Neoliberalisme Paham Penjajah Ekonomi di Indonesia

Neoliberalisme Paham Penjajah Ekonomi di Indonesia

Reporter: Jaenuddin Ishaq

Gedung FEB, UIN Online - Pemerintah Indonesia sudah seharusnya lebih memperhatikan pertumbuhan ekonomi bangsa yang belakangan ini justru berpihak kepada keuntungan sekelompok tertentu semata. Celakanya lagi, bukan tak mungkin lambat laun rakyat Indonesia tidak bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

Pernyataan itu disampaikan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Sri-Edi Swasono dalam kuliah umum bertema ‘Kembali Ke Ekonomi Konstitusi: Menolak Neoliberalisme’ yang diadakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) di Ruang Teater lantai II Gedung FEB, Selasa (23/11).

“Sekarang ini apa yang tidak dijual ke pihak asing. Contohnya penjualan saham PT Krakatau Steel dan PT Indosat Tbk ke pihak asing yang bekum lama ini terjadi. Hal itu diakibatkan (salah satunya) oleh sistem ekonomi yang neoliberalisme,” kata Edi.

Neoliberalisme merupakan mekanisme pasar bebas (laissez-faire), yang menekan campur tangan negara seminimal mungkin. Sehingga pasar bebas sebagai topeng globalisasi ekonomi predatorik. “Di sinilah neoliberalisme mengakibatkan digugurkannya daulat rakyat, dan diunggulkannya daulat pasar,” jelas suami mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Indonesia Bersatu, Meutia Hatta, ini.

Edi menjelaskan, pesan konstitusi yaitu ‘menguasai tidak harus memiliki’. Menguasai dapat dilakukan dengan regulasi oleh negara, sehingga regulasi dapat memastikan dan menjamin peran strategis cabang-cabang produksi bagi negara dan tersedianya kebutuhan hidup bagi rakyat.

Di luar normativisme konstitusi, lanjut Edi, Soekarno-Hatta tidak anti-asing dan tidak pula anti-pinjaman luar negeri. Namun, kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa investasi asing dan pinjaman luar negeri, di samping untuk kemakmuran rakyat, juga harus meningkatkan kemandirian nasional.

“Pinjaman luar negeri sekadar pelengkap dan sementara. Soekarno dan Hatta tidak menghendaki investasi asing mendominasi ekonomi nasional, di samping tidak mengendalikan apalagi ‘mengangkangi’ ekonomi nasional,” tukasnya.

Lebih lanjut Edi juga mengingatkan, penjajahan kurikulum (academic hegemony) terhadap fakultas-fakultas ekonomi juga kerap terjadi. Pengajaran ilmu ekonomi sebatas neoklasikal yang mengemban sepenuhnya paham liberalisme/neoliberalisme dengan pasar-pasar menyertainya. “Neoliberalisme tidak pro-job, tidak pro-poor, tidak pula pro-economic nationalism, sehingga terjadi eksklusifisme bagi yang kuat dan marjinalisasi terhadap yang lemah,” tutur Edi.