Paradoks Nasib Manusia: Belajar dari Albert Camus dan Nurcholish Madjid

Paradoks Nasib Manusia: Belajar dari Albert Camus dan Nurcholish Madjid

Musibah Tsunami Aceh pada 2004 merenggut lebih dari 250 ribu korban jiwa. Mungkin, duka dan traumanya masih tertanam dalam memori orang-orang Aceh yang selamat. Kini, gempa dan Tsunami di Palu, yang menyebabkan lebih dari 1500 orang meregang nyawa dan belasan ribu manusia kehilangan tempat tinggal, tak kalah memunculkan pilu dan derita. Perasaan getir dan penderitaan akibat musibah kembali memunculkan renungan klasik, terutama bagi orang-orang beriman, soal sosok dan watak Tuhan dan hubungannya dengan nasib manusia: Tuhan seperti apa sebenarnya yang kita imani? Tuhan Maha Kasih atau Maha Kejam? Jika Ia Maha Kasih, mengapa begitu banyak orang baik dan anak-anak yang tak berdosa yang harus kehilangan nyawa secara mengerikan dan menjadi luka mendalam bagi yang ditinggalkan? Jika Ia dituduh Maha Kejam, bukankah sepanjang hidup manusia ada begitu banyak nikmat dan kebahagiaan?

Jangankan orang awam, para filusuf dan teolog hanya mampu berspekulasi tentang sosok Tuhan yang misterius itu sebagaimana misteriusnya nasib manusia. Akhirnya yang bisa dilakukan adalah ‘respons’: bagaimana respons dan sikap manusia terhadap hidup dan Tuhan yang misterius? Bagi kaum yang pesimis misalnya, hidup dianggap tidak memiliki makna dan tujuan, bahkan penuh dengan kesengsaraan. Beberapa pemikir dari kelompok ini menyebut hidup sebagai “lelucon yang mengerikan” (awful joke) atau “tipuan dungu” (stupid fraud). Kalau begitu kata mereka, buat apa hidup jika harus dilalui dan diakhiri secara mengerikan? Bukankah lebih baik mati? Atau jika harus memilih, lebih baik tidak pernah ada atau tidak pernah hidup, dan puas dengan “damainya ketiadaan yang serba berkecukupan” (the peace of the all-sufficient nothing). Tidak sedikit para penganut setia dari kaum pesimis ini akhirnya memilih untuk bunuh diri. Mereka menyebutnya sebagai “bunuh diri filosofis”. Pada sekitar satu dekade lalu, tingkat bunuh diri filosofis ini cukup tinggi di negara-negara sejahtera (welfare state).

Albert Camus (1913-1960), filusuf dan sastrawan besar Prancis, menggunakan istilah “absurd” dengan konotasi “pesimis”, namun maksud yang dituju adalah “optimis”. Peraih hadiah nobel sastra ini (1957), dalam sebagian besar hayatnya, merenung dan bergulat dengan problem “absurditas hidup”, soal hidup yang absurd alias tidak masuk akal alias ganjil alias aneh. Hidup memang aneh dan absurd, karenanya bagi kaum yang optimis, hidup penuh dengan lelucon yang kocak dan mengejutkan dan karena itu harus dinikmati. Apalagi ada ungkapan filosofi Jawa “wong urip iku mung mampir ngombe”: orang hidup itu hanya istirahat sejenak untuk minum. Minum itu enaknya kan dinikmati, masak mau disia-siakan. Bagi Camus, dunia yang terbatas namun sulit diuraikan ini adalah dunia yang tak masuk akal, dunia absurd. Yang disebut absurd adalah kondisi konfrontasi antara hal yang tidak rasional dalam hidup ini dengan hasrat (relung hati) terdalam manusia untuk mencari kejelasan dari yang tak jelas dan tak rasional itu.

Ada filusuf, ilmuwan (saintis) dan seniman yang mencoba merenungi hakikat hidup manusia di jagad semesta ini. Semakin tajam pikiran mereka terfokus pada soal tersebut, kata Camus, malah semakin terang dan jelas bahwa hidup ini memang absurd. Menurut Camus, kaum saintis yang kita harapkan bisa menjelaskan jagad ini, malah hanya membuat ‘gambar’ bahwa alam yang menakjubkan ini kumpulan dari atom, elektron, sistem planet dan gravitasi. Ilmu pengetahuan yang mestinya menerangkan kepastian hanya berakhir pada satu hipotesis: “kejernihan suram yang tenggelam dalam metafora”. Begitu pula, kekuatan nalar dan akal budi yang diagungkan sebagai milik umat manusia yang paling luhur dan tua juga rapuh berhadapan dengan kerumitan, kompleksitas dan paradoksal hidup manusia. Akhirnya kata Camus, “akal budi mengatakan kepada saya dengan caranya sediri bahwa dunia ini absurd” (Albert Camus, Mite Sisifus, 1999).

Camus lalu mengisahkan satu legenda Yunani, mitos Sisifus, yang membuatnya menjadi menjadi sastrawan “absurditas” yang paling masyhur. Karena suatu kesalahan, para Dewa di langit menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung. Dari puncak gunung batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Para Dewa menganggap bahwa tak ada hukuman yang paling mengerikan bagi Sisifus kecuali pekerjaan yang tak berguna, rutin, membosankan dan tanpa harapan itu. Manusia, sebagai cermin dari Sisifus, hanya mengerjakan rutinitas yang sama setiap hari, dan seringkali harus menerima kenyataan pahit didera masalah, musibah dan penyakit, hingga akhirnya meninggal dalam kepiluan. Karena absurditas ini, manusia-manusia absurd banyak memilih untuk bunuh diri. Di Eropa, fenomena itu sering disebut sebagai the plight of modern man, kesengsaraan manusia modern.

