Membaca Quick Count Pilkada

Membaca Quick Count Pilkada

PESTA Pilkada Ser­e­n­­tak 2018 kini te­lah usai. Hiruk-pi­k­uk kampanye po­litik yang menyertai pun per­lahan mulai tiada. Secara umum pilkada yang ber­lang­sung di 171 daerah berjalan lan­car dan damai tanpa le­tup­an politik berarti. Tak seperti pre­diksi banyak pihak soal potensi kisruh akibat me­nge­rasnya politik identitas efek Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Sejumlah lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat (quickcount) pasangan calon ke­pala daerah yang diprediksi me­nang di pilkada. Pada level aku­rasi, hi­tung cepat biasanya tak jauh beda dengan hasil realcount  mau­­pun hitung manual KPU. De­­ngan catatan quickcount  yang di­la­kukan sesuai dengan kaidah il­miah, pengambilan contoh (sam­­­pling) TPS-nya tepat, kre­dibel, dan berintegritas. Dalam logika politik elek­toral, quickcount sebagai ba­gian partisipasi politik. Juga untuk meng­an­tisi­pasi potensi ke­cu­ra­ng­an dalam proses peng­hi­tungan suara di level bawah. Samuel Huntington (1976) menyebut partisipasi sema­cam ini sebagai partisipasi non­konvensional untuk terlibat dalam setiap proses demokrasi elektoral guna memengaruhi hasil pemilihan yang jujur, adil, dan transparan. Rakyat bisa ter­­libat langsung (civic enga­ge­ment) tanpa harus mewakilkan sikap politiknya kepada pihak lain. Praktiknya quickcount  tak semudah membalik telapak tangan, tetapi harus melalui serangkaian prosedur cukup njelimet. Dalam UU Pilkada di­se­but­kan bahwa semua pihak yang melakukan hitung cepat harus mendaftarkan diri ke KPU serta menjelaskan soal me­todologi yang digunakan, sumber dana, netralitas, serta tidak menguntungkan atau merugikan pihak lain.

Rakyat juga berhak me­ng­adukan ke KPU jika merasa di­ru­gikan dengan hasil hitung ce­pat yang dilakukan lembaga sur­vei.  Jika ditemukan kejang­gal­an seperti manipulasi data, ti­dak netral, dan merugikan pi­hak lain, KPU berhak mem­be­ri­kan sanksi berupa pernyataan tidak kredibel, peringatan, atau larangan melakukan ke­giat­an penghitungan cepat sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat 3 UU Pilkada.

Hasil Sementara  Untuk mengantisipasi ta­wur­an opini, UU Pilkada secara tegas menginstruksikan kepa­da lembaga survei untuk me­ngumumkan bahwa quickcount  yang mereka lakukan bukan hasil resmi penghitungan KPU. Sebab itu rilis hitung cepat lem­baga survei hanya bisa di­mak­nai sebagai gambaran awal peta pemenang di pilkada. Se­men­tara keputusan final me­ru­pa­kan kewenangan eksklusif KPU melalui hitung manual yang akan diumumkan Juli men­datang. Pada tahap ini menjadi re­le­van menarasikan hal subs­tan­sial quickcount  yang semata alat bantu untuk mengetahui hasil perolehan sementara pilkada. Meski ada celah terjadinya hu­man error, pada galibnya hitung cepat dengan metode ilmiah kre­dibel hasilnya, tak jauh ber­beda dengan hasil akhir peng­hitungan resmi KPU. Meski begitu, atas nama sta­bilitas, pihak yang menang versi quickcount  semestinya ti­dak melakukan selebrasi po­li­tik apa pun. Terutama daerah dengan selisih suara tipis se­per­ti di Jawa Barat. Secara etis, lembaga sur­vei maupun pasa­ng­an calon “tidak berhak” men­de­kla­ra­si­kan k­emenangan hing­ga ada keputusan akhir dari KPU. Di Pilkada Jabar pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu (Asyik) juga mengklaim me­nang serta menolak keung­gul­an Ridwan Kamil dan Uu Ru­zha­nul Ulum (Rindu) versi quic­kcount  sejumlah lembaga. Pada level ini semua pihak ha­rus mam­pu menahan diri un­tuk ti­dak berebut ke­me­na­ng­an. Ber­beda konteksnya de­ngan dae­rah yang perolehan sua­ranya terpaut jauh seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Su­matera Utara, klaim me­nang bisa dilakukan. Tentu de­ngan selebrasi yang tak ber­lebihan. Sengketa Pilkada Ke depan, jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan hasil pilkada, mereka bisa me­ngajukan sengketa pemilihan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan ketentuan prosedur baku yang menjadi standar pe­ng­ajuan sengketa. Salah satu­nya soal ketentuan selisih mak­simal perolehan suara yang disengketakan. Jika tak me­me­nuhi unsur itu, MK akan me­nolak gugatan sengketa pil­ka­da, baik dari partai politik mau­pun dari pasangan calon.

