Peran Keluarga dalam Pendidikan Jarak Jauh di Era Pandemi

Peran Keluarga dalam Pendidikan Jarak Jauh di Era Pandemi

Dewasa ini kita hidup di era disrupsi, sebuah era di mana perubahan dalam segala bidang begitu cepat dan sulit diprediksi, seperti terjadinya virus corona atau virus Cina. Mewabahnya pandemi virus corona (Covid-19) mengakibatkan perubahan global yang sangat cepat dan fundamental di berbagai aspek kehidupan. Roda ekonomi nyaris lumpuh dan resesi. Nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar anjlok. Industri pariwisata, perhotelan, penerbangan, perindustrian, dan sebagainya melemah dan tidak bergeliat. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana, sekaligus menjadi “wabah sosial baru” yang menakutkan. Tindak kriminalitas meningkat, apalagi setelah Menteri Hukum dan HAM membebaskan lebih dari 30.000 narapina dari Lapas atas nama kebijakan “asimilasi” dan menghindari penularan Covid-19.

Kebijakan “stay at home” (tinggal di rumah saja), jaga jarak aman saat kontak fisik dan interaksi sosial atau physical and social distancing, memang diyakini dapat memutus mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Akan tetapi, kebijakan ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah bagi sebagian orang yang sumber pendapatannya mengandalkan “lalu lalang dan banyak orang”, seperti: pedagang asongan, pedagang kaki lima, pedagang pasar tradisional, buruh lepas, guru ngaji, penceramah, dan sebagainya, karena mereka kehilangan pendapatan. “Kami bisa mati kelaparan karena disuruh tinggal di rumah tanpa penghasilan dari berjualan di pinggir jalan. Sementara kami berjualan di luar rumah dilarang dan diusir Satpol PP karena berpotensi tertular Covid-19.”  Begitulah keluh kesah sebagian warga masyarakat yang ditayangkan sebuah televisi swasta.

Memasuki pekan keenam tinggal di rumah, sejumlah persoalan psikologis muncul. Perasaan jenuh, bosan, stres, bete, kurang hiburan, dan sebagainya mulai meresahkan sebagian keluarga Indonesia, meskipun secara ekonomi mereka tidak mengalami kesulitan. Karantina mandiri dirasakan membatasi area pergaulan keluarga tidak jauh dari dapur, sumur, kasur, dan di depan televisi atau ponsel pintar (smart phone). Yang dirasakan lebih berat dan tidak biasa adalah pendampingan anak-anak (komunikasi, konsultasi, surpervisi, dan literasi digital) dalam belajar dari rumah, mengerjakan tugas-tugas pembelajaran dari para guru di rumah, dan ujian-ujian yang harus dikerjakan secara daring (dalam jaringan, on line).

Pembelajaran Jarak Jauh

Pembelajaran jarak jauh (distance learning, ta’allum ‘an bu’din) merupakan model pembelajaran yang dilakukan secara on line dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (internet) di mana para peserta didik dan pendidik tidak berada dalam satu tempat (ruang kelas, sekolah), melainkan belajar dari berbagai tempat berbeda. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi alternatif interaksi dan komunikasi pendidikan yang paling mungkin dilakukan di era pandemi ini. Sayangnya, tidak semua peserta didik dapat mengikuti dan menikmati PJJ karena keterbatasan perangkat keras (HP, Laptop, komputer) dan piranti lunaknya, koneksi internet, ketersediaan kuota data, kuat lemahnya sinyal internet, dan sebagainya.

Menurut Rusman, dkk dalam Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (2015: 241), PJJ saat ini sangat dimudahkan oleh adanya media internet untuk menghubungkan antara peserta didik dengan guru, mengerjakan tugas, ujian, mengecek nilai, mengungguhkan karya (video, tugas-tugas, dan sebagainya). Hanya saja, faktor utama yang kerap dipandang sebagai masalah adalah interaksi antara guru dan peserta didik yang tidak seefektif ketika bersifat langsung, di ruang kelas atau di lingkungan sekolah. Namun demikian, dengan media internet sangat dimungkinkan dilangsungkannya interaksi antara guru dan peserta didik secara real time (waktu nyata), melalui chatroom, real audio, real video dan on line meeting.

