Masyarakat Kota dan Hoaks

Masyarakat Kota dan Hoaks

Kehebohan Jagad sosial kita akhir-akhir ini diwarnai oleh hoaks. Hoaks adalah berita atau informasi bohong. Jika sedikit dikuantifikasi, hoaks banyak diproduksi dan beredar pada (masyarakat) kota.

Pertanyaannya, mengapa masyarakat kota yang literasi pendidikan dan teknologinya cukup tinggi justru menjadi produsen sekaligus konsumen hoaks? Tentu hoaks bukan “barang baru” dalam kebudayaan informasi kita.

Dulu kita mendengar ada “culik” yang akan mengambil anak-anak jika waktu magrib belum kembali ke rumah. Para “culik” ini akan mengambil anak-anak untuk “tumbal” pembangunan –yang saat itu juga sedang gencar-gencarnya dilakukan rezim Orde Baru.

Tulisan ini ingin melakukan refleksi sederhana atas fenomena hoaks yang terjadi dan seperti disediakan karpet merah oleh kalangan kelas menengah atas.

Jika kita petakan dari aspek produsen, hoaks bisa dipilah. Pertama, hoaks yang diproduksi karena iseng dan kreativitas yang kurang tersalurkan secara positif. Hoaks seperti ini umumnya dilakukan karena iseng, atau motif lain yang sangat sederhana, seperti ingin dapat perhatian.

Kedua, hoaks yang dipabrikasi karena ada pemesanannya. Hoaks jenis ini dirancang, dibuat, direncanakan, bahkan dianalisis dampak kehadirannya. Hoaks jenis ini dilakukan bisa karena untuk menyerang lawan (politik, bisnis, dan sebagainya) atau menigkatkan citra seseorang. Dengan kata lain, hoaks ini didesain untuk mengantarkan kepentingan seseorang dalam merealisasikan niatnya.

Dalam konteks hoaks ini respon masyarakat kota pun beragam. Mereka yang aktif menyebarkan melalui metode copy paste, lalu yang biasa saja, dan yang pasif. Mereka yang aktif, jika menggunakan kacamata sosiologi, dikarena mereka terwakili dengan “pesan” yang ada konten hoaks tersebut. Sedangkan yang biasa saja, karena bagi mereka informasi tersebut tidak terlalu penting.

Adapun yang pasif, biasanya karena banyak hal. Seperti tidak menjadi bagian dari isu. Atau memang sudah mengetahui, info seperti itu bisa jadi berkonten kepalsuan alias hoaks.

Apakah hoaks bisa dihentikan? Jika melihat sejarah dan sistem kebudayaan kita. Jelas hoaks merupakan bagian dari keseharian. Sistem produsi hoaks hadir karena banyak hal, seperti hukum besi demand and supply –jelas akan melanggengkan hoaks.

Selain itu, dan ini yang sifatnya batin. Budaya masyarakat kitapun ikut memberikan ruang kepada tumbuh kembang hoaks ini. Kemalasan kita memverifikasi informasi, keseringan meng-copy paste informasi tanpa membaca lebih dahulu. Dan kemudahan teknologi yang ada dalam genggaman, dan mungkin karena waktu luang untuk produktif kita tidak optimal menyebabkan kita mudah mereproduksi hoaks.

Celakanya, banyak prposes reproduksi hoaks dilakukan oleh seseorang yang memiliki kualifikasi akademik dan jurnalistik, padahal keduanya adalah sosok yang sejatinya harus ketat menyebarkan informasi. Bahkan kelompok ini, pada informasi yang valid saja memiliki kredo tidak percaya atau “selalu meragukan sesuatu,” apalagi pada informasi yang tidak, atau belum jelas.

Jika demikian, hoaks itu terjadi karena dimulai dari pikiran. Hoaks dipikiran beda dengan ide. Ide memiliki kekayaan imajinasi dan kekuatan metodis untuk diwujudkan, sehingga ide memiliki keketatan proses sebelum dia bisa menjadi sebuah produk yang layak dikonsumsi banyak orang. Setiap perubahan sosial di masyarakat terjadi karena ide ini, sedangkan hoaks dihasilkan oleh kedangkalan pikiran atas proses. Keinginan segera menuai hasil, berakibat “mengahalalkan” tata cara alami, yang sejatinya merupakan bagian keindahannya. Bahkan bisa jadi, sejak masih dalam pikiran, hoaks itu sudah diproses sebagai hoaks. Karena memang dimaksudkannya demikian.

Masyarakat kota sejatinya, meski berat, harus menelaah ulang pikiran-pikiran hoaks mereka. Sebab kota saat ini kebudayaan masyarakat. Teknologi secanggih apapun, tidak akan kuat membendung hoaks, jika proses produksi dan reproduksi hoaks dalam pikiran tidak dihentikan. (mf)

Tantan Hermansah SAg MSi, Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Bidang Ilmu Sosiologi Pedesaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Sumber Koran Rakyat Merdeka, Edisi Rabu 10 Oktober 2018