijbari. Metode burhani ditempuh dengan observasi dan metode ijbari dengan eksperimentasi.

Kalau metode bayani menghasilkan ilmu pengetahuan agama seperti disebut di atas, metode burhani menghasilkan ilmu pengetahuan sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan lain-lain. Sementara metode ijbari menghasilkan ilmu pengetahuan alam seperti biologi, kimia, fisika. Termasuk ilmu terapannya seperti kedokteran, botani, dan astronomi.

Dalam konteks metodologis seperti inilah pendidikan pesantren dipandang penting untuk melakukan reposisi di era disrupsi. Apalagi sejarah dan peradaban Islam yang gilang-gemilang menunjukkan bahwa umat Islam menguasai rumpun ilmu pengetahuan agama, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan alam, tepatnya pada abad klasik.

Bahkan selain ketiga metode di atas, umat Islam juga sangat akrab dengan metode jadali yang menghasilkan rumpun filsafat seperti metafisika, kosmologi, ilmu jiwa dan lain-lain. Ada juga metode irfani yang menghasilkan ilmu laduni. Tak ada pilihan, pesantren di Indonesia harus menggunakan kelima metodologi ilmu pengetahuan yang telah diuraikan.

Selain reposisi metodologis, pesantren juga harus merubah cara berpikir dari deduktif-normatif ke induktif-empiris, sebab era disrupsi meniscayakan cara berpikir seperti ini. Maksudnya, pesantren harus mempersiapkan santri yang berpikir maju dalam merespons semua fenomena sesuai yang terjadi di depan mata dan akan terjadi pada masa depan.

Sebab ulama seperti Imam Syafii (wafat 204 Hijriah), saat menulis buku fikih al-Umm, tidak ditulis dengan hanya menggunakan metode bayani, tapi juga burhani dan ijbari. Beliau juga tidak hanya menggunakan cara berpikir deduktif-normatif dengan merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits, tapi juga menggunakan cara berpikir induktif-empiris.(sam/mf)