“Nyate” dan Perubahan Mikro Sosial

“Nyate” dan Perubahan Mikro Sosial

Hari Raya Idul Adha identik dengan kegiatan membakar daging yang sudah dipotong kecil-kecil dan disusun dalam bambu. Namanya sate. Aktivitasnya disebut "Nyate". Teman saya, setiap kali peristiwa ini berlangsung, menulis di media sosialnya: “ Selamat Hari Nyate Nasional”.

Nyate sendiri merupakan aktivitas yang melekat pada kegiatan yang cukup panjang. Mulai dari menyiapkan pendukung sampai kepada substansinya. Uniknya, Nyate hanya melekat pada aktivitas yang di dalamnya ada sate. Bukan membakar daging kecil-kecil yang ditusuk pada bambu, misalnya. Nyate telah menjadi semesta tersendiri pada satu aktivitas yang unik dan khusus.

Kegiatan Nyate ini memang dilakukan oleh berbagai kalangan. Tidak peduli umur, agama dan keyakinan. Orang dari berbagai kalangan ini bisa menikmati sate dan menyate. Karena panitia pun membagikan daging kurban tidak memilih berdasakan agama, umur, strata sosial, atau label lain. Penerima daging kurban biasanya diidentifikasi berbasis azas ketetanggaan. Alhasil, daging kurban menjadi jembatan kebajikan, dan kegiatan Nyate menjadi implementasi kebersamaan.

Dalam kegiatan Nyate, kita membutuhkan supporting antara lain: arang, hihid (kipas dari anyaman bambu), tusuk sate, dan alat tempat menaruh arang dan sate. Untuk mengumpulkannya, tidak perlu susah, sebab pada musim Nyate, keempat jenis barang tersebut tersedia dengan mudah pada toko kelontong dekat rumah.

Namun jangan salah, meski sepertinya biasa saja, keempat barang tersebut tetap terkena hukum permintaan dan suplai. Ketika permintaan tinggi, harga melonjak. Contoh, sekantung plastik arang, yang dibeli saya dua minggu lalu, harganya masih 5000 rupiah saja. Tetapi di musim seperti sekarang ini, harga arang bisa berubah menjadi 10.000, bahkan ada yang menawarkan duabelas ribu perkantung. Persis sepeda lipat yang kemudian harganya meningkat tajam karena mendadak musim.

Jika kita telaah secara mendalam dunia Nyate ini sebenarnya mengandung nilai-nilai sosial-filosofis yang kuat. Mungkin pesan-pesan inilah yang ingin disampaikan oleh orang tua kita dahulu dalam proses berkurban dan pasca kurban.

Pertama , hampir semua barang-barang yang diperlukan untuk menunjang proses Nyate, merupakan produksi rakyat kecil. Hihid, arang, tusukan bambu, dan mungkin juga alat pemanggangnya. Di sini, kegiatan sate menyate memang berintikan partisipasi semua pihak, terutama rakyat kecil. Bahkan kebanyakan penjualnya pun merupakan pedagang kecil. Dengan kata lain, dari hulu sampai hilir, penunjang kebutuhan aktivitas Nyate melibatkan banyak pihak, dan kebanyakan mereka adalah rakyat kecil.

Kedua , sate sendiri sarat dengan makna kebersamaan. Menyajikan sate dari awal sampai akhir lebih nikmat jika bareng-bareng. Karena prosesnya memang membuat bisa membuat orang-orang dengan berbagai kapasitas berpartisipasi. Lihat saja, mereka yang ahli masak bisa membuat bumbu, yang teliti bisa menjadi bagian tukang tusuk, bahkan yang hanya bisa duduk dan mengipaskan hihid bisa tetap berperan menikmati prosesnya.

Ketiga , menikmati Nyate juga paling enak bersama-sama. Tidak jarang, jika dirasa kurang banyak, mereka berkolaborasi dengan tetangga untuk mengadakan “Nyate bersama”. Kegiatan ini bukan dimaksudkan untuk menambahkan kuantitas daging untuk disate, tetapi penambahnya justru sesuatu yang tidak tampak: kebersamaan. Justru jumlah yang sedikit itu menjadi banyak karena dibagi bersama, bukan dinikmati sendirian.

Transformasi Nyate

Sebagaimana hukum besi teknologi, istilah mangkus dan sangkil demikian kuat melekat pada realitas. Tidak terkecuali dunia persatean ini. Teknologi yang ditemukan dalam proses memotong, memilah, membumbui, dan bahkan membakarnya, telah mentransformasi secara signifikan permasalahan sate menyate ini.

Jika dahulu, Nyate adalah dunia sosial yang secara mikro tampil dengan keindahannya. Interaksi dan kerianggembiraan dalam setiap prosesnya, menghasilkan lukiran realitas yang menjadikan banyak orang mengalami kenangan.

Namun teknologi telah mengubahnya dengan membasiskan pada kredo utamanya, yakni fungsi. Apa fungsi makan? Nikmat dan kenyang. Apa fungsi pembakaran? Supaya matang. Apa fungsi bumbu? Supaya makanannya enak, dan sebagainya.

Semua fungsi yang kemudian diubah menjadi kode dan dimatematikakan agar mendapatkan polanya itulah yang menjadi basis dari kebanyakan teknologi. Teknologi lupa atau malah tidak mentolerir akan kesalahan (false) dari setiap proses, sebab kesempurnaan tanpa bugs sama sekali merupakan tujuan dari ada dan lahirnya teknologi itu.

Teknologi tidak bisa menghasilkan nilai yang melekat ketika membakar sate itu ada yang gosong dan mentah sebagian, misalnya. Sebab dalam realitas itulah cerita dihasilkan.

Teknologi tidak bisa menunjukkan bahwa dalam ukuran daging yang tidak rata, dalam bumbu yang kurang garam atau kecap, dan kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh manusia, justru di situlah manusia itu hadir dan ada.

Maka, ketika semua proses itu diambil alih teknologi. Membakar pake listrik sehingga menghasilkan kematangan rata dan sempurna; bumbu yang ditakar oleh computer sehingga menghasilkan komposis yang finis, dan sebagainya, hanya akhirnya melahirkan kesenangan sesaat.

Nyate adalah dunia sosial yang dirindukan orang bukan karena segala kesempurnaan rasa, ukuran, enak, matang, dan yang lainnya. Nyate adalah dunia sosial yang setiap helai daging kering karena dibakar dalam bara yang tidak rata itulah justru interaksi hadir mengikat semua rasa kemanusiaan.

Kalau pun kita kemudian memilih teknologi yang sempurna itu yang menyajikannya, tidak apa-apa. Sate yang digigit itu masih tetap sate. Namun keindahan yang dulu dinikmati karena ada kebersamaan, sebagiannya menguap menjadi kenangan.[]

Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam, dosen Pengembangan Masyarakat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komuniaksi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Sumber: https://akurat.co/news/id-1187827-read-ldquo-nyate-rdquo-dan-perubahan-mikro-sosial?fbclid=IwAR1abOin6gY1SDmR-HXM_0urKZfovolvgZbpy88nu1HdYDBKndAM-HKVIiw, Senin, 3 Agustus 2020. (mf)