Obesitas Kekuasaan

Obesitas Kekuasaan

Hal paling krusial bagi Joko Widodo sebagai presiden terpilih di Pemilu 2019 adalah menghadapi jebakan periode kedua. Di tengah ekspektasi tinggi rakyat yang memilihnya untuk periode kedua, Jokowi harus segera menjawabnya dengan membentuk kabinet ahli (zaken cabinet) bukan sekadar bagi-bagi kursi.

Jebakan utama periode kedua adalah politik akomodasi yang berlebihan yang menimbulkan obesitas kekuasaan. Loyalitas koalisi yang kerap terganggu karena kepentingan partai politik yang beragam, terutama saat berburu kuasa untuk pemilu mendatang.

Dukungan politik

Jokowi memenangkan masa jabatan kedua di Pilpres 2019 dengan 55,5 persen perolehan suara. Sementara Prabowo-Sandi meraih 44,5 persen suara. Jika melihat hasil pemilu legislatif, Jokowi juga sudah memiliki modal politik jauh lebih baik dibandingkan 2014.

Sekitar 61 persen kursi DPR dikuasai partai-partai koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Artinya, Jokowi secara politis sudah memiliki basis dukungan di atas minimal yang dibutuhkan, guna menjaga level aman terkait relasi kuasanya dengan legislatif.

Kondisi ini sangat berbeda dengan dukungan kekuatan koalisi yang dimiliki Jokowi di awal kekuasaannya tahun 2014. Saat itu, Jokowi hanya mengantongi sekitar 41 persen kekuatan di Senayan.

Jokowi pun sibuk melakukan persuasi ke partai-partai yang menjadi mitra koalisi Prabowo-Hatta. Hasilnya, ada PPP, PAN, dan Partai Golkar yang akhirnya bergabung ke Kabinet Kerja Jokowi.

Fakta terkait modal politik yang dimiliki Jokowi ini, sudah seharusnya dimanfaatkan secara maksimal menjelang pembentukan pemerintahan. Jokowi tak lagi punya kepentingan bertarung di pemilu mendatang.

Oleh karena itu, seluruh daya dan upaya periode ini adalah bekerja tuntas untuk meninggalkan legacy yang baik dan berdampak positif untuk Indonesia. Salah satu ujian utama dalam waktu dekat adalah keluar dari jebakan obesitas kekuasaan akibat praktik bagi-bagi kekuasaan yang berlebihan.

Tak dinafikan, realitasnya tak ada koalisi tanpa bagi-bagi kursi. Dalam perspektif elite, strategic entry saat berkoalisi mengenal istilah struktur peluang. Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya Making Vote Count menggarisbawahi bahwa koalisi terbentuk berdasarkan tiga pertimbangan utama.

Pertama, biaya memasuki arena karena pemilu membutuhkan ongkos politik yang tinggi. Kedua, kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support).

Ketiga, beragam keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan. Faktor pertama dan kedua biasanya ramai dikalkulasi sebelum dan saat pemilu berlangsung. Faktor ketiga menjadi ramai jika pasangan yang diusung memenangkan kontestasi.

Jokowi kini tampil sebagai pemenang. Dukungan politik juga sudah di angka proporsional. Jadi, secara ideal seharusnya tidak perlu lagi melakukan politik akomodasi untuk partai-partai yang saat kontestasi berada di kubu Prabowo-Sandi.

Hal ini penting dan diperlukan untuk demokratisasi di Indonesia. Akan sangat baik jika Gerindra, PKS, PAN, juga Demokrat memerankan diri sebagai kekuatan penyeimbang.

Praktik politik kita sejak Orde Baru belum memiliki cerita sukses kanalisasi kekuatan penyeimbang ataupun oposisi yang berperan optimal. Koalisi masih berpola koopsi atau kerap bergonta-ganti pasangan dan cenderung mengukuhkan asumsi absurd selama ini bahwa koalisi tambun menjadi jaminan mulusnya kekuasaan.

Contoh faktual adalah koalisi besar partai politik pada era SBY. Sekalipun koalisi besar parpol dikanalisasi melalui Sekretariat Gabungan (Setgab), tetapi karena koordinasi yang lemah dan kepentingan parpol yang menjadi mitra koalisi sangat beragam, pada akhirnya mereka kerap berjalan sendiri-sendiri.

Misalnya, sikap Partai Golkar dan PKS yang berbeda dengan Partai Demokrat dalam Pansus Hak Angket Bank Century juga dalam kebijakan kenaikan BBM.

Belajar dari praktik koalisi pada era sebelumnya, tentu saja Jokowi harus mengoptimalkan koordinasi mitra koalisi dan memastikan loyalitas parpol, yang bersama-sama menjadi bagian dari pemerintah untuk bergerak di arus yang sama dengan target capaian di periode kedua ini.

Melihat pola kinerja koalisi pada era sebelumnya, praktis efektifnya koalisi itu maksimal hanya 2,5 tahunan dari sejak pemerintahan terbentuk di periode kedua. Sisa 2,5 tahunnya lagi, kemungkinan masing-masing partai sudah sibuk memikirkan pemilu mendatang, saat terbuka ruang dengan tiadanya pejawat.

Sirkulasi Elite

Masalah turunan dari politik akomodasi bagi-bagi kursi sekaligus menjadi jebakan periode kedua itu adalah soal distribusi dan alokasi orang di sejumlah pos-pos kementerian.

Pertimbangan representasi partai politik di kabinet sering menegasikan syarat utama orang duduk menjadi menteri. Seorang menteri yang dipilih oleh Presiden wajib orang-orang yang memiliki integritas, punya kompetensi di bidang yang akan diisi, punya kemampuan manajerial, serta leadership yang kuat untuk menjadi eksekutor yang kuat, cepat, dan tepat!

Di periode pertama Jokowi, ada beberapa menteri yang terindikasi punya masalah hukum, bahkan di antaranya ada yang harus mengundurkan diri karena berurusan dengan KPK.

Hal ini tentu saja akan sangat merugikan reputasi pemerintahan Jokowi jika tidak diperbaiki di periode kedua. Vilfredo Pareto dalam tulisannya, The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986), menyatakan, sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal atau berpola timbal balik dan mutual interdependence atau punya ketergantungan bersama.

Jika satu bagian rusak, akan mengganggu buruknya sistem di bagian-bagian lain. Memilih orang yang tepat, sesuai kebutuhan pos-pos kementerian adalah keniscayaan. Bukan memilih sekadar untuk menyenangkan partai-partai.

Apalagi, yang nanti mengisi adalah mereka yang punya kualifikasi coba-coba menjadi menteri. Memilih menteri adalah indikator awal, apakah pemerintahan Jokowi memberi sinyal positif atau negatif untuk lima tahun ke depan.

Tentu saja, peluang besar agar Jokowi membentuk tim yang kuat terbuka lebar, selama dia bisa keluar dari jebakan obesitas kekuasaan. Periode kedua akan menjadi pertaruhan besar bagi Jokowi, menjadi pemimpin luar biasa atau rata-rata saja.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Opini, harian Republika, edisi Jumat, 12 Juli 2019. (lrf)