Menurut Camus, bunuh diri tidak akan pernah menyelesaikan problem eksistensial ini. Harus ada kesadaran bahwa tidak setiap hari Sisifus turun dari gunung dengan perasaan sedih, untuk kembali mengangkat batu ke atas. Di hari-hari yang lain, ia melakukannya dengan gembira. “Harus dibayangkan Sisifus bahagia”, kata Camus.

Pertama, justru merupakan kehormatan bagi manusia ketika ia terus menjaga hasratnya yang menggebu untuk mendapatkan ‘kejelasan’ di tengah banyak problem hidup yang tak rasional. Ketajaman pandangan yang terus diasah manusia tentang makna hidup akan melahirkan kebahagiaan berlimpah.

Kedua, memberontak. Camus meneriakkan kata “Ya” dan “Tidak” sekaligus. “Ya” harus diucapkan kepada keinginan dasar manusia akan kebaikan dan keadilan. Hidup itu baik dan bermakna. Keadilan harus diusahakan. “Tidak” harus dikatakan kepada absurditas, ketidakadilan, penderitaan orang tak berdosa, dan lebih radikal lagi kepada maut. Manusia pemberontak harus berani melawan empat hal itu. Ia tidak boleh pasrah dan bersabar hanya menunggu pahala dan pengadilan Tuhan. Atas pemberontakannya ini, Camus disebut sebagai ‘filusuf pemberontak’ (lihat Van der Wiej, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, 2017).

Nurcholish Madjid (1939-2005) adalah santri dan cendekiawan Muslim par excellent. Cak Nur sapaan akrabnya, mendalami banyak disiplin ilmu, termasuk filsafat Barat dan sosiologi modern. Tetapi, studi Islam (Islamic studies), terutama sejarah, filsafat Islam dan teologi Islam adalah karirnya seumur hidup. Dalam perspektif Islam, menurut Cak Nur, orientasi atau tujuan hidup Muslim adalah untuk bertemu (liqā) dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup manusia didapatkan dalam usaha penuh kesungguhan (mujāhadah) untuk mencapai tujuan itu, dengan cara apa? Melalui iman kepada Tuhan dan amal bajik bagi sesama. Jelaslah bagi Cak Nur bahwa hidup memiliki makna dan orientasi, bahkan orientasi yang amat luhur dan transenden, yakni kepasrahan kepada Allah semata.

Dalam menjalani hidup, yang sering kali tidak masuk akal ini, Nabi mengajarkan kaum Muslim untuk membaca tasbih (Subhānallāh), tahmid (alhamdu lillāh), dan takbir (Allāhu akbar) setelah selesai shalat wajib (fardhu). Zikir ini, menurut Cak Nur, memiliki makna filosofis yang amat mendalam. Ucapan Subhānallāh misalnya, memiliki arti bahwa Allah Maha Suci atau Maha Bebas dari setiap pikiran kita yang negatif tentang Dia. Allah Maha Suci, menurut Cak Nur, bermakna bahwa Dia tidak mungkin menciptakan alam, manusia dan hidup mereka secara sia-sia alias tanpa makna. Hidup ini bukan hanya meaningful (penuh makna) tapi juga beautiful (indah).

Ucapan Subhānallāh mengajari kaum Muslim untuk berusaha membebaskan diri dari berprasangka buruk (sū’u dzhan) kepada Allah. Penderitaan dan musibah harus dimaknai sebagai “ujian yang baik” (balā’an hasanan, istilah al-Quran), bukan azab. “Ujian yang baik” adalah kehendak Allah yang bisa menimpa siapa saja: kaum beriman atau tidak, para pendosa atau tidak, ada sebab atau tidak, semata-mata untuk menguji kesabaran dan keimanan, yang berimplikasi kepada kenaikan derajat kaum beriman, baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Setelah membaca tasbih, orang harus membaca tahmid.  Ucapan alhamdu lillāh, kata Cak Nur, mengajari kaum Muslim untuk tidak hanya bersyukur atas segala nikmat dan kebahagiaan hidup, tetapi juga memiliki pandangan yang positif, penuh apresiasi dan rasa optimis kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya (takdir) yang terjadi atas umat manusia. Dengan tahmid, manusia harus melawan fatalisme, yakni sikap putus asa terhadap masa depan. Zikir ini kemudian diakhiri dengan ucapan AllahuAkbar, yang seolah-olah mengajari kaum Muslim untuk membuat resolusi: semua halangan dan rintangan hidup, betapapun besarnya, dapat diatasi dengan ‘inayah (pertolongan) Allah Yang Maha Besar (sebab yang lainnya kecil saja di hadapan Dia yang Maha Agung).

Dengan penjelasan tiga zikir ini, Cak Nur ingin menegaskan bahwa Allah, Tuhan umat manusia itu, adalah Maha Kasih dan Maha Pemurah, bukan Maha Kejam. Manusia dianugerahi berbagai kecerdasan untuk mampu berpikir mendalam (hikmah) atas setiap fenomena dan kejadian di jagad semesta ini.

Dari Albert Camus kita belajar “pemberontakan filosofis” terhadap hidup yang absurd. Dari Cak Nur kita menimba harapan dan optimisme penuh atas nasib dan masa depan kita. (mf)

Dr Media Zainul Bahri MA, Dosen Perbandingan Agama Fakultas Ushuludin UIN Jakarta. Sumber: http://wacanamizan.com, Jumat, 19 Oktober 2018.