Pendidikan Toleransi Berbasis Keteladanan Nabi

Pendidikan Toleransi Berbasis Keteladanan Nabi

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Isu toleransi atau intoleransi biasanya mewarnai kehidupan umat beragama di bulan Desember, karena dipicu oleh pro dan kontra ucapan “Selamat Natal” dari umat Islam kepada umat Nashrani. Ada yang berpendapat bahwa mengucapkan “Selamat Natal” itu boleh, tidak dilarang, karena tidak membatalkan akidah tauhid, karena hanya sekadar memberi pengormatan dan menjaga kerukunan antarumat beragama. Sebaliknya, ada pula yang menyatakan bahwa mengucapkan “Selamat Natal” itu haram, karena ucapan Selamat Natal itu termasuk bagian dari sistem akidah, yang berarti mengakui ketuhanan Yesus (Isa bin Maryam AS) sekaligus mengakuinya sebagai Sang Juru selamat.

Tulisan ini tidak membahas kontroversi hukum mengucapkan “Selamat Natal”, apakah merupakan bagian dari akidah atau muamalah duniawiyah? Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan, apa esensi ajaran tasamuh (toleransi) dalam Islam? Bagaimana praktik bertasamuh yang pernah diteladankan Nabi Muhammad SAW terhadap umat lain yang berbeda agama? Dan bagaimana pula pengembangan model pendidikan toleransi berbasis keteladanan Nabi SAW? Best practice dari keteladanan Nabi SAW dan para sahabatnya dalam bertoleransi diharapkan menjadi model pendidikan toleransi yang penting ditiru dan dikembangkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Esensi Tasamuh

Toleransi (tasamuh) merupakan bagian integral (inheren) dalam sistem ajaran Islam. Dalam sebuah kesempatan, seperti diriwayatkan Ibn ‘Abbas RA, Rasulullah SAW ditanya: “Ajaran agama apakah yang paling engkau sukai? Beliau menjawab: “al-hanafiyyah as-samhah” (ajaran yang lurus dalam bertauhid, nurani dan kecenderungan fitri untuk berislam, dan toleransi) (HR Ahmad).

Hal ini menunjukkan bahwa Islam itu agama yang sesuai dengan fitrah manusia, sekaligus paling toleran, lapang dada, tepo seliro, terbuka, menerima perbedaan dan kemajemukan. Hanafiyyah adalah millah (ajaran agama) para nabi dan Rasul yakni Islam (dalam arti umum) dan syariat yang didakwahkan Muhammad SAW (Islam dalam arti khusus). “Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Ali Imran [3]:95)

Dengan demikian, watak dasar ajaran Islam adalah as-samhah wa at-tasamuh. Secara leksikal, samhah berarti mudah dan mempermudah, tidak mempersulit dan tidak berlaku ekstrem. Sedangkan kata tasamuh secara leksikal berarti: berlapang dada, memaafkan, mengampuni, dan menenggang rasa, tidak memaksakan kehendak, lemah lembut, santun, dan berbuat baik (ihsan).

Makna leksikal samhah dan tasamuh sangat relevan dengan firman Allah: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nur [24]:22). “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fushshilat [41]:34)

Secara leksikal, kata “toleransi” berasal dari bahasa Inggris, tolerance, berarti suatu tindakan untuk menghargai orang lain karena perbedaan-perbedaan yang melekat dalam diri kita masing-masing. Dalam bahasa Latin, toleran itu berasal dari kata tolerare, yang berarti sabar dan menahan diri. Karena itu,  toleransi bermakna sikap untuk menghormati orang lain yang berbeda (agama, sikap, dan pandangannya, dan menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak baik, destruktif, dan kontraproduktif.

Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan toleransi sebagai rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia, bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia. Toleransi dipahami oleh PBB sebagai cara yang tepat untuk menjadi manusia yang benar dan dapat terus mendukung kehidupan dunia yang sarat dengan aneka perbedaan.

Jadi, esensi toleransi adalah ketulusan dan kelapangan hati untuk menerima perbedaan (agama, politik, ekonomi, sosial budaya, bahasa, dan sebagainya) untuk menenggang rasa dan memaafkan, tidak memaksakan kehendak, sikap, dan tindakan, agar tercipta kerukunan, kedamaian, dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Toleransi menghendaki kesediaan setiap warga bangsa untuk menghormati perbedaan dan memberi ruang bagi pihak lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, sekaligus menghargai kesetaraan dan kesediaan berkolaborasi dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.

