Kesejahteraan Subjektif Guru Honorer

Kesejahteraan Subjektif Guru Honorer

Oleh: Jejen Musfah

DPR dan pemerintah bersepakat menghapuskan tenaga honorer di semua instansi pemerintah. Ironisnya, seorang menteri menyatakan, tenaga honorer membebani pemerintah. Keputusan itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Tenaga honorer diberi masa tunggu lima tahun sejak PP itu terbit, yakni 2023. Mereka diberi kesempatan mengikuti seleksi PNS atau P3K.

Pada 2013, terdapat 438.590 tenaga honorer yang tidak lulus seleksi PNS. Tenaga administrasi sebanyak 269.400 orang, penyuluh 5.803, tenaga kesehatan 6.091, dosen 86, dan guru 157.210. Banyaknya jumlah honorer guru tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah dalam tata kelola guru. Pada satu sisi kepala sekolah dilarang merekrut guru honorer, tapi di sisi lain tidak ada rekrutmen guru aparatur sipil negara (ASN) secara berkala dan sesuai kebutuhan.

Alih-alih mengangkat guru, pemerintah malah menyetop guru honorer. Masih tersisa tiga tahun bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru ASN di sekolah-sekolah. Mampukah? Kesepakatan itu akan sulit dilaksanakan karena tidak sesuai dengan realitas sekolah dan guru di lapangan. Di banyak sekolah, hanya ada satu guru PNS, selebihnya adalah guru honorer. Jika tidak ada guru honorer, maka sudah banyak sekolah yang gulung tikar.

Guru honorer tidak mungkin bisa ditiadakan dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Bukan saja karena kuota seleksi ASN yang kecil, tetapi juga karena setiap tahun guru yang pensiun banyak. Meski dilarang pemerintah, kepala sekolah tetap mengangkat guru honorer karena kegiatan pembelajaran harus terus berjalan.

Kekurangan guru yang tinggi atau banyaknya guru honorer disebabkan karena moratorium rekrutmen guru. Guru PNS yang pensiun tidak digantikan oleh guru PNS baru, tetapi oleh guru-guru honorer. Sementara itu, guru ho­norer sen­diri ba­nyak yang in dan out. Mereka pin­dah sekolah atau beralih pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Solusi atas kekurangan guru adalah melakukan rekrutmen guru ASN, PNS, atau P3K, secara berkala dan sesuai kebutuhan; sekolah yang jumlah muridnya sedikit digabung dengan sekolah terdekat. Dua atau lebih sekolah disatukan sehingga efisien. Rekrutmen guru ASN sesuai kebutuhan akan memengaruhi kualitas pendidikan karena akan diperoleh guru yang kompeten hasil seleksi cukup ketat dan kredibel.

Sementara rekrutmen guru honorer ditentukan oleh kepala sekolah masing-masing dan standarnya berbeda-beda. Hasilnya bisa bagus, bisa juga tidak. Hal ini bukan berarti bahwa tes seleksi CPNS akan selalu menghasilkan yang terbaik dan paling kompeten. Peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dari rekrutmen guru yang standar serta kredibel karena ia yang berhadapan langsung dengan siswa di kelas.

 

Kesejahteraan Subjektif

Pengabdian guru honorer di sekolah tidak ternilai. Jasa mereka bagi pendidikan Indonesia sangat besar. Mereka telah mengabdikan diri mulai dari satu tahun hingga 20 tahun. Mengapa mereka bertahan mengajar meski gajinya kecil? Hasil riset Rittah (2020) tentang Kesejahteraan Subjektif Guru Honorer, menyimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan dan kebersyukuran mereka cukup tinggi atas profesi guru.

Guru honorer cukup puas atas kehidupannya. Mereka mengaku bahagia dan senang dengan tugas sebagai guru. Mereka optimistis atas masa depan dengan selalu berpikir dan melakukan hal positif. Meskipun demikian, sebagian mereka berharap suatu saat bisa diangkat atau lulus tes ASN.

Menurut Tov dan Diener (2007), kesejahteraan subjektif adalah evaluasi diri individu terhadap kehidupannya, termasuk sering merasakan kebahagiaan, jarang merasakan ketidakbahagiaan dan kepuasan dalam hidup. Sedangkan menurut Ariati (2010), kesejahteraan subjektif adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidup­nya, yang terjadi dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup serta merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis.

Imbalan materi untuk mereka memang kecil, tetapi imbalan nonmateri jauh lebih besar, seperti penghargaan, harapan pahala, dan keikhlasan. Keikhlasan dan pengorbanan guru-guru itu harus dihargai pemerintah. Tidak hanya mengamini janji pahala akhirat–seperti dinyatakan Mendikbud sebelum Nadiem Makarim, Mu­hadjir Effendy, tetapi segera mengangkat mereka menjadi ASN melalui tes maupun tanpa tes.

Kecuali itu, harus ditetapkan upah minimum guru, baik dari APBN maupun dari APBD. Perlu juga dipertimbangkan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kesejahteraan guru. Sungguh ironis, gaji guru honorer tidak hanya kecil, tetapi dibayar setiap tiga atau empat bulan sekali. Padahal dalam setiap pidato pemerintah pada kegiatan PGRI, mulai dari presiden, wakil presiden, hingga menteri, mengakui, “saya berada di posisi ini berkat jasa guru”.

Jangankan sekolah gratis, negeri dan swasta, sekolah swasta berbayar sedang saja sulit mendapatkan guru-guru yang kreatif. Pasalnya, gaji mereka di kisaran dua jutaan. “Sarjana yang berbakat tidak ada yang mau dibayar dua jutaan. Untuk mendapatkan guru-guru kreatif, harus dibayar empat jutaan,” tutur seorang guru besar Universitas Negeri Jakarta yang memiliki madrasah ibtidaiyah di Cikarang.

Profesionalisme, mutu, dan merdeka belajar akan sulit terwujud jika guru jauh dari sejahtera. Misalnya, kesejahteraan memungkinkan mereka mengakses sumber-sumber belajar. Mungkin mereka bahagia, ikhlas, dan berdedikasi tinggi, tetapi bagaimana kualitas pembelajarannya masih menjadi pertanyaan besar. Perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dari pembenahan mutu serta kesejahteraan guru. (zm)

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Wasekjen PB PGRI. Artikel dimuat Koran Sindo, Senin 24 Februari 2020. Lihat https://nasional.sindonews.com/read/1535674/18/kesejahteraan-subjektif-guru-honorer-1582501227