Proxy War (1)

Proxy War (1)

Oleh: Azyumardi Azra

azyumardi-azraProxy war atau secara lebih spesifik ‘proxy sectarian war’—perang proxy karena sektarianisme keagamaan. Secara singkat, ‘proxy war’ adalah ‘perang boneka di antara dua negara atau lebih tanpa melibatkan secara langsung negara-negara atau warga negara itu sendiri dalam perang terbuka di antara mereka. Perang justru terjadi dan berkobar di negara atau wilayah lain di antara kelompok pro dan anti masing-masing negara yang menjadi semacam ‘boneka’ karena mendapat bantuan dana, pelatihan dan persenjataan dari negara-negara yang bertarung.

Oleh karena itu, lazimnya proxy war terjadi dan sering berlangsung lama bukan di negara  yang berkontestasi. Biasanya proxy war terjadi di wilayah lain di luar kedua negara yang saling bermusuhan dan ingin menghancurkan lawannya.

Isyu proxy war menyelinap ke dalam pikiran penulis Resonansi ini ketika dalam beberapa konperensi dan seminar di tanahair yang diselenggarakan perguruan tinggi dan ormas Islam mendapat pernyataan dan pertanyaan berbau sektarianisme bernada perang tentang ‘bahaya’ Syi’ah di Indonesia. Dengan nada seperti itu, komunitas-komunitas agama berbeda, khususnya Islam Indonesia—sudah dekat pada proxy war.

Kecenderungan meningkatnya pernyataan dan pertanyaan tentang subyek ini terlihat di tanahair sedikitnya dalam masa sepuluh tahun terakhir. Peningkatan itu juga lebih jelas bisa disimak di dunia maya. Banyak sekali situs memprovokasi umat beragama melakukan tindakan yang tidak lain adalah proxy war.

Nada proxy war  bahkan sempat menyelinap dalam percakapan di sela-sela Muktamar NU dan Muktamar Muhammadiyah awal Agustus 2015. Meski pimpinan utama kedua ormas Islam telah dan terus menekankan pentingnya dialog dan rekonsiliasi Sunni-Syiah, tetap saja ada segelintir orang yang berbicara dengan nada proxy war.

Peningkatan sektarianisme bersemangat proxy war dewasa ini terkait banyak dengan terus meningkat kontestasi politik, ekonomi dan agama di antara Arab Saudi dengan Iran. Kontestasi ini bukan hal baru karena kedua negara telah terlibat dalam perebutan pengaruh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya di Dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya, tetapi juga di banyak bagian lain Dunia Islam, dan bahkan juga di antara komunitas Muslim yang berbeda etnis, tradisi sosial-budaya dan paham keislaman di Eropa dan Amerika Utara.

Pertarungan di antara kedua negara yang menghasilkan proxy wars di Timur Tengah dan Asia Selatan-Barat dalam masa kontemporer bermula sejak masa sukses revolusi Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979. Keberhasilan ini mendorong pemerintah dan lembaga Iran mengekspor paham dan gerakan Syiah revolusioner guna menumbangkan rejim otokratik dan despotik di wilayah Dunia Muslim lain.

Pada saat berbarengan Arab Saudi bangkit menjadi negara kaya ‘petro-riyal’ berkat eksploatasi minyak besar-besaran sejak akhir 1970an. Dengan dana melimpah, Saudi tidak hanya menjadi salah satu negara terkuat di Timur Tengah, tetapi juga meningkatkan usaha penyebaran paham dan praksis Wahabisme di wilayah Dunia Muslim lain dan di kalangan komunitas Muslim di Barat.

Upaya kedua negara ini dalam penyebaran paham dan praksis Islam masing-masing ke lingkungan kaum Muslimin lain dapat dilihat dengan peningkatan bantuan dana untuk pembangunan masjid, Islamic Center, Sekolah dan Perguruan Tinggi dan Pusat Bahasa dan Kebudayaan; penyediaan beasiswa untuk belajar di Saudi atau Iran; pengadaan literatur untuk perpustakaan; penyelenggaraan konperensi atau seminar dan seterusnya. Melalui berbagai program dan kegiatan semacam itu, kelompok-kelompok Muslim yang pro dan anti masing-masing negara juga menguat—meningkatkan pertarungan Syiah versus Wahabisme.

Upaya akselarasi penyebaran kedua aliran ini mengalami kemunduran (setback) dengan terjadinya peristiwa besar seperti 9/11 pada 2001 di Amerika Serikat yang diikuti penyerbuan Afghanistan oleh AS dan sekutunya untuk menghabisi Taliban yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ‘Nine-Eleven’. Afghanistan yang sejak masa pendudukan Uni Soviet paroan kedua dasawarsa 1980-an menjadi ajang proxy wars di antara komunitas agama berbeda yang mewakili kepentingan sektarianisme keagamaan di negara-negara lain. Akibatnya sampai sekarang Afghanistan masih terjerumus dalam lubang kelam tanpa dasar (abyss).

Ambruknya negara-negara kuat di Dunia Arab dan sejak jatuhnya Presiden Saddam membukakan ‘kotak pandora’ sektarianisme keagamaan sangat kompleks dan rumit. Ada konflik antara Sunni dan Syiah dan antara berbagai aliran Sunni atau Syiah. Sektarianisme keagamaan yang bersumber terutama dari kontestasi politik kian bernyala-nyala terkait pengalaman historis panjang konflik dan perang yang diberi justifikasi pemahaman dan praksis keagamaan tertentu.

Situasi kacau seperti itu memudahkan masuknya ‘tangan-tangan’ negara lain yang menggunakan berbagai pihak terlibat konflik untuk kepentingan politiknya. Hasilnya adalah proxy wars yang terus berlanjut, yang melibatkan kelompok radikal semacam Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, al-Qaedah dan terakhir sekali ISIS.

Apakah Indonesia bisa terjerumus ke dalam proxy war seperti terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan-Barat?

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Asian Muslim Action Network (Aman), Bangkok, Thailand

Artikel ini dimuat di Kolom Opini Resonansi, Republika, Kamis 13 Agustus 2015

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/08/12/nsz4pi319-proxy-war-1