Narasi Game of Thrones Jokowi

Narasi Game of Thrones Jokowi

PIDATO Presiden Jokowi di Sidang Paripurna Pertemuan Tahunan IMF dan Word Bank, pada Jumat (12/10), patut diapresiasi dengan cara dimaknai dan diberi catatan. Meskipun Jokowi bukan orator ulung yang terbiasa menggunakan retorika bergaya luar biasa, tetapi penampilannya di panggung besar IMF-World Bank tersebut mengena, kontekstual, renyah, ilustratif terutama saat memberi gambaran situasi global saat ini dengan menggunakan metafora dari film serial fantasi yang lagi populer, Game of Throne.

Kritik Jokowi terhadap negara-negara besar disampaikan tidak dengan pilihan verbal agresif, asertif, dan berlebihan. Meskipun jika melihat konten dan konteksnya, pidato Jokowi tersebut memberi muatan sangat serius, yakni mengajak warga dunia untuk bekerja sama mengatasi problematik nyata di depan mata.

Relasi kuasa

Presiden Jokowi belakangan memang kerap menggunakan metafora dalam pidato di forum resminya. Jokowi pernah menyelipkan narasi sosok Thanos dalam film Avengers: Infinity War dalam pidatonya di World Economic Forum ASEAN di Hanoi.

Kini, di pertemuan IMF-World Bank Jokowi kembali menggunakan ilustrasi dari film. Yang dipilih menjadi sisipan pidatonya ialah serial Game of Thrones yang tayang serial di HBO.

Dalam perspektif komunikasi politik, pidato resmi menggunakan ilustrasi film-film populer sah-sah saja, bahkan akan menarik dan memancing perhatian khalayak luas jika isi pesannnya relevan. Sebagai sebuah pidato retorik, apa yang disampaikan Jokowi terasa renyah, menarik, dan ilustrasi yang dibangunnya juga kontekstual.

Untuk memahami pesan dalam narasi Presiden Jokowi, ada baiknya kita singgung sekilas film ini. Film epik fantasi Game of Thrones diadaptasi dari buku George RR Martin, A Song of Ice and Fire,  yang kemudian diangkat jadi film serial televisi besutan David Benioff dan DB Weiss.

Film yang sudah memasuki season 8 itu, berkisah tentang perebutan kekuasaan. Narasinya tentang perseteruan antartujuh klan bangsawan dalam perebutan tanah, tahta, dan kekuasaan Westeros. Berbagai macam konflik akhirnya melibatkan Klan Baratheon, Stark, Lannister, Greyjoy, Tully, Arryn, dan Tyrell yang mengarah ke perang besar.

Mereka saling terlibat peperangan berdarah dalam memperebutkan kekuasaan. Mereka bertarung hebat satu sama lain untuk mengambil alih kendali the iron throne dan mother of dragon. Karena sibuk bertarung, mereka kerap lupa ancaman nyata serangan dari Utara Evil Winter. Jokowi di pidatonya  mengingatkan ‘winter is coming’. Sebuah kalimat pengingat yang populer di film tersebut.

Apa sesungguhnya isi dari Jokowi tersebut? Jika memperhatikan pesan Jokowi di pidato tersebut secara utuh, sesungguhnya pidato tersebut lebih ditunjukkan ke bangsa-bangsa warga dunia. Melalui pesan ‘winter is coming’, Jokowi seolah ingin memberi peringatan bahwa ada risiko dari ketidaksiapan warga dunia menghadapi ketidakpastian global yang  diakibatkan perang dagang, melimpahnya inovasi teknologi yang membuat industri kerap kali terguncang.

Amerika menikmati pertumbuhan ekonomi pesat, sedangkan banyak negara-negara lain lemah dan tidak stabil. Fenomena aliansi negara-negara ekonomi maju digambarkan seolah mengalami keretakan sehingga memengaruhi ketidakseimbangan relasi kuasa (power relations). Jokowi memberi ilustrasi dunia seperti roda besar. Satu negara maju dan berada di puncak,  tapi juga ada negara-negara lain yang mengalami benar-benar di bawah.

