Pelembagaan Konsensus Politik

Pelembagaan Konsensus Politik

DI tengah ramainya pembahasan rencana peningkatan parliamentary threshold dari 2,5 persen di pemilu 2009 menjadi lima persen pemilu 2014, mencuat ide konfederasi yang menjadi perbincangan publik hingga sekarang. Konfederasi dianggap sebagai jalan tengah dari konsekuensi kenaikan ambang batas yang akan mengabaikan suara-suara yang tidak mencapai ketentuan. Dengan memanenkan koalisi dalam sistem presidensialisme. Tentu, gagasan ini menarik didiskusikan dan dipertimbangkan, dalam konteks penguatan sistem demokrasi melalui pelembagaan konsensus politik.

Gagasan konfederasi partai politik ini menarik jika dilihat dari perspektif komunikasi politik. Terutama upaya membangun konsensus politik yang lebih nyata, solid dan permanen guna mempertegas peta kekuatan politik nasional. Proses agregasi politik dalam konfederasi, juga berpotensi membangun saling kesepahaman (mutual understanding) berlandaskan koridor lebih sistematis dan melembaga di banding koalisi absurd dan setengah hati berlandaskan politik transaksional.

Ada tiga hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan mengapa ide konfederasi ini menarik. Pertama, sistem politik rawan terjebak pada kutub-kutub ekstrem yang sesungguhnya mengancam demokrasi. Kita pernah mempraktikkan kutub ekstrem fusi partai yang dipaksakan negara. Multipartai yang muncul di era Orde Lama, ditekan sedemikian rupa oleh rezim Soeharto, hingga menjadi tiga partai. Proses fusi tak berjalan alamiah, karena dua partai lain di luar Golkar, hanya dijadikan ornamen tanpa mampu berbuat banyak. Konsekuensinya muncul koorporatisme politik atas kekuatan civil society dan pressure group. Selain itu, kekuasaan yang memusat di Soeharto dan kroni juga memunculkan kartelisasi politik. Yakni, koalisi bukan merujuk pada manfaat untuk rakyat tapi meminimalisasi persaingan politik bahkan meniadakan kompetitor.

Politik dikuasai segelintir elite hingga melahirkan monopoli mengamankan agenda-agenda terbuka maupun tersembunyi dari elite-elite di puncak hierarki koalisi itu. Dan Slater dalam tulisan, Indonesia‘s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi kolusi demokrasi.

Kutub ekstrem lain, adalah partai-partai politik terjebak ke dalam koalisi setengah hati. Politik transaksional menjadi ciri sekaligus landasan koalisi partai-partai dalam tiga momentum. Yakni, momentum koalisi menjelang pemilu Presiden, menjelang pembentukan kabinet atau pemerintahan berkuasa. Dan koalisi persaingan di pilkada berbagai daerah. Dalam praktik, koalisi di tiga momentum ini, kerap kali bukan dilandasi kesamaan ideologi partai atau keselarasan platform, melainkan lebih pada transaksi politik. Hingga, koalisi menjadi tidak efektif, tatkala muncul rivalitas kepentingan di antara mitra koalisi terutama di antara partai-partai besar. Hal ini bisa kita lihat dalam kasus Century, saat Golkar, PKS, dan PPP berbeda pandangan dengan Demokrat, PAN, dan PKB.

Begitu pun saat muncul gagasan dana aspirasi, Golkar cenderung tak sejalan dengan mitra koalisi lain di Sekretariat Gabungan. Ketidakjelasan mekanisme koalisi ini dalam banyak kesempatan mengganggu efektivitas pemerintahan SBY-Boediono. Padahal, SBY-Boediono mengantongi modal politik yang memadai karena dipilih oleh masyarakat. Konfederasi bisa memiliki kelebihan dalam daya ikat permanen. Meski bukan contoh terlalu ideal, tetapi bisa disebut koalisi permanen ala Barisan Nasional sebagai gambaran yang mendekati. pemerintah berkuasa di Malaysia ditopang konfederasi United Malays National Organization (UMNO), Malaysian Chinese Association (MCA), dan Malaysian Indian Congress (MIC). Hingga rezim cenderung stabil dan efektif.

