Komunikasi Penantang Jokowi   

Komunikasi Penantang Jokowi  

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari diplomasi batik ala Prabowo-SBY.

Komunikasi politik yang dibangun oleh ragam kekuatan dalam proses kandidasi Pemilu Presiden (pilpres) 2019 memasuki fase menentukan. Setelah cukup lama dibuat cair, dinamis, dan berpola asimetris, perlahan tapi pasti kekuatan mengonsolidasikan diri hanya di dua poros.

Peluang pertandingan ulang antara Jokowi dan Prabowo semakin terlihat nyata dari ragam indikasi yang mengemuka belakangan. Silaturahim politik Prabowo ke kediaman SBY di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (24/7) malam, menjadi penanda ke mana bandul politik Demokrat mengarah. Setelah menjajaki komunikasi dengan Jokowi gagal membentuk chemistry, sepertinya Demokrat kini mulai mantap untuk berada di barisan penantang Jokowi.

Diplomasi batik

Menarik memaknai komunikasi SBY-Prabowo di panggung silaturahim mereka. Komunikasi verbal ataupun nonverbal elite biasanya dihadirkan dalam konteks yang beragam dan sengaja dikonstruksi multimakna. Fenomena ini harus dipahami sebagai bagian dari karakteristik komunikasi politik, yang oleh Robert E Denton dan Gary C Woodward, dalam bukunya Political Communication in America (1990), sebagai upaya bertujuan dari pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.

Hal seperti ini lumrah digunakan sebagai cara menguji reaksi calon kawan dan lawan, perang urat syaraf, sekaligus cara elite memersuasi khalayak melalui manajemen isu di berbagai kanal komunikasi yang memapar banyak pihak. Tentu SBY dan Prabowo sangat menyadari bahwa manuvernya akan jadi bahan pihak lawan untuk membaca peta politik guna mengintip peluang serta mengatur posisi yang tepat, di tengah konstelasi pola komunikasi politik yang masih berpotensi acak.

Saat silaturahim, baik Prabowo maupun SBY kompak menggunakan batik dengan warna senada. Sepertinya sedang dikonstruksi makna simbolis dalam konteks panggung depan mereka bahwa mereka berupaya menghadirkan pemahaman bersama, tautan hubungan antarpribadi yang mencoba saling memahami, serta berkomitmen pada kesepakatan bersama sebagai ujung dari proses berkomunikasi. Meta komunikasi dari pilihan pesan melalui batik berwarna senada dan kompak digunakan bersama, yakni keinginan kuat membangun kongsi menantang Jokowi.

Ini diteguhkan oleh narasi yang dilisankan oleh SBY. Ia kembali menggarisbawahi perlunya kerja sama politik yang memosisikan semua pihak sama dan diajak bicara. Di beberapa bagian, SBY secara halus menyelipkan banyak pesan yang mengandung muatan kritik pada Jokowi. Meskipun dibalut dengan diksi dan gaya bahasa terukur serta manajemen privasi komunikasi khas SBY yang kerap mengambangkan pesan untuk dimaknai secara polisemik oleh khalayak luas.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari diplomasi batik ala Prabowo-SBY. Pertama, secara lisan kedua belah pihak belum menyatakan secara tegas dan jelas membangun koalisi menantang Jokowi. Komitmen sementaranya adalah mereka akan mengintenskan komunikasi melalui tim kecil guna mengurai sejumlah hambatan dalam kesepakatan, terutama saat bicara figur yang akan mendampingi Prabowo.

Tetapi seungguhnya, jika dibaca dari pendekatan stuktur peluang, pertemuan SBY-Prabowo menegaskan sinyal kuat pada 2019 mereka akan bersatu. SBY dan Demokrat mengalami masa sulit pada Pemilu 2014, saat kehilangan figur di atmosfer pencapresan, dan posisinya mengambang karena tak ikut salah satu kubu yang bertarung. Hasilnya, suara Partai Demokrat berkurang signifikan. Tentu, realitas ini dibaca sebagai pengalaman penting bagi Demokrat dalam memosisikan diri pada 2019.