Ada tiga hal utama dalam pemaknaan gimik Game of Thrones ala Jokowi dalam persepktif narasi yang dibangun. Pertama, Jokowi sedang mengingatkan soal relasi kuasa yang tak berimbang dan cenderung dominatif. Negara-negara besar lebih berorientasi pada rivalitas, bukan kolaborasi. Persis seperti perebutan kuasa antarklan di Game of Thrones.

Kedua, saat ini negara-negara di dunia termasuk AS dan Tiongkok seharusnya duduk bersama dan mau bekerja sama menghadapi tantangan nyata yang menjadi problem nyata warga global. Seperti perubahan iklim, sampah plastik yang menjadi momok dunia, ekses perang dagang yang membuat terpuruknya ekonomi negara-negara lain.

Jangan karena pertarungan di antara negara-negara besar tersebut, kita abai menjaga bumi yang kita diami. Ilustrasinya dari Game of Thrones, jangan karena perseteruan antarkubu (houses) dan wangsa (families) lantas abai dengan serangan Evil Winter yang akan melingkupi bumi dengan es dan menghancurkannya.

Ketiga, peran global tak bisa egosentris! Jika melihat persaingan yang saling mendominasi, sesungguhnya hanya akan melahirkan peperangan yang tidak bisa dimenangkan (unwinnable war) oleh siapa pun. Relasi kuasa yang antoginis membuat kehidupan tidak harmoni dan motif tindakan lebih mengarah pada upaya menghancurkan pihak lain.

Konstruksi simbolis

Pidato Jokowi harus diposisikan sebagai konstruksi simbolis dalam pendekatan Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan (1990). Pesan verbal tentunya bisa kita pahami sebagai bentuk eksternalisasi dari pemahaman dan kesadaran subjektif penyampainya.

Sebagai komunikator, Jokowi mengekspresikan apa yang dihayatinya sebagai realitas objektif, menjadi ekspresi simbolis untuk bisa dipahami dan diinterpretasi oleh komunikan atau audiensnya. Jika memposiskan pidatonya, tentu target khalayak yang dituju Jokowi lebih ke dunia internasional bukan ke warga Indonesia.

Sebagai pesan, sangat wajar juga jika pidato Jokowi dimaknai dan direspons berbeda-beda. Misalnya, banyak politisi dari kubu oposisi yang mengkritik pidato Jokowi dengan kutipan narasi film Game of Thrones tersebut. Misalnya, kritik ketidaktepatan memilih film tersebut, karena dianggap banyak memperlihatkan adegan kekerasan dan sensualitas layaknya film untuk orang di atas usia 17 tahun.

Ada juga kritik yang membawa konteksnya ke dalam negeri bahwa pesan Jokowi tersebut sulit dipahami lapisan bawah masyarakat, seperti petani dan nelayan. Namun, dalam perspektif komunikasi politik, sebuah pesan itu pasti memiliki intensi atau tujuan untuk memengaruhi lingkungan politik.

Jika melihat intensinya, jelas pesan memang diarahkan untuk masyarakat internasional. Terutama negara-negara besar yang karena kuasanya harus didorong untuk duduk bersama dan bekerja sama. Apa pun itu, pidato Jokowi kemarin memiliki wow effect yang patut diapresiasi.

Publisitas politik yang terjadi setelah pidatonya sudah cukup memadai. Misalnya, perbincangan warga dan pemberitaan media internasional yang mengulasnya menjadi bukti bahwa pesan di pidato Jokowi memang menarik perhatian meski disampaikan dengan bersahaja. Tinggal apakah realitasnya yang disampaikan Jokowi tersebut berpengaruh pada pola hubungan negara-negara besar di dunia? Ataukah sekadar menarik di panggung pertunjukan?

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini, harian Media Indonesia, edisi Selasa, 16 Okt 2018. (lrf)