Kota dan Kewirausahaan Sosial

Kota dan Kewirausahaan Sosial

Ada banyak model usaha/bisnis yang berkembang di Indonesia. Mulai dari yang sifatnya warisan dari orang tua, replikasi dari usaha lain yang sudah terlebih dahulu ada, atau yang murni berjuang dan berusaha mulai dari bawah atau nol. Dari model-model di atas, kita bisa membaginya lagi menjadi dua kategori besar, yaitu mereka yang berorientasi kepada keuntungan semata, dan mereka yang berbisnis, sekaligus memberdayakan orang lain.

Tentu saja setiap bisnis dari dua kategori besar di atas memiliki sejarahnya masing-masing. Maka dari itu, tidak sepantasnya disimpulkan bahwa bisnis berbasis warisan, misalnya, aspek pengelolaannya jauh lebih mudah daripada yang barus diuji coba di hadapan kedigdayaan pasar. Atau sebaliknya, bisnis yang baru lebih mudah karena bisa dieksplorasi lebih bebas ketimbang yang sudah mapan dan memiliki pakem usaha atau perusahaan yang ketat, dan sebagainya.

Tulisan ini akan menelaah tentang kewirausahaan di Indonesia, khususnya yang berdimensi sosial atau popular sebagai sosial entrepeneurship. Sebagai gambaran, saat ini fokus kita mengenai bisnis, selalu mengarah pada satu lokus saja: bisnis kapitalistik, atau yang semata-mata berkubang pada mengakumulasikan keuntungan semata.

Sosok Sosial Entrepreneurship

Dalam praktik, bisnis yang juga berorientasi pada penguatan dan pemberdayaan cukup banyak. Misalnya bisnis lembaga pendidikan seperti pesantren. Meski ada proses mencari keuntungan, namun aspek memberdayakannya kadang jauh lebih besar daripada keuntungan dari prosesnya tersebut. Di sisi lain, bisnis yang memberdayakan juga bisa menjadi salah satu bentuk proses demokratisasi ekonomi.

Kewirausahaan sosial didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh para entrepreneur sosial . Adapun “social entrepreneur is someone who recognizes a social problem and uses entrepreneurial principles to organize, create, and manage a venture to make social change. Whereas a business entrepreneur typically measures performance in profit and return, a social entrepreneur focuses on creating social capital. Thus, the main aim of sosial entrepreneurship is to further sosial and environmental goals” (Wikipedia); atau “Social entrepreneurs often seem to be possessed by their ideas, committing their lives to changing the direction of their field. They are both visionaries and ultimate realists, concerned with the practical implementation of their vision above all else” (Ashoka).

Para pelaku sosial entrepreneur bisa dilihat sebagaimana para wirawastawan lain yang sebagai Timmons dan Spinelliv (dalam V. Winarto) membuat pengelompokan yang diperlukan untuk tindakan kewirausahaan dalam enam (6) hal, yakni: (1). Komitmen dan determinasi; (2). Kepemimpinan; (3). Obsesi pada peluang; (4). Toleransi pada risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian; (5). Kreativitas, keandalan, dan daya beradaptasi; dan (5). Motivasi untuk unggul.

Jika menggunakan kerangka entrepreneurial, ada empat model bisnis yang berkembang di sebuah Negara maju, yaitu: Pertama, model government entrepreneur. Model bisnis seperti ini adalah tipikal bisnis yang diusahakan oleh orang-orang yang aktif di pemerintahan, dan bahkan dalam beberapa hal mereka menyokong proses politik. Kedua, academic entrepreneur. Yakni model bisnis yang dikelola oleh perguruan tinggi, dengan mengandalkan skill dari perguruan tinggi tersebut. Ketiga, company entrepreneur, adalah model bisnis yang dikelola dalam bentuk perusahaan. Company entrepreneur di Indonesia bisa dibagi menjadi dua bentuk, yakni model badan usaha milik Negara baik pusat atau daerah, dan perusahaan swasta. Keempat, Sosial entrepreneur. Yakni model bisnis yang keuntungannya dikembalikan dalam bentuk investasi sosial.

Sebagai contoh nyata adalah model atau bentuk-bentuk sosial entrepreneurship yang diinisiasi oleh kaum muda, yang terletak di wilayah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Bisnis ini digeluti oleh kebanyakan kaum muda, dengan modal utama kreativitas. Sehingga mereka disebut sebagai pelaku industri atau ekonomi kreatif.

Mengapa mereka layak menyandang sebagai pelaku wirausahawan sosial?

Jika dilihat dari aspek epistemologis, misalnya. Wirausahawan sosial muda ini lahir karena cara pandang mereka tentang dunia sosial mereka yang berbeda. Misalnya ketika institusi perguruan tinggi menyuguhkan sistem pendidikan yang menyiapkan mereka sebagai pekerja, mereka justru keluar dari mainstreaming itu. Meski banyak dari mereka yang mampu untuk menjadi pekerja, tetapi mereka lebih memilih jalur terjal dan mendaki daripada jalan mulus dan datar.

