Mengapa Demokrasi Tak Mampir di Timur Tengah?

Mengapa Demokrasi Tak Mampir di Timur Tengah?

Oleh: Testriono

Salah satu perdebatan yang terus mengemuka dalam kajian politik perbandingan saat ini adalah bagaimana menjelaskan kawasan Timur Tengah yang tampak seperti pengecualian (Middle Eastern exceptionalism).

Sejarah mencatat setidaknya empat gelombang demokratisasi—1828-1926, Perang Dunia II (1939-1945), 1974-1990, dan Musim Semi Arab (Arab Spring) 2010-2012—telah menyapu dunia selama dua abad terakhir. Namun, tak ada dari keempat gelombang demokratisasi itu yang mampu merobohkan otoritarianisme di kawasan Timur Tengah.

Resistensi Terhadap Demokrasi

Di banyak kajian tentang demokrasi, otoritarianisme, dan perkembangan politik secara umum, pertanyaan para sarjana berpusat pada: Mengapa negara-negara di Timur Tengah begitu resisten terhadap demokratisasi? Mengapa otoritarianisme di kawasan itu begitu terkonsolidasi? Mengapa kawasan itu terus-menerus dirundung konflik?

Sejumlah studi mengaitkan defisit demokrasi di kawasan itu kepada kurangnya prasyarat demokratisasi yang secara umum sering dirumuskan sebagai teori modernisasi (Lipset 1959; Huntington 1991): lemahnya masyarakat sipil, absennya ekonomi pasar, rendahnya pendapatan dan tingkat literasi masyarakat, minimnya negara-negara tetangga yang demokratis, dan tidak adanya budaya demokrasi. Yang terakhir sering dikaitkan dengan ketidaksesuaian nilai-nilai ajaran Islam dengan demokrasi. Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai alasan utama yang menjadi penghambat demokratisasi di negara-negara kawasan Timur Tengah.

Namun, sejumlah variabel modernisasi itu tidak memberi jawaban yang memadai. Di kawasan Afrika, dengan tingkat pendapatan dan literasi masyarakat yang jauh lebih rendah, ditambah lebih lemahnya masyarakat sipil, demokrasi terbukti tetap bisa tumbuh. Sebagai catatan, saat ini ada sekitar 17 negara di Afrika yang dapat dikategorikan demokratis dalam berbagai tingkatannya.

Sementara di Timur Tengah, Israel menjadi satu-satunya negara di kawasan itu yang bisa dianggap demokratis. Di Afrika Utara, kawasan yang kerap disebut satu tarikan nafas dengan Timur Tengah karena memiliki banyak kesamaan secara geografis, budaya, dan bahasa, hanya Tunisia yang kini bisa dikatakan demokratis.

Dari segi pendapatan rata-rata penduduk, negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar berada jauh di atas Indonesia dan Filipina, dua negara di Asia Tenggara yang masuk kategori demokratis.

Kalau Islam jadi ganjalan bagi proses demokratisasi di kawasan itu, justru kompatibilitas Islam dan demokrasi tampak nyata di Indonesia yang dikenal sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Hal ini telah dibuktikan keberadaannya oleh sejumlah kajian empiris banyak sarjana.

 

Akar Masalah

Ada sejumlah penjelasan yang bisa mengurai teka-teki pengecualian Timur Tengah itu. Pertama, secara kultural hubungan antara masyarakat di kawasan Arab dibentuk oleh apa yang antropolog Philip Carl Salzman (2007) sebut sebagai solidaritas kesukuan (tribal solidarity) atau Scott J. Weiner (2016) menyebutnya politik kekerabatan (kinship).

Afiliasi solidaritas kesukuan itu, di mana masing-masing anggota diikat oleh komitmen untuk membela setiap anggotanya dari gangguan anggota pihak luar, kerap kali menjadi akar bagi konflik yang berkepanjangan. Sayangnya, di era modern saat ini politik kesukuan itu terus berlangsung dan bertransformasi dalam bentuk institusi negara.

Monarki-monarki yang kini berkuasa di negara-negara Timur Tengah berdiri di atas struktur tribalisme tradisional: suku, klan, atau kabilah. Monarki-monarki itu mewariskan kekuasaannya secara turun-temurun, dan keluarga kerajaan mendominasi sistem politik. Sementara struktur sosial kesukuan terus berlangsung hingga hari ini.

Pola-pola koalisi dan konflik yang muncul di Timur Tengah menjadi bukti bagaimana konfrontasi dan konflik antar-negara diikat oleh komitmen “bersama kami atau melawan kami” (either with us or against us), sebuah manifestasi solidaritas politik kekerabatan.

Krisis Arab Saudi-Qatar pada tahun 2017 lalu bisa menjadi contoh. Arab Saudi yang baik secara eksplisit maupun implisit memegang kepemimpinan di kawasan Teluk dan negara-negara Muslim Sunni lain, tidak bisa menerima sikap Qatar yang sering berseberangan dengan kebijakan Riyadh.

Misalnya, sikap lunak Qatar terhadap Iran dianggap sebagai tanda bahwa Doha berpaling dari pengaruh Arab Saudi, dan itu tidak bisa diterima oleh Arab Saudi yang sudah sejak lama menyimpan rivalitas dengan Iran. Selain itu, Qatar mendukung perubahan di Timur Tengah, khususnya terhadap tuntutan demokrasi yang bermula pada Musim Semi Arab tahun 2010.

