Pesantren dan Tradisi Menulis

Pesantren dan Tradisi Menulis

Oleh: Jajang Jahroni (Ketua LP2M UIN Jakarta)

Pesantren dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Di banyak tempat di Nusantara, pesantren adalah lembaga pertama yang mengajarkan baca-tulis kepada masyarakat. Sebenarnya tidak hanya di Nusantara, di tempat lain pun di dunia Islam, tradisi baca-tulis berawal dari kuttab, madrasah, atau khanqah, lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang mirip dengan pesantren. Begitu kentalnya pesantren dengan tradisi baca-tulis ini, sehingga dari waktu muncul sejumlah karya cemerlang dalam berbagai disiplin ilmu yang dihasilkan oleh orang-orang pesantren.

Tradisi menulis di pesantren terbangun lewat kegiatan utama lembaga tersebut yaitu mengaji. Dalam proses mengaji, kyai dan santri tidak hanya membaca, namun juga menulis. Kyai membaca, dan santri menyimak atau memaknai sambil sesekali menulis apa yang perlu ditulis. Dengan pena dan tinta celup (biasanya tinta cina), santri menuliskan keterangan sang kyai yang dianggapnya penting di pinggir, bawah, atau atas lembar yang kosong. Kerapian adalah faktor penting dalam proses ini. Ini dimaksudkan agar tulisan bisa terbaca tidak saja ketika si santri kembali ke kampung halamannya dan menjadi kyai, namun juga, kalau perlu puluhan tahun kemudian, ketika si empunya kitab tiada.

Tradisi menulis seperti ini adalah seni tersendiri yang hanya bisa dilakukan oleh kaum santri. Bila kita perhatikan manuskrip-manuskrip lama, jelas sekali betapa kuat motivasi untuk menulis. Setiap kitab ditulis tangan. Tidak saja karena waktu itu belum ditemukan mesin cetak oleh Johan Güttenberg, atau belum dikenal di kalangan kaum muslim, namun karena menulis adalah bagian dari ibadah. Tangan digunakan untuk menulis huruf demi huruf, baris demi baris, lembar demi lembar, sebagai upaya untuk memahami kitab Allah dan Sunnah Rasul.

Faktor lain yang menumbuhsuburkan tradisi menulis di pesantren adalah proses intelektualisasi sebagai akibat dari mengaji. Mengaji adalah proses intelektual, santri dituntut untuk memahami isi kitab yang dibacanya. Untuk membantu proses ini tidak jarang seorang santri melakukan banyak pekerjaan menulis. Terkadang santri menyalin catatan santri lainnya yang berasal dari catatan kyai yang dibuat untuk meringkas atau memudahkan dalam memahami kitab tertentu. Biasanya kyai hanya meminjamkan catatannya satu kali saja kepada seorang santri. Begitu selesai, santri-santri lainnya menyalin dari catatan santri senior tadi sampai tercipta mata rantai yang panjang. Dalam proses penyalinan berantai ini tentu timbul berbagai kesalahan sehingga terkadang santri terakhir yang menyalin harus rajin mencocokkan catatannya dengan catatan lain yang dianggap lebih valid.

Dapat dibayangkan berapa banyak seorang santri harus menyalin catatan-catatan seperti ini. Dan dalam proses penyalinan ini, si santri berusaha untuk menulis seindah dan sebagus mungkin. Di sini pula sebenarnya pelajaran menulis indah atau kaligrafi, yang biasanya tidak diajarkan di pesantren-pesantren salaf, langsung dipraktikkan. Dulu sewaktu saya masih di pesantren, untuk membantu pemahaman santri, almarhum Kyai Nasir membuat terjemahan Alfiyah dalam bahasa Indonesia. Dalam beberapa kesempatan saya pernah melihat terjemahannya, bertuliskan riq’ah yang indah. Namun tentu saya tidak menyalinnya langsung dari terjemahannya, melainkan dari catatan teman saya yang setiap hari menyiapkan ’cicilannya’ sebelum mengaji kitab tersebut. Jadi, karena mengaji Alfiyah setiap hari, maka ia menulis beberapa halaman setiap hari, berisikan bait-bait yang akan diaji.