Bagi anak-anak yang belajar dari rumah, PJJ kerap kali menyisakan persoalan kependidikan tersendiri, karena tidak semua orang tua anak itu terpelajar (well educated) dan menguasai materi pelajaran anaknya. Orang tua (ayah dan ibu) kerap kali “menyerah” karena tidak memahami konten pelajaran anaknya, sehingga anak merasa “tertekan dan tidak nyaman” belajar di rumah bersama orang tuanya. Konsultasi langsung dengan guru melalui Grup WhatsApp (GWA) terkait mata pelajaran sekolah juga terkadang tidak menyelesaikan masalah. Anak-anak kita akhirnya belajar sambil “bekerja”, yaitu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh para gurunya sebagai latihan dan umpan balik (feedback) terhadap pelajaran yang dipelajari. Karena itu, banyak anak mengalami stres dan merasa tidak nyaman belajar di rumah. Sebagai contoh, anak bungsu saya, kelas II Madrasah Ibtidaiyah, berulang kali menyatakan: “Pak, saya bosen belajar di rumah terus. Kapan saya masuk sekolah lagi? Saya kangen dengan bapak dan ibu guru di sekolah.”

Bagaimana mendesain PJJ (pendidikan atau pembelajaran jarak jauh) itu menarik, efektif, menyenangkan, tidak membosankan, dan partisipatoris agar tugas-tugas pembelajaran dari sekolah tidak “dialihtugaskan” kepada orang tua? Bagaimana mengoptimalkan peran keluarga dalam menyukseskan PJJ di era pandemi? Sebagian besar isi tulisan ini merupakan pengalaman subyektif penulis dalam memainkan peran kependidikan sebagai pendamping (mitra belajar), fasilitator, motivator, dan problem solver terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi anak dalam mengikuti PJJ dari sekolahnya masing-masing.

Keluarga sebagai Basis Pendidikan

Salah satu hikmah dari pandemi Covid-19 adalah “banyaknya waktu bersama dan berkomunikasi” dengan keluarga. Berada di rumah bersama anggota keluarga harus disyukuri dan dinikmati sebagai salah satu cara Allah SWT mengembalikan peran dan fungsi keluarga. Eksistensi keluarga sejak dibentuk dan diikat oleh tali suci pernikahan mengemban fungsi dan peran mulia, yaitu sebagai pusat pertama dan utama pendidikan. Abdurrahman an-Nahlawi dalam bukunya, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi al-Baiti, wa al-Madrasah, wa al-Mujtama’ (2001) menegaskan bahwa keluarga memainkan peran sangat sentral dalam pendidikan anggota keluarganya (suami, istri, anak, pembantu, dan lainnya). Pendidikan dalam keluarga menjadi fondasi penopang keberhasilan pendidikan di luar rumah: di masjid, lembaga pendidikan (pesantren, madrasah, sekolah), dan masyarakat.

Pendidikan informal (keluarga), formal (pesantren, madrasah, dan sekolah), dan non-formal (masyarakat) oleh Ki Hajar Dewantara dinilai sebagai tripusat pendidikan. Namun demikian, pendidikan informal dipandang sebagai basis pendidikan, karena anak pertama kali mendapat “sentuhan edukatif” dari orang tuanya. Benih dan cikal bakal pendidikan yang diberikan di dalam lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak pada lembaga pendidikan formal. PJJ seolah mengembalikan peran sentral keluarga dalam mengawal, memandu, memotivasi, memfasilitasi, dan memonev (monitoring dan evaluasi) proses pembelajaran anak.

Hasil riset yang ditulis dalam buku Kaifa Takunu Ahsan Murabbi fi al-‘Alam (Muhammad Sa’id Mursi, 2011:14) menegaskan bahwa 90% nilai dan perilaku anak itu diserap dan terbentuk dalam pendidikan keluarga saat berusia delapan tahun pertama (usia PAUD dan SD). Artinya, selama anak berada di rumah, berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya, sejatinya mereka sedang mengalami proses pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sedemikian pentingnya peran dan fungsi keluarga dalam pendidikan anak, khususnya PJJ, sehingga dampak yang ditimbulkan pada ingatan, persepsi, pemahaman nilai, dan pembiasaan perilaku anak luar biasa berkesan. Temua  penelitian lainnya yang juga ditulis dalam buku tersebut menunjukkan bahwa anak dapat mengingat 10% dari sesuatu yang diulang sekali dalam memorinya; sementara anak dapat mengingat 90% sesuatu apabila diulang 6x. Proses pendidikan dan pembelajaran di dalam keluarga dipastikan tidak terjadi hanya sekali, tetapi berulang-ulang, terjadi proses habituasi (pembiasaan), dan yang paling penting adalah peneladanan dari figur orang tua sebagai role model.

Oleh sebab itu, kata-kata mutiara berikut terbukti benar: “Belajar di pada usia dini bagaikan mengukir di atas batu. Sedangkan belajar di usia senja bagaikan mengukir di atas air.” Dengan kata lain, keluarga berperan signifikan dalam menanamkan akidah (iman tauhid), disiplin beribadah, membentuk akhlak mulia, karakter dan kebiasaan positif pada diri anak, di samping memfasilitasi pengenalan anak terhadap dasar-dasar ilmu pengetahuan, seperti: membaca, menulis, berhitung, menggambar, literasi sains, leterasi budaya, dan sebagainya.

