Potensial Jadi Klaster, Pesantren Butuh Dukungan Hadapi Pandemi

Potensial Jadi Klaster, Pesantren Butuh Dukungan Hadapi Pandemi

Gedung Rektorat, BERITA UIN Online— Pesantren menjadi lingkungan yang potensial menjadi klaster penyebaran Covid 19 menyusul adanya celah yang menjadi pintu masuk persebaran virus. Dukungan bagi pesantren dalam memperkuat resiliensinya terhadap paparan pandemi sangat diperlukan sehingga proses belajar di dalamnya bisa terus berjalan.

Demikian benang merah hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bertajuk “Dampak dan Ketahanan Institusi Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di Pesantren saat Krisis Pandemi COVID-19: Studi 15 Pesantren wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat”. Riset didiseminasikan secara daring, Rabu (19/1/2022).

Riset sendiri dilakukan di 15 pesantren di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebagai tiga kawasan dengan kasus persebaran Covid 19 yang tinggi. Riset dilakukan sepanjang Juli-November 2021 dengan melibatkan 819 responden untuk data kuesioner dan 132 informan wawancara dan diskusi kelompok terfokus.

Kordinator Penelitian Pesantren dan Pandemi Laifa Annisa Hendarmin Ph.D mengungkapkan, idealnya kyai dan santri di pesantren memiliki ruang untuk tidak menjadi bagian yang rentan terpapar pandemi karena lingkungannya yang cukup terisolasi. Dengan begitu mereka bisa lebih aman dari paparan virus.

"Namun berdasar riset yang kami lakukan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan karena ada beberapa pintu masuk (persebaran virus, red.)," ingat dosen Fakultas Kedokteran UIN Jakarta ini.

Salahsatunya adalah aktifitas arus keluar masuk warga pesantren sendiri sehingga terbuka celah bagi masuknya virus. Lainnya, kehadiran masyarakat sekitar yang masuk ke lingkungan pesantren dengan bersama-sama menggunakan fasilitas pesantren seperti masjid untuk shalat berjamaah.

"Seperti diketahui, ada pesantren yang terpisah dengan masyarakat sekitar, ada juga yang tidak atau tidak memiliki batas khusus dengan warga dan menggunakan fasilitas pesantren seperti masjid," katanya.

Celah lainnya adalah jika pesantren tidak cukup ketat melakukan skrining bagi warga yang masuk atau isolasi yang kurang ketat. Karena itu, celah-celah ini perlu diperhatikan sehingga paparan pandemi tidak menyasar ke lingkungan pesantren.

Laifa mengungkapkan, pihak pesantren sendiri telah berupaya dengan baik merespon pandemi dengan tetap menjalankan proses belajar mengajar bagi para santrinya. Namun respon yang ditempuh juga sangat variatif.

"Beragamnya kebijakan pesantren merespon pandemi dapat kami lihat tergantung pada sumber daya yang ada dan fasilitas yang dimiliki pesantren. Tapi mereka berusaha sebaik mungkin untuk menghindari Covid 19," ungkapnya.

Lebih jauh Laifa menuturkan, isu yang berkembang di masa pandemi juga berdampak pada aspek kesehatan mental snatri. Dalam hal ini, riset menemukan santri mengalami depresi ringan hingga hingga berat.

Rinciannya, santri mengalami kesulitan tidur 17%, sulit berkonsentrasi 13,9%, kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan 13,3%. Lainnya, kurang percaya diri atau merasa sebagai manusia gagal 10,7%, dan memiliki keinginan bunuh diri 3%.

Analisa tim riset menunjukkan bahwa santri lebih mengalami gejala depresi dibanding guru. Begitu juga perempuan yang lebih mengalami gejala depresi dibanding laki-laki.

"Dan santri yang melakukan pembelajaran daring yang lebih memiliki gejala depresi daripada pembelajaran luring," tambahnya.

Anggota tim peneliti, Dr Ida Rasyidah menambahkan, kekuatan pesantren dalam membangun ketahanan di masa pandemi tidak terlepas dari sejumlah faktor determinan. Diantaranya sumber daya, manajemen, jejaring, dan pemimpin pesantren.

"Keempat faktor tersebut, baik sumber daya, manajemen, jejaring, dan pemimpin pesantren mampu membawa kepada resiliensi kesehatan dan pendidikan di pesantren," terang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta ini.

Namun menggembirakannya, ungkap Ida, situasi pandemi dan respon juga telah mendorong transformasi sosial perempuan di lingkungan pesantren untuk memberikan kontribusi signifikan dalam membangun resiliensi pesantren. Para perempuan ini mengkontribusikan peran mothering, promosi kesehatan, meluruskan isu-isu konspirasi, dan membangun jejaring yang dibutuhkan.

Lebih jauh, riset juga menyodorkan sejumlah rekomendasi penguatan resiliensi pesantren di masa pandemi. Diantaranya, perlunya roadmap kebijakan komprehensif dan aplikatif dalam pembangunan kesehatan pesantren untuk menangkal ancaman kesehatan, perluasan akses pesantren dalam peningkatan sumber daya baik kesehatan dan pendidikan. Berbagai dukungan diperlukan agar pesantren mampu memperkuat resiliensinya dalam merespon pandemi Covid 19. (zm)