Arab Saudi menganggap revolusi Arab itu sebagai ancaman langsung terhadap keberadaan rezim-rezim status quo di kawasan itu. Untuk mengimbangi gerakan revolusioner itu, Arab Saudi mendukung monarki di Yordan dan Maroko, serta membekingi militer Mesir. Pemutusan hubungan diplomatik oleh Arab Saudi terhadap Qatar lantas diikuti oleh sekutunya, di antaranya Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir.

Suksesi Turun-temurun

Penjelasan lain mengapa rezim-rezim otoriter di kawasan Timur Tengah berumur panjang adalah fakta bahwa secara struktural kawasan Teluk terdiri dari negara-negara kaya minyak dengan pola suksesi politik turun-temurun. Perpaduan dua faktor ini menurut Brownlee, Masoud, dan Reynolds (2013) menjadi sebab mengapa Musim Semi Arab tidak berhasil mendorong demokratisasi di kawasan itu. Minyak yang melimpah membuat monarki mampu menekan oposisi dan membiayai militer untuk menopang rezim.

Menurut Ross (2001), minyak membuat para diktator punya cukup uang untuk membeli warganya, sehingga mereka tidak menuntut demokratisasi. Para monarki di Timur Tengah menasionalisasi industri minyak mereka, yang memberi mereka kendali eksklusif atas sumber daya yang sangat dibutuhkan dunia.

Ini memungkinkan mereka untuk menjadi “negara rente”. Negara yang mendasarkan pendapatannya pada “sewa”—uang yang diperoleh berdasarkan kendali atas sumber daya alam, bukan karena kemampuan membangun sektor ekonomi produktif seperti agrikultur, industri, dan jasa. Pemerintah Arab Saudi, Qatar, Iran, dan lainnya menggunakan uang hasil sewa minyak mereka untuk membiayai program-program kesejahteraan. Termasuk pemberian uang tunai, bagi warga mereka, yang pada masa krisis politik akan membuat warganya tetap di pihak mereka.

Di saat yang sama, menurut Colgan (2013) minyak dapat menyebabkan atau memperburuk konflik. Minyak misalnya dapat memicu perang perebutan sumber daya, di mana negara berusaha untuk memperoleh cadangan minyak dengan paksa atau memperebutkan prospek dominasi pasar minyak, seperti perang Amerika Serikat dengan Irak atas Kuwait pada tahun 1991.

Konflik yang terjadi di Irak, Libya, dan Suriah saat ini juga di antaranya dipicu oleh perebutan dominasi pasar minyak. Selain itu, konsesi atas ladang minyak juga membuat oposisi domestik bisa dengan mudah melibatkan kekuatan luar, seperti bekerja sama dengan Amerika Serikat, untuk menjatuhkan pemimpin yang berkuasa seperti Saddam Hussein, yang justru berakibat pada lahirnya perang saudara.

 

Sejarah Kolonial dan Politik

Penjelasan ketiga mengapa demokrasi sulit tumbuh di Timur Tengah adalah terkait sejarah kolonial dan politik. Menurut Hariri (2015), terbangunnya pemukiman permanen Eropa (European settlement) selama masa kolonial telah menjadi kekuatan sejarah yang penting dalam menyebarkan demokrasi di seluruh dunia.

Pembentukan pemukiman Eropa memang bukan ekspor demokrasi, karena kolonialisme bukan kekuatan demokratis dan tidak dimaksudkan untuk menyebarkan demokrasi. Namun, di daerah-daerah koloni, pemukim Eropa itu bereksperimen dengan sistem perwakilan karena otoritas kerajaan di negara asal berjarak ribuan mil jauhnya.

Di samping itu, pembentukan pemukiman Eropa sering diikuti oleh modernisasi sosial ekonomi dan pendidikan. Proses modernisasi itu memberi fondasi bagi tumbuhnya budaya politik yang menjadi prasyarat bagi prospek demokrasi.

Sebaliknya, wilayah-wilayah yang secara politik cukup kuat untuk melawan penjajahan atau memiliki infrastruktur negara yang cukup sehingga mendorong penjajah menjalankan kekuasaannya melalui lembaga-lembaga tradisional yang ada itu, tidak mengalami pemukiman Eropa. Akibatnya, wilayah-wilayah ini lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami demokratisasi.

Selama berabad-abad, negara-negara Timur Tengah berhasil menangkis pemukim Eropa. Ketika wilayah itu dikolonisasi, pemukiman Eropa hanya tumbuh terbatas, dan Eropa memerintah melalui hierarki tradisional yang sudah ada, yang itu justru memperkuat struktur otoritas tradisional itu.

***

Ketiga faktor itu menjadi alasan yang membuat kawasan Timur Tengah tampak seperti pengecualian dibanding kawasan lain di dunia, yang itu berkontribusi pada suramnya prospek demokrasi di kawasan itu.

Meski demikian, kondisi itu bukan kutukan. Sejauh negara-negara Timur Tengah terus memodernisasi diri—memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan peningkatan sumber daya manusia, melakukan diversifikasi ekonomi, serta memodernisasi birokrasi dan pengelolaan negara—pintu perubahan akan pelan-pelan terbuka dan memberi optimisme demokratisasi di kawasan itu.

Penulis adalah Mahasiswa Ph.D di Departemen Ilmu Politik, Northern Illinois University, AS, sekaligus Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. Artikel dimuat pada Kamis, 20 Februari 2020 di https://ibtimes.id/mengapa-demokrasi-tak-mampir-di-timur-tengah/