Dalam buku karya Haim Ginott (2004), at-Tarbiyah al-Mitsaliyyah li al-Abna’ (terjemahan dari Between Parent and Child), efektivitas pendidikan dalam keluarga sangat ditentukan oleh pola komunikasi dan pola asuh (parenting) orang tua terhadap anaknya. Apabila komunikasi yang digunakan orang tua edukatif, membuat anak nyaman, apresiatif, dipuji, tidak menyebabkan anak melakukan perlawanan, tidak melulu dihakimi dan disalahkan, tetapi dimotivasi, dibesarkan hati dan rasa percaya dirinya, niscaya anak-anak akan merasa senang dan dapat menikmati suasana belajar bersama anggota keluarga. Sangat disarankan agar orang tua tidak terlalu “cerewet” (banyak menceramahi, memberi nasehat, perintah dan larangan) kepada anak-anak, karena bagi anak, komunikasi seperti ini “menyebalkan”.

Kesuksesan parenting dalam proses pembelajaran anak di rumah sangat ditentukan oleh seberapa besar perhatian, kepedulian, kasih sayang, dan kedisiplinan orang tua dalam menciptakan suasana komunikasi dan interaksi yang nyaman dan saling percaya antara anak dan orang tua. Islam mengajarkan pentingnya pendidikan kasih sayang, rasa cinta dan keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari orang tua kepada anak-anak, dengan pembiasaan shalat berjamaah di rumah (dan di masjid), mengaji (membaca) al-Qur’an setelah shalat, berdoa, dan menikmati makanan dan minuman secara bersama. Kebersamaan dan kedekatan berbasis cinta, dari hati ke hati, di antara anggota keluarga merupakan kunci efektivitas proses pendidikan dalam keluarga.

Apabila “jalinan hati” telah terkoneksi dengan kuat dan penuh kasih, rasa saling percaya dan tanggung jawab akan muncul. Oleh karena itu, menjadi orang tua tidak harus memahami semua materi pelajaran anak di sekolah. Akan tetapi, orang tua perlu memiliki keterampilan berkomunikasi efektif dan persuasif untuk bisa menginspirasi dan memotivasi anak, sehingga anak menjadi semangat dan disiplin belajar, tidak merasa terpaksa, bisa membagi waktu untuk belajar dan bermain. Semua anak itu pada dasarnya unik dan tidak “nakal”, tetapi tidak semua anak dapat merasakan kesan positif dan menyenangkan ketika berkomunikasi dengan orang tuanya. Meski tidak berniat memarahi, tidak jarang nada tinggi orang tua dalam berbicara dengan anak dipersepsi negatif oleh mereka, sehingga anak menjadi tidak enjoy dalam belajar.

Optimalisasi Multiperan

Di era pandemi ini, betah dan nyaman di rumah dengan agenda kegiatan positif tidak selalu mudah. Ayah dan ibu harus saling bahu-membahu, bersinergi, dan kompak dalam mengemban misi mulia yang sudah “diikrarkan saat ijab qabul”, yaitu mewujudkan keluarga sakinah (tenteram dan damai), mawaddah (penuh cinta) wa rahmah (kasih sayang). Dengan kata lain, keluarga bahagia lahir batin harus menjadi visi dan komitmen bersama.

Oleh sebab itu, multiperan ayah dan ibu perlu dijalani berbasis cita-cita mulia tersebut. Kedua belah pihak harus saling melengkapi dan menyempurnakan multiperan: sebagai pendidik, pelindung, mediator, motivator, inspirator, fasilitator, supervisor, dan evaluator pendidikan anak dalam keluarga. Berperan sebagai pendidik bukan sekadar menjadi guru, penyampai informasi dan ilmu kepada anak, tetapi bagaimana anak merasa memiliki kesadaran untuk mau belajar mandiri dan berkolaborasi dengan kakak atau adiknya.

Sebagai pelindung, orang tua harus dapat melindungi anak-anaknya dari hal-hal yang membahayakan mereka. Misalnya saja, menjauhkan anak dari game on line yang berkonten kekerasan dan pornografi. Sebagai mediator, orang tua diharapkan bersikap adil dan arif dalam memediasi “pertengkaran” sesama anak, agar tidak dikesankan “berat sebelah” atau diperlakukan secara tidak fair. Mereka idealnya merasa nyaman dan diayomi oleh orang tua.

