Menyoal Penghargaan terhadap Buku

Menyoal Penghargaan terhadap Buku

 

Membaca berita "PR" (Sabtu-4/10) dengan judul "21 Ton Buku Pesanan Dijual ke Tukang Loak" terasa sangat memilukan. Betapa tidak, buku yang belum pernah dibaca sama sekali alias masih baru itu, bernasib seperti barang-barang rongsokan, dijual dengan harga yang sangat jauh dari kewajaran. Adalah CV Geger Sunten, salah satu percetakan buku di Tasikmalaya yang terpaksa menjual buku paket murah pesanan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, mulai dari jenjang SD sampai SMA. Alasannya, sudah tiga tahun, pihak pemesan tidak mengambil atau membayar buku paket tersebut.

 

Tulisan sederhana ini tidak ingin membahas persoalan-persoalan teknis terkait dengan penerbitan buku tersebut, seperti kontrak kerja dan semacamnya, apalagi berpretensi untuk menghakimi pihak mana yang bersalah. Alih-alih penulis ingin mencoba melihatnya kepada hal yang jauh lebih esensial, yakni persoalan yang menimpa dunia perbukuan, atau secara lebih umum, dunia baca tulis dalam ranah pendidikan kita. Minimnya apresiasi pemerintah dan tradisi baca tulis yang masih rendah adalah dua hal yang ingin disorot dalam masalah ini.

 

Minim apresiasi

Apa yang dapat kita tangkap dari kasus di atas? Menurut hemat penulis, inilah potret dari minimnya apresiasi pemerintah dan pihak-pihak terkait, terhadap dunia perbukuan di negeri kita. Dunia perbukuan yang merupakan salah satu bentuk representasi dari baca tulis tersebut, tampaknya belum dianggap sebagai bagian integral dari peradaban negeri kita. Ia dipandang sebagai marjinal, seolah hidup di dunia antah berantah. Keberadaannya dipandang sebelah mata. Kepala Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya, ketika menanggapi kasus ini mengatakan, "Percetakan buku tidak lebih atau seperti pembuat kerupuk yang dijual bebas ke masyarakat. Jika tidak ada yang beli, hal itu merupakan risiko dari usaha pihak percetakan." ("PR", 7/10). Sebegitu tidak berhargakah buku di hadapan aparat pemerintah?

 

Padahal, kita mengetahui dari sejarah bangsa-bangsa di dunia bahwa peradaban satu bangsa pastilah ditopang oleh hasil karya dari anak-anak bangsa tersebut. Peradaban Yunani tidak mungkin dihargai dunia di masa lalu, jika tidak mempunyai karya-karya besar dalam bidang filsafat yang banyak mengilhami para pemikir di berbagai belahan dunia. Siapa di antara kita yang tidak mengenal tokoh-tokoh filsafat Yunani seperti Plato, Aristoteles, Sokrates, dan sebagainya?

 

Demikian pula dalam sejarah Islam, kita mengetahui bahwa puncak peradaban Islam itu terjadi pada masa dua khalifah terkemuka dari Kekhalifahan Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan al-Ma`mun. Pada masa itu ada lembaga bernama "Baitul Hikmah" didukung sepenuhnya Khalifah, yang begitu giat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran filsafat, sastra, dan sebagainya, melalui penerjemahan sejumlah buku dari Yunani, Persia, dan lain-lain.

 

Maka, muncullah para pemikir Muslim ketika itu yang karya-karyanya sangat dikagumi dunia, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd (Averoes), Ibnu Khaldun, Nasiruddin al-Thusi, dan sebagainya. Yang menarik mereka tidak sekadar mengadopsi begitu saja pemikiran dari para filosof Yunani, tetapi justru mengkajinya secara mendalam, mengadaptasikannya dengan tradisi Islam, dan bahkan melakukan kritik yang tajam. Al-Farabi, misalnya, terkenal dengan kritiknya yang tajam terhadap Logika Aristoteles dan itu diakui para pemikir dunia berikutnya. Banyak pihak yang tidak meragukan bahwa kemajuan peradaban Barat yang dapat kita saksikan sampai hari ini sangat dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh Muslim tersebut.

