Masjid dan Gerakan Anti-Radikalisme Agama

Masjid dan Gerakan Anti-Radikalisme Agama

Penguasaan dan perebutan masjid oleh beberapa kelompok keagamaan radikal dan fundamentalis atas masjid-masjid NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat Islam lainnya sudah terjadi sejak 15 tahun belakangan ini dan terus berlanjut hingga sekarang. Kelompok fundamentalis-radikal-ekstremis telah melakukan “kudeta merangkak” atas paham dan amalan kegamaan masyarakat Islam Indonesia yang telah dilakukan sejak lama.

Dengan sikap merasa paling benar sendiri, mereka dengan mudahnya menuduh orang lain sebagai pelaku bidah, khurafat, syirik, dan bahkan sampai melontarkan tuduhan kafir. Hal demikian telah mengakibatkan perselisihan sampai perkelahian di kalangan jemaah. Di beberapa daerah, baru saja terjadi perkelahian antara jemaah di masjid akibat perebutan rumah Tuhan ini. Jika terus dibiarkan, maka berakibat terjadinya konflik. Bukan saja pertikaian antarmasyarakat dapat terjadi, tetapi juga akan menggerus budaya dan kekhasan Islam Indonesia.

Dalam konteks negara-bangsa, gerakan kelompok ‘salafi-wahabi’ ini berbahaya bagi Indonesia. Dari masjid-masjid yang dikuasai kelompok radikal-fundamentalis ini, mereka mendakwahkan ajaran keagamaan yang anti terhadap kebangsaan dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Mereka menolak konsep ke-wilayahan suatu negara. Bagi mereka yang penting adalah ‘ummah’ yang merujuk pada satu kesamaan keagamaan yang tidak tersekat pada letak geografis negara di mana ‘ummah’ itu berada.

Ceramah yang disampaikan oleh para dai asal Saudi Arabia melalui radio dan televisi milik mereka hanya berisikan kritik dan tuduhan syirik yang imbalannya neraka jahanam atas praktik keislaman umat Islam Indonesia. Para penceramah yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan tidak paham sama sekali budaya Indonesia mendikte umat Islam Indonesia bagaimana seharusnya beragama yang baik itu. Cara-cara seperti ini tidak akan terjadi jika kita tidak menganggap diri yang paling benar menerapkan Alquran dan Hadis secara kafah.

Dalam konteks kenegaraan, kelompok ektremis tersebut dengan berani terang-terangan menolak hormat bendera Merah-Putih, tidak mau menyanyikan Indonesia Raya, dan tidak mengakui Pancasila sebagai falsafah negara. Tetapi, untuk ‘berlindung dan menarik simpati,’ mereka menggunakan simbol Polri dan TNI dalam acara-acara ceramah keagamaan mereka. Tidak jarang, tempat dakwah mereka diadakan di kantor-kantor kementerian dan pemerintah daerah. Beberapa iklan kelompok ini tersebar di media sosial dengan begitu mudahnya.

Dengan kenyataan seperti itu, maka untuk menangkal paham keagamaan radikal dan fundamentalis seperti itu diperlukan usaha bersama mempertahankan masjid-masjid dari penguasaan dan perebutan kelompok salafi-wahabi itu. Program-program kreatif masjid harus dilakukan seiring dengan pembenahan tata-kelola masjid yang lebih professional dan modern. Namun, yang lebih penting adalah pengkaderan dan pelatihan para imam, khatib, dan dai yang akan menjadi penggerak (muharrik) masjid-masjid di daerahnya masing-masing.

Pelatihan para imam, khatib, dan dai ini telah dilakukan oleh berbagai ormas keagamaan, seperti NU dan Muhamadiyah, bahkan MUI. Ambil contoh, apa yang dilakukan oleh PBNU melalui Lembaga Ta’mir Masjid (LTM) dan Lembaga Dakwah (LD) yang kini sedang aktif melakukan pelatihan para imam dan khatib masjid di seluruh Indonesia. Para peserta diajarkan bukan saja keilmuan dasar Islam, tetapi juga amalan keseharian umat Islam Indonesia yang telah menjadi bagian budaya Indonesia, seperti tahlilan, barjanji, maulidan, selametan pernikahan, sunatan, dan kematian, serta lainnya.

Materi yang paling penting dari pelatihan itu adalah materi, pertama, tentang keislaman, yaitu Islam Moderat seperti tercermin di dalam gagasan besar NU dalam Islam Nusantara; kedua, tentang kenegaraan dan kebangsaan, yaitu setia pada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Nasionalisme yang ditumbuhkan di dalam pelatihan ini bagi para imam dan khatib akan menjadikan mereka penggerak masjid yang nasionalis. Oleh karena itu, negara harus berterima kasih kepada usaha-usaha pencerdasan para imam dan khatib yang dilakukan oleh NU.

Kekuatan dan kekokohan bangunan nasionalisme dan kesatuan wilayah Indonesia itu berangkat masjid-masjid di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, jika ingin melawan anti-ektremisme agama, maka harus diperkuat masjid-masjid tersebut. Penguatan masjid itu dapat dilakukan melalui pelatihan penggerak masjid di daerah masing-masing. Masjid harus menjadi pusat gerakan Islam Indonesia yang damai dan toleran.

Pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya harus memerhatikan upaya dan usaha yang telah dilakukan oleh NU. Kerjasama BNPT, Polri, dan TNI dengan organisasi masyarakat keislaman seperti NU harus dilanjutkan guna menjaga masjid-masjid kita dari serbuan paham radikalisme, fundamentalisme, dan ektremisme keagamaan. (mf)

Dr Ayang Utriza Yakin MA, Dosen Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta