Makhluk Peziarah

Makhluk Peziarah

Oleh: Komaruddin Hidayat

[caption id="attachment_8220" align="alignleft" width="300"]Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat[/caption]

Hidup itu gerak. Ke mana pun mata memandang selalu melihat manusia bergerak, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok.

Ketika seseorang terlihat diam atau tidur pun dalam dirinya berlangsung prosesi dan peristiwa gerak, utamanya jantung dan pernafasan. Juga pikiran dan emosinya. Betapa kompleks dan sibuknya organ-organ tubuh kita yang tak pernah diam. Sejak dari mata, jari, mulut, kaki, tangan, semuanya tak pernah diam.

Terlebih emosi, yang terdiri atas kata energy and motion—sebuah daya jiwa yang selalu bergerak dan menggerakkan, sehingga menimbulkan perasaan suka dan duka, senang danbenci, sertasekianbanyak perasaan lain yang setiap saat hadir, di mana pun seseorang berada. Bahkan tanpa kita sadari bumi tempat kita berada ini juga selalu dalam posisi bergerak.

Bertawaf mengelilingi matahari. Kuriositas (curiosity ) atau dorongan untuk selalu ingin mengetahui hal-hal baru merupakan ciri manusia. Dorongan ini difasilitasi oleh mata, telinga, dan kaki sehingga setiap ada kesempatan seseorang selalu ingin berziarah, jalan-jalan, rekreasi, atau berpetualang memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya.

Pengalaman artinya sesuatu yang pernah dijalani, dirasakan, dan diketahui. Dalam pengembaraan ini faktor imajinasi sangat besar pengaruhnya. Sekian banyak inovasi sains dan teknologi supermodern pada awalnya distimulasi oleh kekuatan imajinasi manusia yang tak ada batasnya. Makanya, dalam sejarah pemikiran manusia dikenal istilah mitos dan logos.

Mitos merupakan sebuah daya khayal manusia yang sangat liar dan bebas tak terstruktur. Manusia bebas membayangkan dan mengkhayalkan apa saja. Dulu orang membayangkan jalan-jalan ke angkasa mengendarai karpet. Orang Jawa membayangkan Gatotkaca terbang ke angkasa. Lalu Ontorejo bisa menghilang masuk ke bumi.

Seiring dengan perjalanan dan pengalaman panjang hidup manusia yang disertai daya nalar yang logis, maka logos berusaha menstrukturkan daya-daya imajinasi yang liar itu agar bisa diwujudkan dalam realitas empiris.

Logos ini pada urutannya melahirkan formula ilmu pengetahuan sehingga imajinasi tentang karpet terbang atau Gatotkaca jalan-jalan ke angkasa sekarang tergantikan oleh pesawat terbang berkat dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu pun sosok imajinasi Ontorejo masuk dan menghilang ke perut bumi, sekarang diperankan oleh para insinyur pertambangan untuk berburu tambang di dalam perut bumi atau para penyelam lautan mencari mutiara.

Manusia melakukan ziarah karena berbagai motif dan pertimbangan. Ada motivasi bisnis, rekreasi, keilmuan, tugas negara, riset, dan motif lain. Yang sangat fenomenal adalah ziarah ke planet lain. Namun, sesungguhnya tanpa kita sadari kita semua hampir setiap hari melakukan ziarah, bertemu orang lain dan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru.

Terlebih mereka yang hidup di kota metropolitan, sering kali berjumpa kenalan dan komunitas baru, termasuk komunitas berbeda profesi, agama, budaya, dan bahasa. Semua pengalaman itu pasti memperkaya wawasan hidup seseorang. Ada pula yang membuat gelisah setelah melihat komunitas lain yang lebih maju, membuat seseorang menjadi iri, rendah diri, ataupun sebaliknya menjadi terpacu untuk mengejar ketertinggalannya.

Ketika kita mempelajari sejarah dan ilmu bumi, sesungguhnya kita juga tengah berziarah ke masa lalu dan jalanjalan secara virtual ke negara orang untuk mengenal alam dan budayanya. Dengan semakin banyak stasiun televisi, semakin banyak sajian acara yang mengajak pemirsa untuk berziarah, berwisata, dan istilah lain yang spirit dan maknanya sama.

Implikasi sosial lebih jauh, sekarang ini apa yang dahulu disebut ”budaya asli” suatu masyarakat, lamalama tak bisa lagi dipertahankan karena muncul budaya hibrida dan eklektik. Campuran, perjumpaan, asimilasi, dan integrasi dari berbagai elemen budaya yang berbeda-beda. Termasuk juga budaya yang bernuansa agama.

Misalnya tradisi perayaan tahun baru Masehi, yang awalnya bagian dari budaya Barat-Kristen, sekarang telah menjadi agenda tahunan di lingkungan masyarakat Islam. Begitu pun Valentine Day. Sebaliknya, umat nonmuslim juga telah akrab dan partisipasi ikut memeriahkan hari-hari besar Islam, utamanya Idul Fitri.

Dunia semakin pendek jaraknya dan mudah dijangkau. Sekaligus juga semakin plural dan warna-warni. Jumlah penduduk bumi bertambah setiap menit. Artinya, objek ziarah budaya juga semakin banyak yang menarik dikunjungi. Secara teologis, hidup ini pun sebuah ziarah.

Namun ziarah bukan sekadar rekreatif, melainkan dengan visi dan misi yang mulia. Yaitu memakmurkan bumi, menyejahterakan sesama makhluk Ilahi yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban Tuhan di akhirat nanti.

Penulis adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Tulisan dimuat dalam Kolom Opini SINDO, Jumat 4 September 2015