Psikologi Ramadan di Tengah Pandemi

Psikologi Ramadan di Tengah Pandemi

Ramadan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam berpuasa dan beribadah Ramadan, umat Islam tahun ini mengalami ujian berat akibat mewabahnya pandemi Covid-19. Masjid sebagai pusat syiar Ramadan hampir pasti mengalami “lock down”. Masjid “kehilangan” jamaahnya. Buka puasa bersama, tarawih, tadarus Alquran, dan kegiatan keislaman lainnya menjadi kurang semarak.

Namun demikian, kita harus tetap bersyukur kepada Allah SWT karena Ramadan tetap menjadi tamu istimewa, bulan suci penuh berkah.  Ramadan menjadi momentum peningkatan kualitas kesalehan personal dan kesalehan sosial kita dalam rangka mendulang rahmat, kasih sayang, dan ampunan dari-Nya melalui aneka ibadah Ramadan yang dijalankan berbasis iman, ilmu, keikhlasan, kekhusyukan, dan kesabaran.

Puasa Ramadan memberi kesempatan emas untuk memikirkan eksistensi diri sendiri (at-tafkir fi adz-dzat) sebagai hamba Allah, sehingga kita dapat menempuh jalan hidup seimbang dan proporsional antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Jika di luar Ramadan, diri kita boleh jadi cenderung lebih mencintai dunia, maka Ramadan idealnya menstabilisasi kecenderungan duniawi dengan antusiasme meraih tujuan puasa (menjadi hamba bertakwa) demi mewujudkan kebahagiaan ukhrawi.

Puasa Ramadan melatih penyucian dan pengendalian diri (self control): pengendalian gejolak nafsu syahwat dan godaan setan berbasis keimanan, keikhlasan, dan kesabaran. Penyucian dan pengendalian diri ini diaktualisasikan dalam bentuk ketaatan beribadah, kedisiplinan, dan ketekunan mendekatkan diri kepada Allah melalui salat tarawih, tadarus Alquran, iktikaf, dan kedermawanan sosial melalui ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf). Dengan cara seperti itulah, Allah SWT mendesain Ramadan sebagai bulan peningkatan iman dan imun: imunitas tubuh menjadi lebih sehat, bugar, dan kuat, termasuk dalam melawan pandemi.

Karena itu, puasa Ramadan itu menyehatkan jasmani dan ruhani. Para pakar psikologi banyak melakukan penelitian tentang manfaat puasa Ramadan dan puasa sunah di luar Ramadan. Terbukti, puasa itu sangat bermanfaat untuk pengembangan kepribadian positif dan hebat.  Puasa membentuk kematangan jiwa, ketercerahan intelektual, kematangan spiritual, dan keluhuran moral. Puasa menumbuhkan rasa kasih sayang, jiwa filantropis, sabar, disiplin, tanggung jawab, emosi terkendali, relaksasi dan refleksi psikologis pada orang yang berpuasa dengan penuh keikhlasan dan kekhusyukan.

Secara psikologis, puasa Ramadan memberikan nuansa spiritual yang sangat kental dan mendalam. Selama Ramadan ini kita dilatih bangun tidur lebih awal. Bukan sekadar bangun untuk santap sahur, tetapi waktu sahur atau sepertiga terakhir malam merupakan momentum paling tepat untuk beristighfar, berdzikir, beribadah, dan berdoa kepada Allah SWT. Waktu sahur adalah waktu premium di mana sinyal spiritualnya sangat kuat dan dekat dengan Allah SWT.  Secara fisik, waktu sahur, menurut sebuah riset, juga merupakan waktu paling tepat untuk menikmati oksigen paling murni, segar, dan sehat untuk memenuhi kebutuhan fisik kita. “Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; di waktu sahur mereka beristighfar (kepada Allah).” (QS ad-Dzariyat: 17-18)

Secara psikologis, puasa Ramadan juga mendidik shaimin dan shaimat (puasawan dan puasawati) merasakan ketenangan batin, relaksasi psikologis dan intelektual. Sebab puasa sehat tidak sekadar menahan rasa lapar, haus dan dahaga, melainkan juga melatih menahan dan menjauhkan diri dari segala yang membatalkan puasa. Psikologi Ramadan itu idealnya menghadirkan totalitas puasa: perut, organ di bawah perut, pancaindera, lisan, hati, dan pikiran, sehingga jiwa manusia menjadi lebih bersih dan suci (bertakwa) di mata Allah. Jika jiwa puasawan dan puasawati bersih, niscaya melahirkan pribadi sehat: fisik, psikis, mental spiritual, moral, dan sosial.