Pasal 158 UU Pilkada me­nyebutkan untuk Pilkada Pr­o­vinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, persentase se­li­sih suara yang bisa diajukan ke MK maksimal 1,5%. Jumlah pen­duduk 6 juta hingga 12 juta seli­sih suara maksimal 1%. Se­men­ta­ra provinsi dengan jum­lah pen­duduk di atas 12 juta, selisih suara yang bisa di­seng­ketakan mak­simal setengah persen (0,5%). Ketentuan serupa berlaku untuk pemilihan bupati dan wali kota. Daerah dengan jum­lah penduduk 250.000 jiwa, sya­rat selisih suaranya mak­si­mal 2%. Adapun daerah de­ngan pen­duduk 250.000 hing­ga 500.000, persentase selisih sua­ra mak­si­mal 1,5%. Daerah ber­penduduk 500.000 hingga 1 juta jiwa, seli­sih suara 1%. Se­men­tara daerah dengan pendu­duk di atas 1 juta jiwa, selisih suara maksimal se­te-ngah per­sen (0,5%). Kewenangan MK tak sekuat da­hulu kala yang bisa me­nye­lidiki terjadinya pelang­garan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang ber­im­plikasi pada sanksi terhadap pe­laku berupa peringatan hing­ga diskualifikasi kandidat. Kini kewenangan menyelidiki pe­lang­garan dengan unsur TSM masuk domain Bawaslu. Demokrasi kian maju. Jika ada sengketa pemilihan serta kekecewaan terkait segala hal yang berkaitan dengan pilkada mesti diselesaikan dengan jalur konstitusional. Tak perlu lagi menggunakan cara jahi­liah se­perti merusak fasilitas pu­blik mau­pun upaya anar­kis­tis lainnya. Di atas segalanya, Pilkada Se­rentak 2018 banyak me­la­hir­kan wajah-wajah baru de­ngan rekam jejak menjanjikan. Sebut saja misalnya Ridwan Kamil kerap didapuk sebagi sa­lah satu kepala daerah sukses yang memimpin Kota Ban­dung. Khofifah Indar Para­wan­sa dikenal sebagai sosok ber­sahaja dan sukses sebagai men­teri sosial Kabinet Kerja Jo­ko­wi. Begitu pun dengan Emil Elestianto Dardak yang masih muda penuh dedikasi. Di luar Jawa ada Zul­kie­fli­man­syah yang didaulat me­nang di NTB. Ia doktor lu­lus­an kampus ternama Inggris, man­tan anggota DPR dua pe­riode, serta pendiri Kampus Uni­versitas Teknologi Sum­ba­wa. Profesor Nurdin Abdullah di Sulawesi Selatan dikenal se­bagai sosok bersih yang ma­tang secara akademik. Sukses sebagai bupati 2 periode Ka­bupaten Bantaeng. Sepintas lalu, jika melihat figur baru pemenang pilkada, arah pembangunan daerah jauh lebih menjanjikan. Seti­dak­nya rekam jejak mereka re­latif bersih jauh dari anasir korupsi. Meski masih tersisa sedikit noda soal kemenangan kepala daerah tahanan KPK, semua pihak harus yakin bah­wa pasti ada cahaya di ujung te­ro­wongan untuk membenahi bangsa ini.

Adi Prayitno

Penulis adalah Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen FISIP UIN Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom opini Koran SINDO, Senin 2 Juli 2018. (lrf/zm)