Meskipun santri harus menyalin sedemikian banyak, namun anehnya tak seorang pun berinisiatif mem-fotocopy/mengkopi terjemahan tersebut. Saya tidak tahu mengapa. Saya mengikuti saja kebiasaan yang ada. Namun setelah dipikir-pikir banyak hal yang hilang ketika sebuah tulisan difotocopy. Pertama proses latihan menulis menjadi tidak ada. Kedua, pada waktu penyalinan sebenarnya terjadi proses pemahaman, dengan mengkopi pemahaman ini tidak ada. Ketiga, kyai memperuntukkan terjemahannya untuk kalangan terbatas, terutama santrinya. Dan keempat, memfotocopy merupakan pekerjaan yang tidak kreatif dan tidak dianjurkan, untuk tidak mengatakan dilarang.

Dengan satu kitab saja seorang santri paling tidak harus menulis satu dua halaman setiap harinya. Apalagi kalau beberapa kitab. Di samping Alfiyah, Kyai Nasir pun menulis syarah dalam bahasa Indonesia beraksara Arab untuk kitab Jurumiyah dan Imrithi. Jadi bisa dibayangkan betapa banyaknya santri harus menulis setiap harinya. Sungguhpun demikian santri tampaknya melakukan pekerjaan penyalinan dengan senang hati. Sejumlah santri membeli pena dan tinta cinta untuk menulis. Setelah digosok dan diberi air, tinta dimasukkan ke dalam tempat tinta (mihbarah) yang terbuat dari kuningan. Agar tinta tidak lekas mengeri, ke dalam mihbarah dimasukkan serat hati pisang (ares) yang dikeringkan terlebih dahulu. Ada juga yang menggunakan sutera. Sementara saya cukup menggunakan kapas dan bekas botol puyuhson, sehingga pada saat tertentu tinta saya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Mengaji jaman dahulu banyak pernak-perniknya. Namun kami menikmati semuanya. Justru karena banyak pernak-perniknya, mengaji menjadi proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Otak menjadi terasah dan tulisan menjadi bagus. Saya baru sadar mengapa tulisan para kyai Buntet begitu bagus. Tulisan Kyai Nasir bagus dan indah. Tulisan Kyai Fuad Hasyim pun bagus dan indah. Saya tahu karena beliau pernah mengajar ke-NU-an di kelas saya.

Bila santri disibukkan dengan menyalin, kyai disibukkan dengan membuat ringkasan. Ringkasan dibuat untuk keperluan praktis. Ada kitab-kitab tertentu yang begitu sukar untuk dipahami. Karena itu sejumlah kyai berinisiatif membuat ringkasan. Kyai Nasir pernah membuat ringkasan fiqih untuk masalah haid. Di samping itu ia pun membuat ringkasan untuk masalah zakat dan haji. Semoga catatan-catatan itu sampai sekarang masih ada, karena itu adalah pekerjaan ilmiah yang sangat berharga.

Tradisi Menulis Kitab

Tradisi menulis kitab di pesantren seringkali didasarkan pada tuntutan-tuntutan yang riil di masyarakat. Dalam pendahuluan sang pengarang kitab biasanya menerangkan mengapa ia menulis kitab. Biasanya motivasinya tidak jauh dari ’permintaan sebagian teman yang menginginkan agar saya membuat sebuah ringkasan... dan seterusnya’. Syekh Ahmad ibn Zaini Dahlan, seorang mufti Syafi’i kenamaan di Mekkah pada akhir abad ke-19 menulis kitab-kitabnya setelah ada permintaan dari Ashab al-Jawiyiin (santri-santri dari Nusantara) yang tengah menuntut ilmu di sana. Demikian pula Imam Nawawi al-Bantani, ia menulis puluhan kitab untuk memenuhi kebutuhan pengajaran agama yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, penulisan kitab didasarkan pada interaksi intelektual dan sosial yang ada.