 

Dari paparan historis di atas jelaslah bahwa dukungan pemerintah (baca: Khalifah) terhadap kegiatan baca tulis anak bangsanya sangat penting. Tanpa ada dukungan pemerintah melalui pembentukan lembaga tersebut, barangkali peradaban Islam tidak akan secemerlang seperti yang kita kenal. Maka, membaca berita tentang "kurang responsif"-nya sejumlah pihak, termasuk pemerintah atas kasus yang menimpa CV Geger Sunten, sungguh sangat ironis. Bukankah buku-buku tersebut sangat diperlukan oleh pihak sekolah, karena muatannya yang memang sudah disesuaikan dengan kebutuhan anak didik di sana? Dan bukankah buku-buku itu adalah hasil karya dari para pendidik di kalangan mereka sendiri?

 

Andai buku-buku itu diselamatkan, maka banyak pihak yang akan terselamatkan. Anak-anak didik tentu akan dapat mengaksesnya dengan harga yang relatif terjangkau, karena merupakan buku paket murah. Sementara itu, bagi para pendidik yang menulis buku-buku tersebut, selain ada honorarium, tentu yang lebih penting adalah tumbuhnya pada diri mereka kecintaan untuk membaca dan menulis, sehingga gairah mereka dalam dunia bacatulis akan menyala-nyala.

 

Tradisi baca tulis

Selain minimnya apresiasi pemerintah terhadap dunia perbukuan, tradisi baca tulis juga perlu dibahas di sini. Sebenarnya, pembuatan buku-buku paket murah di sekolah-sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya, telah memberikan harapan besar untuk menguatnya tradisi baca tulis dalam dunia pendidikan kita. Sayangnya, harapan itu kini "diempaskan" kembali. Yang paling ditakutkan adalah kejadian di atas bisa "membunuh" gairah para pendidik dalam dunia baca tulis.

 

Padahal, secara umum di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia mulai jenjang SD sampai PT, tradisi baca tulisnya jauh dari menggembirakan. Hal itu, ditambah oleh sistem birokrasinya yang tidak menjunjung tinggi meritokrasi, yakni penghargaan terhadap guru atau dosen yang didasarkan pada prestasi, antara lain menerbitkan karya tulis. Padahal, di negara-negara maju seperti sering dikatakan Prof. Deddy Mulyana (2008), sistem meritokrasi itu begitu ajeg diterapkan. Ada ungkapan dari kalangan mereka yang sangat relevan dalam hal ini, to publish or to perish (menerbitkan atau hilang sama sekali).

 

Di dunia PT, misalnya seorang Guru Besar akan dihormati kalau ia sudah berhasil menerbitkan karya tulisnya, baik berbentuk makalah dalam jurnal maupun buku. Kebiasaan mereka untuk saling menukar karya tulis jika bertemu adalah hal yang lazim terjadi. Sebaliknya, seorang Guru Besar yang tidak mampu menerbitkan karyanya, akan dengan "sadar diri" mengundurkan diri dari lingkungannya itu. Sebab, tanpa mengundurkan diri pun, lambat laun ia akan tersisih. Inilah yang agaknya sulit sekali (atau "mustahil"?) terjadi dalam dunia PT Kita.

 

Pada saat yang sama sistem pengajaran dalam dunia pendidikan kita, tidak dapat menumbuhkan budaya baca apalagi tulis. Jarang kita mendengar ada seorang guru/dosen yang memberikan tugas membaca sekian buku kepada para siswa/mahasiswa--sebagaimana lazimnya di negara-negara maju--dan membuatkan resume atau komentar atau bahkan kritik terhadap bahan bacaan tersebut. Alih-alih sistem pengajaran kita masih bertumpu pada model ceramah, di mana anak didik dianggap sebagai botol kosong yang siap diisi.

 

Ala kulli hal, dari kasus di atas setidaknya kita dapat mengambil "ibrah" bahwa dunia pendidikan di negeri Indonesia, termasuk masalah dunia baca tulis, seperti yang terepresentasikan dalam perbukuan kita, masih menyimpan sejumlah persoalan yang serius, untuk tidak mengatakan berada dalam "ruang gawat darurat". Kepada pemerintah dan semua pihak yang terkait, yakinlah bahwa tindakan penyelamatan terhadap kasus di atas, apa pun bentuknya, pastilah tidak akan merugi. Apalagi kita baru saja merayakan Idulfitri, sehingga peluang untuk terus "menabung" pahala terbentang di hadapan kita.

 

Iding R. Hasan, dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung

 

*Artikel ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Senin 13 Oktober 2008