Toleransi bukan sekadar konsep dan wacana, atau ajaran tanpa bukti nyata. Sebagai prinsip dan nilai yang hidup dalam kehidupan umat Islam, toleransi terbukti telah menyejarah sekaligus menunjukkan keagungan peradaban Islam. Toleransi dalam sejarah peradaban Islam telah menjadi bukti sahih bahwa Islam itu merupakan agama yang menjunjung tinggi toleransi.

Oleh karena itu, pendidikan toleransi menjadi sangat penting dikembangkan dan diaktualisasikan dalam konteks kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Kita memiliki legasi dan bukti nyata (best practice) implementasi toleransi yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, bahasan dan analisis pengembangan model pendidikan toleransi dalam tulisan ini berbasis keteladanan Nabi SAW.

Praktik Toleransi Nabi  

Nabi SAW adalah tokoh teladan toleransi sejati. Ketika terjadi Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) pada 20 Ramadhan 8 Hijriyah (630 M), beliau menunjukkan teladan toleransi yang dicatat oleh sejarah dengan tinta emas. Mengapa demikian? Karena saat berada di puncak kekuasaan dan kekuatan (militer maupun politik), Nabi SAW tidak melakukan balas dendam kepada warga Makkah lantaran dahulu pernah memusuhi, menyakiti, dan mengusir beliau dan para sahabatnya dari tanah airnya, Makkah, lalu hijrah ke Madinah. Di saat kaum kafir Quraisy sudah berpraduga akan “dihabisi” oleh pasukan Muslim, Nabi SAW justeru memberikan pengampunan massal. Mereka dibolehkan meninggalkan Makkah dengan aman, tanpa ada kekerasan. “Idzhabu fa antum ath-thulaqa” (Silakan kalian boleh pergi, meninggalkan Makkah, karena kalian semua dibebaskan, diampuni, tidak diperangi).

Fakta tersebut merupakan peristiwa toleransi terbesar sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Betapa tidak? Nabi SAW memilih jalan damai, bukan jalan kekerasan; memaafkan, bukan mendendam; menenggang rasa, bukan meluapkan kemarahan; menghargai perbedaan dan menjaga martabat lawan; tidak menyeragamkan dan menghinadinakan; melindungi dan menyelamatkan jiwa, bukan memusuhi dan menumpahkan darah.

Toleransi Nabi SAW sarat dengan pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan (HAM). Toleransi memenangkan dan mendahulukan perdamaian dan kerukunan daripada permusuhan dan konflik, sehingga saat Fathu Makkah tersebut, tidak setetes darah pun menetes. Toleransi yang diteladankan Nabi SAW membuat warga Makkah kemudian berbondong-bondong masuk Islam. Toleransi sejati adalah kunci kemenangan dan keagungan peradaban Islam. (QS an-Nashr [110]: 1-3)

Best practice toleransi yang juga pernah diteladankan Nabi SAW adalah bahwa setelah terjadi pembebasan Khaibar (7 H/628 M), Nabi SAW didatangi seorang perempuan Yahudi dengan membawa daging kambing yang sudah dicampur racun. Sebagian daging itu sempat dimakan oleh Bisyr bin Barra’. Nabi SAW juga mencicipi sepotong daging tersebut. Lalu perempuan tersebut memberitahukan bahwa daging yang dimakan itu telah diracuni. Nabi SAW kemudian meminta perempuan itu dihadirkan di hadapan beliau, seraya melarang para sahabat lainnya makan daging tersebut.

Setelah dihadirkan dan diinterogasi, perempuan itu mengakui telah menaburkan racun pada daging itu. Motif perempuan Yahudi meracuni daging tersebut adalah untuk membuktikan apakah Nabi SAW itu benar utusan Allah atau bukan. Jika memang seorang utusan Allah, pasti Allah melindungi dan menyelamatkannya. Nabi SAW lalu memaafkan perempuan Yahudi itu, sementara Bisyr bin Barra’ telah meninggal akibat terpapar racun.

Nabi SAW menenggang rasa dengan tidak memperkarakan kejahatan perempuan itu. Dalam sebuah Riwayat, perempuan itu akhirnya memeluk Islam, dan ahli waris Bisyr memaafkannya. Jadi, toleransi yang diteladankan Nabi SAW sungguh merupakan bukti keluruhan akhlak beliau dalam memperlakukan orang lain yang menyakiti dan memusuhinya.