Salah satu pilihan yang bisa tepat adalah menjadi pengusaha atau pebisnis. Namun karena naluri masa mudanya, kecenderungan kapitalistik—yang bertumpu pada definisi popular yakni “mendapat untung sebesar-besarnya dari modal sekecil-kecilnya”—bisa dikatakan masih kecil. Bahkan beberapa bisnis yang mereka bangun didasarkan kepada modal sosial saja, yakni kepercayaan. Berangkat dari sini, mereka membangun berbagai macam usaha itu memiliki implikasi memberdayakan. Faktor ini yang kemudian bisa diidentifikasi sebagai kepedulian sosial dalam usaha mereka.

Kemudian dilihat dari aspek manfaat atau aksiologisnya pun tidak kalah besar. Sebagai contoh modus ekonomi kreatif saja saat ini sudah melibatkan 5,7 juta pekerja se-Indonesia (Kemendag, 2008). Itu hanya yang dari ekonomi kreatif. Bagaimana jika mereka yang bekerja di lembaga-lembaga sosial. Jumlah ini bisa meningkat 3 sampai 4 kalinya.

Demokratisasi Ekonomi

Di sisi lain, tumbuhnya wirausahawan muda ini bisa menjadi salah satu cermin berkembangnya apa yang dulu digagas oleh para pendiri bangsa ini sebagai demokrasi ekonomi atau tataekonomi yang berkeadilan. Konsep ekonomi berkeadilan yang tercermin pada terbukanya peluang dan akses bagi siapapun yang mau berusaha di arena ini.

Ekonomi yang berkeadilan merupakan derivasi dari konsep Pancasila tentang keadilan sosial. Konsep ini kemudian diterjemahkan sebagai ekonomi kekeluargaan. Namun demikian, seperti kita saksikan bahwa praktiknya tidak berjalan demikian. Orde Baru dikenal sebagai rejim yang menderivasikan kekuasaan dalam kebijakan ekonomi trickle down effect dengan modus membesarkan konglomerat yang jumlahnya sangat terbatas. Sementara rakyat sisanya, dibiarkan bertarung pada arena yang mereka siapkan.

Era reformasi kemudian membuka ruang lebih banyak, terutama menyangkut inovasi, kreasi, dan tatanan relasi ekonomi. Dari sini muncul kaum muda yang kebanyakan alumni perguruan tinggi, melakukan upaya untuk menjadi pelaku-pelaku usaha baru. Mungkin secara asset belum sebesar konglomerat zaman Soeharto. Namun demikian, usaha mereka jauh lebih membumi karena tidak lagi didasarkan pada konsep tetesan air ke bawah.

Arah Kebijakan

Melihat kontribusi dan dampaknya yang besar pada masyarakat, sejatinya pemerintah berani menata ulang dasar-dasar perekonomian bangsa ini. Jika selama ini stabilitas makro ekonomi sudah terjaga dengan baik, sudah saatnya sektor riil ini diseriusi. Terutama sektor ril yang memiliki dampak sosial-antropologis yang besar. Sebab selama ini, sektor tersebut tidak pernah dianggap sektor serius.

Langkah-langkah strategis yang bisa ditempuh antara lain adalah: Pertama, melakukan penataan ulang atas struktur APBN. Jika selama ini diarahkan untuk menjaga stabilitas makro-ekonomi, sekarang membalikkan itu ke arah sektor ril, dengan tujuan untuk menciptakan kelompok-kelompok usaha baru, yang sudah terbukti tidak kalah tangguh dengan modus bisnis dengan asset besar; Kedua, kebanyakan bisnis-bisnis yang berdimensi kewirausahaan sosial selama ini tumbuh tanpa bimbingan-bantuan, dan capacity building dari pemerintah. Padahal, kontribusi mereka sangatlah tinggi. Sehingga ke depan, alokasi APBN antara lain untuk melakukan pendampingan-pendampingan ini. Misalnya mengintegrasikan mereka pada sistem perbankan, sehingga modal mereka semakin besar.

Ketiga, memasukkan sosial entrepeneurship sebagai platform baru gerakan sosial masyarakat dan bangsa ini. Dan tentu saja ini tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak, tetapi semua pihak. Relasi tiga pihak ini lazim disebut troika, yang secara piramidal bisa dilihat dalam gambar berikut:

Gambar di atas menjelaskan kepada kita relasi yang harus dilakukan oleh ketiga pihak dalam troika, menyangkut kewirusahawan sosial. Di mana, masing-masing pihak berkomitmen untuk sama-sama menjadikan wirausaha social sebagai landasan bisnis dan bahkan kehidupannya. Sebaliknya mereka yang sudah berada dalam proses bisnis berbasis sosial entrepreneurship, jangan juga melupakan ketiga pihak yang sangat berhubungan erat dengan apa yang mereka lakukan.

Relasi yang seimbang, saling mengisi, dan berkeadilan, akan menjadikan pilihan wirausahawan sosial sebagai basis untuk memberikan kesejahteraan sosial kepada masyarakat, relatif bisa dicapai lebih mudah. Hal ini terjadi karena dalam wirausahawan social, modal yang dimiliki entitasnya cukup besar dan banyak. Sehingga upaya yang perlu berbebesar hati untuk dilakukan adalah mensinergikan antara kepentingan ketiga pihak dengan para pelaku.

Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam FIDKOM UIN Jakarta; Pengampu Mata Kuliah Sosiologi Perkotaan. Sumber: https://kumparan.com, Minggu, 6 September 2020. (mf)