Mendidik dengan Hati dan Keteladanan

Mendidik dengan Hati dan Keteladanan

Saya guru Madania Boarding School pada 2001. Saya tanya orangtua mengapa menyekolahkan anak di sini. Beberapa jawaban orangtua mirip. Saya ingin anak saya belajar agama, kata mereka. Agama merupakan modal pembentukan anak yang saleh dan berkarakter. Tujuan pendidikan adalah mematangkan pengetahuan, skill, dan sikap siswa. Sama dengan tujuan pendidikan, tujuan sekolah dan belajar adalah mengembangkan kecerdasan anak, di antaranya kemampuan bermusik, berbahasa, berhitung, menulis, berkomunikasi, menjalin hubungan, dan melukis. Cerdas dan berkarakter adalah tujuan pendidikan; sehat jasmani dan rohani; keseimbangan jiwa dan raga.

Ranking bukan segalanya. Saya tidak pernah menuntut anak-anak untuk juara kelas. Prestasi akademik bukan satu-satunya penentu keberhasilan dan kebahagiaan seseorang kelak. Saya ingin anak-anak memiliki karakter yang baik. Sementara, anak-anak saya menceritakan teman-temannya dimarahi orangtua mereka karena ranking kelasnya turun. Mereka tanya kenapa saya tidak pernah marah soal ranking.

Variabel penentu ketercapaian tujuan pendidikan, persekolahan, dan pembelajaran di atas adalah mutu kelas, fasilitas belajar, gizi siswa, dan guru. Variabel satu dan lainnya saling melengkapi, tidak bisa dipisahkan, tetapi banyak pihak percaya bahwa yang paling utama adalah guru. Guru adalah kunci sukses pendidikan. Tujuan pendidikan akan mudah dicapai jika guru kompeten dan berkarakter —punya dedikasi dan integritas.

Mendidik merupakan tugas yang amat mulia tapi tidaklah ringan. Bukan sekedar mencerdaskan tapi menjadikan siswa berkarakter. Mencerdaskan akal sekaligus menguatkan hati. Mematangkan sikap seseorang lebih sulit dibanding mengajar pengetahuan. Karena itu, mendidik siswa dilakukan atas paduan kekuatan akal dan hati guru.

Karakter siswa yang perlu dikembangkan guru di sekolah adalah rendah hati, disiplin, mandiri, pembelajar, dan rasa ingin tahu. Dalam belajar dan bekerja, pintar saja tidak cukup, perlu kepribadian yang unggul. Menghargai pendapat orang lain, tidak sombong, rela berbagi, dan kerja sama, adalah sikap-sikap utama sebagai kunci sukses dalam hidup.

Mendidik dengan hati ditandai dengan komitmen pada profesi. Mengajar dengan penuh dedikasi. Jauh dari sikap cuek dan malas-malasan. Fokus pada mutu dan tidak materialistis. Meskipun hujan besar dan sakit ringan, ia tetap berangkat ke sekolah untuk mengajar. Ia mencintai profesinya melebihi pekerjaan yang lainnya.

David Booth dan Richard Coles (2017) dalam buku What Is a "Good" Teacher? menulis ciri guru yang baik adalah menikmati berada di tengah siswa, menjadi model bagi siswa, peduli, inovatif dan bertumbuh, dan berusaha terlibat dengan siswa.

Mendidik dengan teladan adalah metode paling efektif dalam pembentukan sikap. Kata-kata tanpa tindakan serupa hanya jadi abu. Tanpa teladan, guru tidak bisa meluruskan sikap siswa yang bengkok. Memukul siswa tidak baik, tetapi berbicara dengan lemah lembut sangat baik dan bisa mengubah siswa.

Sikap baik harus muncul dari guru. Siswa cermin dari guru dan orangtua. Guru baik melahirkan siswa yang baik. Ingin mengubah karakter siswa harus mengubah karakter guru terlebih dahulu. Juga kepala sekolah. Kepala sekolah yang baik akan menularkan kebaikan kepada guru, staf, dan siswa.

Guru yang baik tidak sering menggerutu dan mengkritik kelemahan siswa, manajemen, dan teman sejawat, tetapi mencari solusi dengan caranya sendiri. Guru yang baik menemukan solusi terbaik mengatasi kelemahan siswa dan mengembangkan kekuatan mereka. Rupal Jain (2013: 11) dalam buku How to be a Good Teacher, a Good Teacher Remains Cool and Calm in Unfavourable Situations as Well. Tidak ada sekolah yang 100 persen sangat nyaman, atau 100 persen sangat tidak menyenangkan. Guru yang baik berpikir apa yang bisa dan sudah saya berikan kepada sekolah.

Setiap guru memiliki rasa. Jadilah guru yang memiliki rasa yang baik dan cocok bagi mayoritas siswa. Guru tidak bisa menyenangkan semua siswa. Jika mayoritas siswa menyenangi guru, sisanya akan terpengaruh. Guru harus belajar bagaimana disenangi siswa. Memahami karakter dan kebiasaan siswa akan membantu tindakan apa yang saat menghadapi mereka.

Siswa itu sebagai bahan ibarat telur bebek dan guru ibarat pembuat telur asinnya. Nikmat dan tidaknya telur asin itu tergantung pembuatnya. Guru harus bisa mengolah keragaman siswa menjadi individu-individu yang memiliki keunikan masing-masing, sehingga siap mandiri menjalani kehidupan selanjutnya.

Saya tahu kualitas guru dari penjelasan anak-anak. Saya pikir setiap orangtua melakukan hal yang sama. Anak bisa membedakan mutu guru. Kualitas guru menentukan hasil belajar siswa. Motivasi belajar anak terhadap mata pelajaran yang sama bisa berbeda karena perbedaan kualitas gurunya. Karena itu, guru harus terampil, menyenangkan, dan menginspirasi siswa. Caranya belajar mandiri dan berkelanjutan.

Selain teladan dalam sikap, guru juga harus menjadi teladan dalam prestasi. Guru harus kreatif dan inovatif. Guru punya karya, opini, artikel, puisi, cerpen, novel, lukisan, lagu, dan apa saja yang menjadi keahlian guru selain mengajar. Siswa perlu bukti deretan inovasi dan kreatifitas guru. Guru pemalas tidak bisa menginspirasi siswa untuk maju dan sukses. Guru yang rajin berkarya berpeluang menginspirasi siswanya bahkan siswa lainnya di nusantara dan dunia ini. (mf)

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Global Islamic School 2 Serpong Publishing at Teacher’s Day 2018, Senin, 26 November 2018.