Menjadi motivator dan inspirator juga sangat penting diperankan oleh orang tua. Berkomunikasi dengan menyentuh hati, memberi teladan kebaikan dalam berbagai aktivitas rutin harian, seperti shalat berjamaah, berzikir, berdoa, membaca al-Qur’an, merapikan tempat tidur, belajar memasak bersama, mencuci piring dan gelas yang digunakannya,  membersihkan pekarangan rumah, berolah bareng, berkebun, dan sebagainya, merupakan cara efektif untuk menggerakkan anak-anak untuk mau belajar dan menirukan keteladanan orang tua. Dengan kata lain, kebiasaan positif dan amalan kebajikan orang tua harus menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi anak dalam proses pembelajaran mereka.

Selain komunikasi efektif dan uswah hasanah, orang tua sangat diharapkan memahami psikologi perkembangan anak, agar dapat memahami perubahan-perubahan sikap dan perilaku mereka. Dunia anak tentu tidak bisa “dipaksakan” sama dengan dunia dan pola pikir orang tua. Oleh karena itu, peran sebagai fasilitator dalam memenuhi apa yang menjadi kebutuhan positif anak penting dimainkan, seperti: menonton acara televisi secara bersama, berdiskusi, berdialog tentang hobi, cita-cita anak, mendengar usulan “menu makanan” yang disukai anak untuk dinikmati bersama, dan sebagainya. Kata kunci peran fasilitasi adalah “semakin memenuhi harapan dan tingkat kepuasan anak, maka anak akan semakin nyaman dan senang belajar dan berinteraksi dengan orang tua.”

Tidak jarang, karena perbedaan “jam terbang” dan pengalaman, orang tua memang harus memerankan diri sebagai konsultan dan supervisor: membimbing, mengarahkan, menuntun, dan menunjukkan pilihan solusi yang tepat dan menguntungkan masa depan mereka. Orang tua harus arif memberi kesempatan dan peluang bagi anak untuk aktualisasi diri (tahqiq ad-dzat) dan menjadi dirinya sendiri, sesuai potensi, bakat, kompetensi, keterampilan, dan kapasitasnya. Dan karena berbeda zaman dan generasi, orang tua juga diharapkan memahami “karakter, orientasi, dan pilihan-pilihan” anak milenial, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Apabila pola pikir, pola hidup, sikap, dan perbuatan anak menyimpang dari kebenaran, cenderung mengarah kepada kemaksiatan dan kerusakan, maka orang tua harus memerankan diri sebagai evaluator, penilai, dan penunjuk jalan yang benar bagi anak-anak mereka. Agar tidak jenuh dan bosan berada di rumah, variasi kegiatan menyenangkan harus dikembangkan sedemikian rupa. Misalnya, sesekali setelah shalat dan berdoa, anak dilatih menyampaikan kultum di hadapan anggota keluarga lainnya, diminta bercerita pengalaman belajarnya, dilatih “setor hafalan” surat al-Qur’an yang disepakati, dan menyampaikan kuis kepada kakak atau adinya dengan hadiah tertentu yang disiapkan oleh orang tuanya.

Akhirul kalam, menjadi orang tua memang amanah yang tidak mudah dilaksanakan. Akan tetapi, amanah sebagai orang tua untuk merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan mengantarkan mereka menjadi manusia dewasa yang bercita-cita luhur dan sukses dunia akhirat merupakan investasi masa depan yang tidak ternilai. Oleh karena itu, selain memainkan multiperan, orang tua juga dituntut mampu mengembangkan multifungsi keluarga, seperti: keluarga sebagai pusat edukasi, peningkatan kualitas ibadah, pusat pengembangan ekonomi, media sosilisasi diri, silaturrahmi, rekreasi, dan lain sebagainya.

Apabila multiperan dan multifungsi keluarga dapat diaktualisasikan secara terencana dan terprogram dengan baik, in syaa Allah, akan lahir generasi masa depan harapan umat dan bangsa. Mereka hidup dalam lingkungan keluarga shalih dan mushlih, keluarga idaman dan unggulan yang pandai bersyukur dan tahan bersabar dalam menghadapi aneka persoalan, sehingga dapat mewujudkan “surga duniawi dan ukhrawi”. Meskipun dihadapkan pada pandemi Covid-19 dan krisis kemanusiaan global, PJJ tetap dijalani dengan ikhlas, penuh semangat, rasa senang, dan tetap berjiwa pemenang dalam melawan Covid-19.

Semoga keberkahan bulan suci Ramadhan tahun ini dapat membuat Corona segera sirna dari Nusantara tercinta dan dari belahan dunia. Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional! Wallahu a’lam bi ash-shawab!

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Ketua Prodi Magister PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia. Sumber: Majalah Tabligh Edisi Mei 2020, Ramadhan 1441 H. (zm/mf)