Tentu saja sejumlah ulama menulis kitab karena alasan-alasan ilmiah. Ibn Khaldun, saya kira, menulis Muqaddimah-nya setelah melakukan riset ilmiah atas berbagai masyarakat yang ditemuinya. Jadi kitabnya semacam refleksi filosofis-sosiologis atas problematika kemasyarakatan. Demikian pula Al-Ghazali menulis Al-Munqidz-nya setelah melakukan riset atas berbagai bentuk filsafat dan teosofi yang ditemui pada jamannya.

Di Nusantara tradisi menulis kitab tampaknya didasarkan pada alasan-alasan yang riil, semacam respon atas berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Motivasi utama adalah untuk memudahkan para pelajar untuk memahami agama, atau karena ada kebutuhan yang mendesak akan pengajaran agama. Ini asumsi saya yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut. Namun berdasarkan bacaan saya atas sejumlah karya-karya klasik, terutama buku-buku sejarah perkembangan intelektualisme Islam baik yang ditulis oleh sejarawah muslim maupun Barat, asumsi ini cukup berasalan. Jarang ada ulama Nusantara yang menulis kitab karena alasan keilmuan semata seperti dilakukan Ibn Khaldun dan Al-Ghazali. Kejarangan ini berhubungan dengan keyakinan bahwa menulis kitab adalah ibadah, dan ilmu bukan sesuatu yang harus dipamerkan. Karena itu relevansi dengan keadaan sosial kemasyarakatan menjadi penting. Hal ini pula yang menyebabkan para ulama mewakafkan karya-karyanya untuk kepentingan keilmuan Islam. Istilah hak cipta atau ”huquq al-thab’i mahfudhatun” (hak cipta dilindungi undang-undang) baru dikenal belakangan, itu pun setelah ada interaksi dengan pihak Barat.

Dengan semangat ini pula sejumlah ulama Indonesia menulis karya-karya mereka. Untuk menyebut beberapa nama, kita mengenal K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Bisri Mustofa, K.H. Ihsan Jampes, Sayyid Uthman ibn Abdullah, Haji Hasan Mustafa, dan banyak lagi yang turut berjasa dalam pengembangan keilmuan keagamaan tradisional yang kerap disebut kitab kuning. Karya-karya mereka sampai sekarang masih terus dibaca di berbagai pesantren di seluruh Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi menulis di pesantren tidak hanya berkenaan dengan syarah atau ringkasan. Ia mulai merambah tema-tema lain di luar kegiatan mengaji. Dulu sewaktu masih di pesantren saya sering mendengar bahwa Kyai Fuad Hasyim yang menyukai seni juga menulis puisi dan lagu. Sayang puisi dan lagunya dibuat hanya untuk keperluan pribadi, tidak untuk umum. Padahal, menurut hemat saya, karya-karyanya tersebut penting sebagai bagian dari tradisi menulis pesantren. Mungkin beliau sendiri hanya membuat corat-coret saja dan tidak meniatkannya untuk dipublikasikan.

Sosok penting yang mempengaruhi tradisi menulis di lingkungan pesantren saat ini adalah K.H. Mustofa Bisri, pimpinan PP Raudhatul Talibin Rembang. Ia menulis cerpen, puisi, novel, kolom, artikel, dan bentuk tulisan lainnya. Kemampuan menulisnya luar biasa sehingga kita berkesulitan untuk menyebutnya, kyai penulis atau penulis kyai, kyai seniman atau seniman kyai. Di samping itu ia pun melukis, sebuah hobi atau pekerjaan yang tidak banyak dilakukan kaum kyai pada umumnya. Kita bisa banyak belajar dari sosok unik yang satu ini. Ia seakan-akan ingin mengatakan kepada khalayak santri bahwa menulis sama pentingnya dengan mengaji; mengaji ibadah, menulis juga ibadah. Justru lewat tulisan-tulisannya Gus Mus memiliki media yang lebih besar untuk menyampaikan ide-idenya. Kepiawaiannya menulis telah mengilhami sejumlah santri muda untuk melakukan hal yang sama. Gus Mus telah mengembalikan tradisi menulis kepada pesantren. (sam/zm)