Kedua, ide konfederasi bisa menjadi solusi bagi partai-partai yang tidak lolos parliamentary threshold agar suara tidak terbuang sia-sia. Sebagai catatan, pada pemilu 2009 yang menetapkan parliamentary threshold 2,5 persen kurang lebih 19 juta suara hilang. Artinya, 19 juta itu tidak memiliki perwakilan di DPR. Jika partai-partai kecil ini berpikir realistis, mereka dapat melebur ke dalam konfederasi. Hanya, hal ini membutuhkan kesadaran para elite. Mereka harus sadar, saat melebur dalam konfederasi tujuan bersifat jangka panjang dan permanen.

Ketiga, konfederasi memungkinkan percepatan pelembagaan partai politik. Multipartai yang dipraktikkan sekarang, kerap kali membuat banyak partai tidak mandiri, tak memiliki identitas jelas serta tak memiliki diferensiasi pada level isu, platform dan kebijakan partai. Hingga saat berkoalisi pun tak jelas mereka bersatu berdasarkan apa, selain syahwat kekuasaan. Dengan konfederasi, nanti peta kekuatan akan menjadi lebih sederhana dan jelas antara kekuatan pemenang dan oposisi.

Tantangan

Namun, gagasan konfederasi ini memiliki sejumlah tantangan jika ingin direalisasikan. Pertama, usulan konfederasi tak akan terwujud jika tak diakomodasi ke dalam revisi UU. Konsesus harus memiliki landasan hukum jelas dan mengikat bukan semata-mata konvensi antarparpol. Misal, memberikan ketentuan konfederasi harus dideklarasikan sebelum pemilu. Hingga masyarakat mengetahui partai-partai kecil mana yang meleburkan diri ke dalam konfederasi itu. Kedua, kompleksitas konfigurasi politik di Indonesia. Konfederasi di Malaysia cenderung kuat karena terjadi patronase politik di level nasional maupun lokal dalam latar pseudo democracy. Sementara Indonesia pascareformasi mengarah ke demokrasi liberal ditandai pemilu langsung baik legislatif, Presiden maupun kepala daerah. Kompleksitas persoalan politik, terkait etnis, agama, ras bahkan antargolongan.

Tumbuhnya partai bak cendawan di musim hujan, menjadi penanda besarnya hasrat politik elite bersaing meski sumber daya politik tak memadai. Di beberapa pengalaman pemilu pascareformasi, banyak partai kecil berganti nama dan bendera kembali bertarung di pemilu. Padahal, mereka tak memiliki kekuatan politik memadai. Konfederasi tentu saja menuntut kesediaan para elite menyepakati mekanisme internal yang mengikat secara permanen termasuk saat mereka harus rela bergabung dalam entitas baru.

Ketiga, tantangan muncul dari politik pragmatis elite partai. Kini, politik figur masih lekat di berbagi partai. Bisa diamati, kongres partai-partai besar selama tahun 2010 masih menahbiskan figur-figur sentral partai di puncak hierarki. Posisi figur politik sesungguhnya hal lumrah terjadi tak hanya di Indonesia juga di berbagai negara termasuk di negara demokrasi yang telah mapan seperti Amerika. Tak disangkal, figur salah satu modal politik partai karena bisa menjadi simpul pemersatu sekaligus “wajah” kekuatan organisasi. Namun, partai yang baik tentu saja tak bergantung pada politik figur. Melainkan, mentransformasikan kekuatan figur ini menjadi kekuatan lembaga hingga menjadi partai modern.

Jika partai sangat bergantung pada politik figur biasanya kebijakan partai sangat tersentral pada sosok figur bersangkutan. Tantangannya bagi pembentukan konfederasi adalah saat partai sangat ditentukan oleh figur, yang dominan menjadi bahan pertimbangan adalah pragmatisme figur bukan sistem organisasi. Tentu, hal ini akan menyulitkan konfederasi berdasarkan kesamaan ideologi atau platform partai. Sebab, kebijakan diambil berdasarkan keputusan pragmatis elite.

Bagi banyak masyarakat, gagasan peningkatan parliamentary threshold menjadi lima persen maupun wacana konfederasi tak terlalu berpengaruh. Yang penting adanya pemerintahan kuat, stabil dan bisa menyejahterakan masyarakat tanpa hiruk-pikuk kekisruhan yang terus-menerus.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, Jumat, 16 Juli 2010

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Kandidat Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran

Â