Apabila ibadah Ramadan dijalani dengan benar, sesuai syarat, rukun, dan sunahnya, maka puasawan dan puasawati akan sukses membangun “benteng pertahanan” diri yang kokoh. Serangan aneka godaan nafsu syahwat dan bisikan setan dapat dihadapi, dan dilawan dengan imunitas mental spiritualnya yang berbasis keimanan, keikhlasan, dan kesabaran. Puasawan dan puasawati  memiliki imunitas lebih baik untuk melawan pandemi Covid-19.

Pribadi yang mempunyai pertahanan diri (self defance) yang kuat adalah pribadi hebat dan sehat secara fisik dan psikis. Karena itu, Nabi SAW mendalilkan bahwa puasa itu merupakan perisai atau benteng pertahanan mental spiritual yang dapat menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia dan kontra produktif.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Benteng pertahanan mental spiritual inilah yang dapat melejitkan kualitas iman dan takwa.

Secara medis, puasa Ramadan juga dapat menurunkan kadar gula dalam tubuh. Pada tahap awal, penurunan kadar gula, secara fisik dapat menyebabkan rasa lemas, mudah menguap, mengatuk di siang hari, dan rasa malas. Akan tetapi, jika penurunan kadar gula ini diimbangi dengan komitmen tinggi,  kemauan kuat, dan kesadaran spiritual handal bahwa kita sedang berpuasa, maka menurut riset, kondisi ini justru menjadi titik balik bagi peningkatan kekhusyukan, kedekatan diri, dan ketenangan jiwa dalam beribadah kepada Allah. Implikasinya, puasawan dan puasawati semakin mampu mengendalikan dirinya.

Psikologi Ramadan membuat puasawan dan puasawati tidak dikuasai amarah dan hawa nafsunya, tetapi mampu mengendalikan diri sendiri secara rileks dan nyaman. Dengan berpuasa Ramadan, niat (tekad) dalam hati diteguhkan, kompetensi berpikir positif, kreatif, dan produktif dilejitkan. Hal ini dibuktikan oleh para ulama besar, seperti Imam Bukhari, al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dan sebagainya yang menjadi lebih produktif dalam berkarya di bulan Ramadan.

Dengan demikian, meskipun dihadapkan pada Covid-19, psikologi Ramadan tidak menghalangi umat Islam untuk mewujudkan multikesalehan dan multi-kebahagiaan. Misalnya saja, kebahagiaan fisikal, berupa kegembiraan dan kenikmataan luar biasa saat berbuka puasa, setelah seharian menahan diri, tidak makan dan minum. “Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya (kelak di akhirat) (HR Muslim). Merasa gembira dan nikmat saat memakan makanan adalah indikator bahagia secara fisik. Di saat berbuka, hormon endorfin (horman bahagia) turut menyertai nikmatnya merasakan makanan dan minuman setelah menahan rasa lapar dan dahaga.

Selain itu, kesalehan sosial dalam bentuk spirit kebersamaan dan persaudaraan di bulan Ramadan membuahkan jiwa filantropis: gemar bersedekah, peduli, empati, dan berbagi kepada sesama. Ziswaf merupakan aktualiasisi kepedulian sosial untuk membahagiakan orang lain, terutama mereka yang terdampak oleh protokol kesehatan WHO: physical and social distancing,  sehingga mengalami kesulitan dan keterbatasan sosial ekonomi.

Dengan kesalehan spiritual yang terjaga, Ramadan melahirkan pribadi yang taat dan tekun beribadah kepada Allah SWT. Ketaatan dan kedekatan  diri kepada Allah merupakan salah satu solusi dan jalan pendakian spiritual (mi’raj ruhani) menuju ampunan dan pengabulan doa permohonan dan perlindungan diri kepada Allah SWT, termasuk perlindungan keselamatan bangsa dan umat manusia dari bahaya pandemi Covid-19.

Jadi, Ramadan tahun ini harus dijadikan sebagai bulan ibadah sekaligus jihad mental spiritual melawan pandemi Covid-19 dengan disiplin positif dan kolektif dalam mematuhi protokol kesehatan: membiasakan pola hidup sehat, bersih, disiplin mencuci tangan, menjauhi kerumunan sosial, menjaga jarak aman dengan orang lain, sekaligus melejitkan energi iman dan daya imun melalui energi sabar, doa, istighfar, tobat, dan munajat kepada Allah agar kiranya pandemi virus corana yang telah membuat hampir semua warga dunia menderita dan merana segera sirna.  

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Kepala Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta, Wakil Ketua IMLA Indonesia. Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/04/30/psikologi-ramadan-di-tengah-pandemi/. (zm/mf)