Kedua, dalam pertemuan tersebut, belum menyebut nama figur cawapres yang akan mendampingi Prabowo. Bahkan, pernyataan Prabowo saat jumpa pers justru membuka peluang kemungkinan AHY dan Partai Demokrat untuk duduk bersama dengan partai-partai calon mitra lainnya, yakni PKS dan PAN tanpa menutup peluang alternatif-alternatif nama di luar AHY. Pesan ini jelas, memberi sinyal bagi PKS, bahwa Prabowo tak ingin dikesankan sedang meninggalkan mitra paling potensialnya sejak lama.

PKS dalam kandidasi kali ini tampak menaikkan posisi tawar mereka, dengan sikap posesif pada nama-nama yang berasal dari kadernya untuk menjadi pendamping Prabowo. Kekecewaan PKS dapat berdampak pada konstelasi penantang Jokowi. Jika mereka tak bisa menyatukan ego sektoralnya masing-masing, komunikasi politik yang sudah dirintis sejak lama, termasuk melalui diplomasi batik ini, tak akan banyak membantu mengonsolidasikan kekuatan.

Diplomasi jamuan

Di kubu Jokowi melalui diplomasi jamuan santap malam bersama enam petinggi partai pendukung di Istana Presiden Bogor, Senin (23/7), memberi pesan tegas bahwa pendampingnya tinggal menunggu momentum tepat untuk diumumkan. Proses komunikasi interpersonal yang dilakukan Jokowi dengan bersilaturahim dengan elite utama kekuatan pendukungnya, bisa dimaknai Jokowi sedang memantapkan manajemen ketidaknyamanan dan ketidakpastian karena beragamnya kepentingan masing-masing partai terkait dengan posisi cawapresnya.

Realitasnya hampir seluruh partai pendukung yang memiliki kursi di DPR kecuali Partai Nasdem dan Hanura, menjagokan ketua umumnya sebagai cawapres. Ini bagian dari upaya mereka untuk mendapatkan limpahan insentif elektoral figur pada agenda bersama di internal partai jelang pemilu legislatif. Ini yang kerap disebut sebagai coat-tail effect atau efek ujung jas pasangan capres dan cawapres pada tingkat keterpilihan partai. Paling tidak jika dibaca dari perspektif pemasaran politik dan suasana psikopolitik partai masing-masing.

Kerja komunikasi yang dilakukan Muhaimin Iskandar di PKB, Romahurmuziy di PPP juga Airlangga Hartarto di Golkar tentunya harus diposisikan sebagai ikhtiar mereka untuk membangun penciptaan kesadaran umum di basisnya masing-masing melalui visi retoris yang mereka kembangkan sebagai pengikat agenda bersama. John F Cragan berpandangan, dalam bukunya Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), visi retoris ini menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi, ataupun paradigma berpikir.

Cara pandang untuk menang atau paling tidak memperoleh suara signifikan dalam perhelatan Pemilu Legislatif 2019 menjadi visi retoris yang kerap dikemukakan banyak elite. Salah satu pemantiknya tentu saja usaha mereka merapat ke Jokowi sebagai salah satu poros potensial karena posisi Jokowi sebagai pejawat.

Melihat gestur dan bahasa verbal yang dilontarkan para petinggi enam partai tersebut, sepertinya Jokowi sedang meneguhkan pemahaman bersama dengan memastikan bahwa semua elite utama partai pendukung yang akan menjadi pengusung bisa menerima nama yang sudah cukup lama dipertimbangkan untung ruginya. Rentang kendali kini ada di Jokowi. Meskipun tetap dalam politik selalu tersedia faktor pengubah pada menit-menit akhir, tetapi peluang menjaga harmoni di antara kekuatan kini lebih besar dan lebih terkendali. Faktor pengubahnya hanya dua.

Pertama, jika uji materi dikabulkan oleh MK dan angka presidential threshold menjadi nol persen. Kedua, jika ada kekecewaan dari mitra koalisi akibat tidak terpenuhinya politik akomodasi oleh Jokowi. Ada peluang kecil, tetapi masih sangat mungkin terjadi. Terutama jika ada turbulensi yang membuat retak koalisi, atau berhasilnya persuasi pihak penantang Jokowi untuk menarik salah satu atau dua mitra koalisi Jokowi dengan suara signifikan keluar dari barisan.

Oleh karena itu, diplomasi jamuan makan ala Jokowi sepertinya masih akan digelar beberapa kali hingga menit-menit akhir masa pendaftaran capres-cawapres ditutup.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Wacana harian Republika, edisi Kamis, 26 Juli 2018 (lrf)