Pasar Malam di Den Haag

Pasar Malam di Den Haag

Orang Belanda merasa bangga pada kehebatan diri mereka.Namun, kebanggaan mereka bercampur protes kepada Tuhan.Katanya, hampir semua bangsa hidup di atas bumi ciptaan Tuhan, kecuali Belanda.

Mengapa begitu? Karena bangsa Belanda menciptakan buminya sendiri dengan tangan mereka, dengan cara menyulap lautan menjadi daratan. Mereka menimbun rawa dan pantai dengan tanah, lalu dibuat bendungan untuk mencegah air laut agar tidak menelan tempat tinggal mereka yang posisinya lebih rendah daripada permukaan laut. Lantaran mereka hidup di bawah ancaman laut yang selalu pasang-surut, mereka dikenal ahli dalam membuat teknologi bendungan.Kota-kota di Belanda dihiasi kanal untuk menghindari luapan air pasang. Lebih dari itu,di samping sebagai hiasan kota, sungai-sungai itu juga sebagai sarana rekreasi, restoran kapal, bahkan ada yang jadi rumah mengapung di atas air.

Warga Belanda saat ini berjumlah 16,5 juta jiwa, sekitar 10% adalah Indisch, yaitu orang tua mereka, bapak dan kakek nenek mereka pernah tinggal di Indonesia, bahkan banyak yang lahir di Indonesia. Generasi Indisch yang muda-muda hari ini sebagian besar belum pernah ke Indonesia, tapi orang tua mereka selalu menceritakan pengalaman tinggal di Indonesia, sebuah negara dengan alam yang sangat indah. Demi memenuhi kerinduan warga Indisch dan untuk menghidupkan kembali kenangan semasa tinggal di Indonesia, KBRI di Den Haag menyelenggarakan Pasar Malam Indonesia (PMI) dengan menyewa lapangan Malieveld, Den Haag, 1- 7 April 2011. Saya melihat dari dekat dan ngobrol-ngobrol dengan para pengunjung.

Begitu antusias tamu-tamu berdatangan menikmati makanan Indonesia dan menyaksikan lebih dari 60 stan mewakili berbagai provinsi Indonesia serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada lagi panggung kesenian dan forum dialog budaya. Bagi saya suasananya tak ubahnya masuk mal di Jakarta, bedanya di sini kebanyakan pengunjungnya warga Belanda. “Kami ingin menghadirkan suasana Indonesia, tapi dengan penampilan modern. Untuk mengubah persepsi orang Belanda yang dulu pernah menjajah kita,” kata Umar Hadi, Pelaksana, Ketua Perwakilan RI di Den Haag. Orang-orang Belanda sangat terkesan dengan acara ini. “PMI ini juga dimaksudkan untuk mengusir kenangan dan gambaran Indonesia sebagai negara inlander yang terbelakang dan kurang berpendidikan,” katanya lagi.

Itu juga untuk sarana promosi turisme, menjalin kerja sama bisnis dan teknologi dengan pemerintah serta dengan para pengusaha Belanda. Pemegang paspor Indonesia yang tinggal di Belanda saat ini sekitar 15.000 orang, 1.400 adalah mahasiswa dan 1.000-an pekerja profesional. Adapun warga Belanda keturunan Maluku sekitar 60.000 orang. Jadi, rupanya frase ’pasar malam’, yang berasal dari bahasa Indonesia ini telah masuk menjadi bahasa Belanda. Meski istilahnya pasar malam, tapi sejak pukul 11 pagi sudah ramai pengunjung. Mereka rindu dengan suasana Indonesia dan ketemu lagi dengan makanan Indonesia. Salah satu acara di PMI itu adalah forum dialog ilmiah dan budaya tentang masalah demokrasi dan kehidupan beragama yang dihadiri para wartawan, pengamat ahli tentang Indonesia dan pimpinan agama,termasuk Ahmadiyah.

Saya diminta berbicara tentang demokrasi dan kerukunan hidup beragama bersama Dr Bahrul Hayat, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI. Dengan segala problem yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, bagi masyarakat luar kerukunan hidup di Indonesia sangat mengagumkan. Pluralitas etnis dan agama serta aliran kepercayaan yang sedemikian banyak dan kompleks tetap tumbuh di Indonesia, sehingga ramalan orang tentang akan terjadinya Balkanisasi di Indonesia jauh dari kenyataan. Bahkan Gerakan Aceh Merdeka pun justru mereda. Sekalipun paham dan gerakan keagamaan kadang menimbulkan gesekan dan konflik, namun secara umum peranan agama sangat besar bagi ketahanan dan kohesi bangsa Indonesia. Sesama elite agama dan elite pemerintah terjalin hubungan yang bersifat kritis-konstruktif.

Kalaupun muncul konflik antarkelompok, volumenya masih kecil dan itu pun diduga ada agenda-agenda kepentingan nonagama di belakangnya. Antara lain pembajakan simbol-simbol agama untuk mobilitas politik seseorang atau kelompok. Yang juga perlu mendapatkan perhatian serius adalah gerakan ideologi keagamaan yang bersifat transnasional yang mengundang perhatian dan solidaritas masyarakat asing, seperti halnya Ahmadiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat ini pemerintah mesti bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan penegakan hukum. Kalau itu terwujud, keragaman etnis, budaya dan agama akan menjadi kekayaan dan keindahan bangsa dan masyarakat Indonesia, yang membuat kagum masyarakat dunia.

Kesejahteraan juga menjadikan kita tidak mudah digoyang-goyang oleh kekuatan asing. Ketika berada di luar negeri, hal yang sangat memprihatinkan antara lain adalah kurangnya sarjana ahli Indonesia yang menguasai studi kawasan. Misalnya sekarang ini di Afrika tengah berlangsung perubahan politik yang amat radikal. Tetapi rasanya kita tidak punya sarjana ahli yang benar-benar ahli sebagai analis tentang wilayah itu. Begitu pun anatomi dan dinamika konflik di semenanjung Balkan, di mana kaitan antara etnis dan agama sedemikian kental.Sayangnya, lingkungan universitas tidak memiliki profesor ahli tentang kawasan ini.Yang juga kurang diperhatikan oleh ilmuwan kampus adalah dinamika perubahan di Asia Tengah dan perkembangan Islam di China.

Kita hanya pengetahuan yang samar-samar tentang itu. Ketika terjadi perubahan politik di kawasan yang tengah bergolak itu, narasumber dan para pengamat kita tampak sekali tidak dalam dan tidak luas penguasaannya. Ini mesti direspons secara aktif oleh pemerintah dan dunia kampus. Pengetahuan sarjana kita tentang Belanda dan Amerika Serikat tak perlu diragukan. Tetapi tentang negara-negara lain terasa miskin. Padahal, di era global ini kita mesti saling belajar dan berbagi pengalaman. Kita mesti aktif-inovatif go global, jangan sampai jadi korban terdesak gelombang globalisasi.

Tulisan ini dimuat pada Harian Seputar Indonesia, Jum'at, 8 April 2011.