Satu lagi best practice dari teladan toleransi Nabi  diajarkan kepada beberapa sahabat. ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya; dia berkata: “Aku menyembelih seekor kambing untuk Ibn ‘Amr dalam acara keluarganya. Dia bertanya: “Apakah kalian sudi memberikan hadiah kepada tetangga Yahudi kita? Mereka (keluarga ‘Amr): Tidak. Dia berkata: “Kirimkanlah sepotong daging untuk tetangga itu, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jibril senantiasa memesankan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira bahwa dia akan mewariskannya.” (HR al-Bukhari)

Dari beberapa best practice teladan toleransi Nabi SAW, kita dapat mengambil pelajaran bahwa toleransi itu merupakan prinsip, nilai, dan akhlak mulia yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat identitas agama. Toleransi Nabi SAW itu merupakan manifestasi ketulusan dan kelapangan hati untuk memaafkan, mengedepankan budaya damai, harmoni, dialog, dan menjauhi konflik. Akhlak toleransi yang dipraktikkan Nabi SAW sungguh indah, karena melintas batas: agama, budaya, suku bangsa, status sosial, dan sebagainya. Nabi SAW tidak memosisikan diri sebagai tokoh pemonopoli kebenaran, tetapi teladan toleransi beliau selalu berorientasi persatuan, kerukunan, dan kedamaian bersama.

Tujuan dan Orientasi Pendidikan Toleransi

Dari berbagai ayat Alquran dan kisah dalam sirah Nabi SAW, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama pendidikan toleransi adalah untuk mewujudkan sistem kehidupan sosial keagamaan, politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya yang diwarnai kedamaian, kebersamaan, kolaborasi, dan kerukunan di antara kelompok atau komunitas keagamaan yang berbeda. Pendidikan toleransi tidak bertujuan untuk menyamaratakan agama atau menganggap semua agama itu sama, karena sistem teologi (akidah) dan ibadah masing-masing agama tidak sama. Pendidikan toleransi dengan demikian berorientasi kepada peneguhan dan penguatan akidah dan ibadah, sehingga membuahkan akhlak dan muamalah hasanah (interaksi sosial yang baik).

Dalam pendidikan toleransi, Islam mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan dalam berakidah dan beribadah, berikut memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya “pencampur-adukan” (sinkretisme) sistem akidah dan ibadah antara satu agama dengan agama lainnya. Dalam hal ini, Nabi SAW menolak “toleransi kolaboratif” secara bergantian dengan menyembah atau menjalankan ibadah agama lain dalam momentum atau hari tertentu; begitu juga sebaliknya penganut agama lain tidak dibenarkan menjalankan ibadah yang diajarkan Islam dengan dalih toleransi. Prinsip toleransi dalam Islam jelas dan tegas bahwa “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. (QS al-Kafirun [109]:6)

Dalam ranah muamalah duniawiyah, toleransi beragama dan berinteraksi sosioal antara umat beragama itu bersifat terbuka, tidak “dipagari” oleh sistem nilai akidah. Prinsip utamanya adalah menenggang rasa, berlapang dada, menghormati perbedaan, belajar saling memaaafkan, belajar tenang dan tidak mudah “tersulut emosi”, atau belajar beragama dengan tidak mudah marah, tetapi beragama dengan ramah dan rahmah. Dalam konteks ini, Islam mengajarkan pentingnya sikap santun dan welas asih, meskipun terhadap orang lain yang berbeda identitas dan pendapat keagamaan.

Oleh sebab itu, pendidikan toleransi berbasis teladan Nabi tidak membolehkan adanya pemaksaan dalam memasuki suatu agama. Beragama itu harus berangkat dari kesadaran, kesucian, dan ketulusan hati, bukan karena paksaan dan tekanan. Karena memang “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat….” (QS al-Baqarah [2]:256). Karena pada dasarnya beragama merupakan panggilan jiwa yang merindukan cinta dan kedekatan diri dengan Allah SWT.

Ketika dimusuhi, disakiti, dikasari dengan kekerasan, diperlakukan secara tidak manusiawi, bahkan nyaris dibunuh oleh kaum kafir Quraisy yang intoleran, Nabi SAW dan para sahabatnya tidak membalas dan tidak mendendam. Salah satu kebijakan strategis yang diambil oleh beliau adalah menghijarahkan sebagian para sahabatnya di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib RA ke negeri Habsyi (Etiopia). Selain dimaksudkan untuk mendapat perlindungan keamanan dari raja Najasyi yang beragama Nashrani dan sangat memahami Kitab Suci-Nya (Injil), mereka sejatinya dididik oleh Nabi untuk belajar dialog lintasagama dan belajar hidup toleransi yang sejati.

