KL Sentral

KL Sentral

Oleh : Prof Dr Azyumardi Azra CBE

KL Sentral—kawasan populer di pusat kota Kuala Lumpur, ibukota negara federal Malaysia. Terletak tak jauh dari kawasan KLCC—salah satu simbol kemajuan ekonomi Malaysia—tak banyak gedung jangkung di kawasan KL Sentral. Inilah kawasan yang belum banyak tersentuh pembangunan infrastruktur dan kemajuan ekonomi. KL Sentral masih didominasi bangunan tua, kusam, cenderung kotor dan bau yang penuh dengan pasar emperan, kedai kelontong dan warung makanan.

            Kawasan KL Sentral sebagian besar masih menampilkan wajah KL lama. Kawasan ini masih merupakan ‘kampung’ yang tidak banyak lagi tersisa. Di sini terletak ‘kampung India’yang terlihat khas; juga kampong Melayu. Inilah kawasan di mana kalangan masyarakat bawah dari tiga puak (etnis) Malaysia; Melayu, Cina, dan India bertemu dalam lalu lalang—yang tak selalu mesti berbaur dan berpadu.

            Mendapat akomodasi selama empat hari empat malam di kawasan KL Sentral ketika menghadiri The Fifth Assembly of Asian Muslim Action Network (AMAN) pada 4-7 Juni 2015, penulis Resonansi ini belakangan mengetahui, kawasan ini bukan tempat yang pas bagi orang lurus. Ada tempat tertentu di lingkungan KL Sentral yang merupakan lokasi ‘red light’. Karena itu, bagi mereka yang senang mesum, mungkin pojok KL Sentral ini yang mereka cari.

            Mengamati KL Sentral dari jalanan dan pasar saya menemukan sejumlah hal untuk refleksi. Pemandangan selama berada di KL Sentral sepanjang perayaan Milad 25 tahun AMAN mendorong penulis—sejak 2013 didaulat menjadi Chairman AMAN menggantikan Asghar Ali Engineer yang wafat—tidak hanya berefleksi tentang AMAN yang aktif dalam program perdamaian, dialog antaragama, pemberdayaan masyarakat dan penguatan Islam wasatiyah, tetapi juga pada dinamika masyarakat Malaysia, khususnya di kawasan KL Sentral.

            Meski banyak kawasan KL cenderung kian macet, jelas kemacetannya jauh di bawah Jakarta. Mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalanan KL Sentral, saya meminta beberapa kawan menyatakan apa yang mereka lihat. Sehari belum ada komentar. Hari berikutnya baru ada komentar: “Lihat mobil dan motor begitu banyak melintas. Bedanya, di jalanan Jakarta jauh lebih banyak mobil mengkilap dan fancy yang harganya paling tidak antara setengah sampai dua miliyar. Jarang terlihat mobil sekelas Fortuner atau Alphard atau Lamborghini di jalanan KL”.

            Memang, kebanyakan mobil di jalanan KL adalah Proton dengan berbagai jenisnya, yang umumnya model lama atau beranjak tua. Lalu juga ada mobil Perodua kecil yang menurut seorang kawan Malaysia sudah mengalahkan Proton. Selebihnya adalah mobil buatan Jepang; yang juga terlihat cukup banyak adalah Kijang Innova atau Avanza.

            Apakah pemandangan kontras antara KL dan Jakarta mengindikasikan warga Malaysia cenderung menjalani hidup lebih sederhana dan sebaliknya warga Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia lebih hedonistik dan show off? Ataukah pemandangan di jalan raya KL menunjukkan gejala sosial-ekonomi lain yang berakar jauh lebih dalam.

            Gejala kendaraan di jalanan KL memperlihatkan, ekonomi Malaysia pada level masyarakat ‘awam’ (umum) tidak bertumbuh seperti terlihat dalam angka statistik. Menurut berbagai data, estimasi, dan statistiK, ekonomi Malaysia bertumbuh antara 6,0 sampai 5,4 persen dalam 10 tahun terakhir. Tetapi juga jelas, dalam beberapa belakangan, pertumbuhan ekonomi Malaysia terus melambat.

            Karena itu tidak heran jika Dato Saifuddin Abdullah, CEO Global Movement of Moderates (GMM), Malaysia, mengimbau para pelancong (turis) berbelanja lebih banyak. Dengan begitu, kata dia, ekonomi Malaysia dapat terdorong bangkit kembali.

            Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang pernah fenomenal kelihatan merupakan faktor penting yang dapat menjaga keutuhan ‘perpaduan’ antar-puak di Malaysia. Semakin cepat dan besar pertumbuhan ekonomi, kian berkurang pula tensi dan ketegangan antar-puak Malaysia.

            Tetapi pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa pemerataan. Ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan masih lebar di antara tiga kelompok ‘puak’dominan: Melayu (sekitar 60 persen), Cina (kurang dari 30 persen), dan India (sekitar 8 persen). Meski puak Melayu dan India juga mengalami peningkatan kesejahteraan, ekonomi Malaysia masih tetap didominasi etnis Cina.

            Bertahannya kesenjangan ekonomi di antara ketiga kelompok etnis menyuburkan kembali kecemburuan sosial, ekonomi dan politik. Jika puak Melayu dan India, khususnya pada tingkat akar rumput, menyimpan kejengkelan karena kondisi ekonomi dan kesejahteraan mereka yang tidak banyak berubah, sebaliknya puak Cina mengendapkan ketidakpuasan terhadap apa yang mereka sebut sebagai diskriminasi politik dan sosial berkelanjutan.

            Kesenjangan ekonomi, politik, sosial dan agama terus berlanjut di Malaysia di tengah berbagai dinamika negara ini. Karena itu pula hubungan antar-puak di Malaysia masih menjadi agenda utama jika negara ini dapat tumbuh dengan perpaduan dan kesatuan di antara para warganya.

            Indonesia beruntung pada dasarnya tidak memiliki tensi dan konflik perpuakan, perkauman dan etnisitas yang akut dan laten. Beragam puak dan kaum berbaur di negeri ini—legacy dan aset sangat berharga bagi negara-bangsa Indonesia, yang mesti diberdayakan untuk Indonesia yang lebih padu dan bersatu.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan pernah dimuat dalam Kolom Resonansi Harian Republika, Kamis 11 Juni 2015