Sejarah membuktikan, bahwa strategi Nabi membelajarkan pada sahabatnya hidup berdampingan dengan kaum Nashrani di Etiopia sungguh tepat dan penting dicatat dengan tinta emas bahwa umat beragama yang berkomitmen tulus terhadap ajaran agamanya pasti akan menghormati agama lain, melindungi pemeluknya, dan memberikan kebebasan dalam beragama sesuai keyakinannya. Bahkan setelah Ja’far bin Abi Thalib RA berdialog dengan Najasyi dan menyampaikan beberapa ayat di awal surat Maryam, Najasyi kemudian meneteskan air mata dan menyatakan masuk Islam, karena ternyata apa yang dinubuwatkan dalam Injil itu benar bahwa setelah Isa AS itu akan ada Rasul terakhir yang diutus oleh Allah SWT, yaitu Muhammad SAW (QS ash-Shaff [61]: 6).

Dengan demikian, pendidikan toleransi juga dimaksudkan untuk mewujudkan dialog dan komunikasi interkultural yang saling menghargai dan mengedepankan kemanusiaan dan kemaslahatan bersama.

Salah satu manifestasi praktik toleransi yang berorientasi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama tersebut adalah bahwa dalam kondisi perang, tentara Islam tidak dibenarkan membunuh anak-anak dan perempuan (kecuali yang membahayakan). Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendapati seorang wanita terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah SAW. Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak dalam peperangan” (HR. al-Bukhari No 3015 dan Muslim No 1744)

Selain itu, indahnya toleransi dalam Islam juga tercermin dalam etika berperang seperti tidak merusak rumah ibadah dan fasilitas umum, menebangi pepohonan, mencemari aliran sungai, meracuni mata air, membunuh para biarawan, dan sebagainya. Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Pergilah kalian dengan nama Allah, dengan Allah dan atas agama Rasulullah, jangan kalian membunuh orang tua yang sudah tidak berdaya, anak kecil dan kaum perempuan, dan janganlah kalian berkhianat, kumpulkan ghanimah-ghanimahmu, dan berbuatlah maslahat, serta berbuatlah yang baik, karena sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat baik”. (HR. Abu Dawud) Dalam hadis lain disebutkan: “Dilarang membunuh para biarawan di biara-biara, dan tidak membunuh mereka yang tengah beribadah” (HR. Ahmad)

Akhirul kalam, pendidikan toleransi dalam sejarah peradaban Islam, seperti dijelaskan oleh Mushthafa as-Siba’i dalam bukunya, Min Rawa’i Hadharatina, terbukti menjadi salah satu pilar kemajuan, karena toleransi memberi ruang dialog lintasiman dan lintasilmu. Di masa keemasan peradaban Islam, khususnya masa Harun al-Rasyid dan al-Ma'mun, pendidikan toleransi terbukti dapat menumbuhkan budaya dialog dan kolaborasi keilmuan antara komunitas Nashrani dan Yahudi, terutama dalam penerjemahan karya-karya dari para filosof Yunani ke dalam bahasa Arab. Implikasi dari inklusivitas dialog dan kolaborasi ini tradisi intelektualisme berkembang pesat, sehingga umat Islam sukses meraih kemajuan peradaban.

Pendidikan toleransi bukan sekadar belajar menerima dan menghargai perbedaan, karena kebinekaan itu merupakan sunnatullah. Akan tetapi, pendidikan toleransi mengajak kita bersikap inklusif, terbuka dan bersedia berdialog, sehingga terjadi kolaborasi dan sinergi mutualistik dalam rangka mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang saling menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan nilai perdamaian, kerukunan, persatuan, kebersamaan, dan kemaslahatan.

Pendidikan toleransi tidak diorientasikan untuk membiarkan kemungkaran dan kejahatan, melainkan memberikan dan meningkatkan harkat martabat kemanusiaan berbasis akhlak mulia, seperti yang diteladankan Nabi SAW.

Sumber: Majalah Tabligh Edisi Nomor 12/XIX/Jumadil Awal 1443 H/Desember 2021 M. (mf)