Kampanye Transformasional

Kampanye Transformasional

Oleh Gun Gun Heryanto
 
Musim kampanye Pilpres telah tiba. Berbagai alat peraga yang menampilkan dukungan kepada tiga pasangan capres dan cawapres kembali akan meriahkan berbagai area publik kita. Keadaaan ini akan berlangsung selama 32 hari dari 2 Juni hingga 4 Juli mandatang. Gegap gempita rapat umum selama 24 hari juga mau tidak mau akan menyemarakan pesta demokrasi ini. Selain rapat umum, kampanye juga mengatur debat capres sebanyak tiga kali yakni pada 18 Juni, 25 Juni dan 2 Juli. Sementara debat antar cawapres dirancang pada 23 Juni dan 30 Juni. Setiap pasangan capres-cawapres berkesempatan delapan kali rapat umum di setiap provinsi sesuai waktu yang telah ditetapkan.

Komunikasi Persuasif

Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik. Sebagai upaya memersuasi pemilih (voter), agar pada saat pencontrengan pasangan kandidat yang berkampanye mendapatkan dukungan dari banyak kalangan. Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

Hal senada juga dikemukakan oleh Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefiniskan kampanye sebagai Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Dengan demikian, inti kegiatan kampanye tentu saja adalah persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan oleh para kandidat mulai dari iklan di berbagai media massa hingga loby dan negosiasi. Jika kita identifikasi paling tidak ada 4 saluran yang biasanya digunakan sebagai saluran kampanye. Pertama saluran face-to-face informal. Saluran ini menggunakan pendekatan intimacy dimana proses kampanye biasanya banyak menggunakan konteks komunikasi interpersonal. Dengan demikian mekanisme persuasi langsung, loby dan negosiasi biasanya menjadi strategi dominan dalam saluran ini.

Kedua, saluran struktur sosial tradisional. Saluran ini biasanya dengan menggunakan status sosial figur yang ada di masyarakat. Misalnya senioritas dalam hirarki organisasi, ketokohan, figur dalam basis tradisional, politik patron-client. Ini merupakan pendekatan yang mangsuamsikan two step flow communication, dimana kandidat berkampanye mempengaruhi tokoh yang sacara status sosial memiliki pengaruh di masyarakat dengan harapan tokoh tersebut kemudian menjadi significant others atau elit opinion yang dapat memperteguh pemilih untuk mencontreng kandidat yang bersangkutan. Dalam konteks itulah mengapa para kandidat ramai-ramai sowan ke para kiyai pesantren, para habib majlis ta’lim, para tetua adat atau ketua-ketua komunitas etnis. Ini

Ketiga, saluran input. Ini merupakan saluran yang memanfaatkan berbagai pihak yang biasanya memberikan masukan (input) politik. Dalam konteks ini misalnya melalui penguasaan atau hubungan baik dengan interest group seperti organisasi NU dan  Muhammadiyah, dengan pressure group seperti kalangan LSM yang mau mendukung. Begitu pun dengan kalangan cerdik-cendikia di kampus yang dapat mendongkrak popularitas para kandidat. Akhir-akhir ini, realitas politik kita misalnya diramaikan oleh peringatan harla, muktamar, atau deklarasi berbagai ormas. Sepertihalnya kemarin terlihat di peringatan Milad PMII di Jakarta yang dihadiri SBY, atau acaranya Al-Wasliyah yang dihadiri Yusuf Kalla. Acara-acar itu, tak sekedar seremonial melainkan sudah berbentuk artikulasi politik untuk mendukung capres dan cawapres tertentu.

Keempat adalah saluran media massa. Ini merupakan saluran yang memiliki peran signifikan. Media dengan segenap variannya dapat membentuk opini publik yang positif atau sebaliknya menjatuhkan citra yang telah dibangun dengan susah payah. Oleh karenanya media relation menjadi satu diantara pendekatan modern dalam kampanye kontemporer. Media tak hanya instrumen ampuh yang berperan dalam pembentukan opini publik, tetapi juga saluran yang tepat untuk publisitas. Dalam literatur komunikasi, publisitas dimaknai sebagai how to make a popularity.

Model Ostergaard

Kampanye yang baik tentu saja adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip oleh Klingemann (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye. Pertama,  mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Kampanye jika mau sukses maka harus berorientasi pada isu (issues-oriented),  bukan hanya berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanyelah momentum yang tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan membutuhkan penanganan di masyarakat.

Kedua, adalah pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, lagi-lagi riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye,  saluran hingga teknis pelaksanaaan  kampanye yang sesuai. Pada tahap pengolalaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan mempengaruhi aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan khalayak sasaran. Ketiga aspek ini dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi prasyarat untuk terjadinya perubahan perilaku. Kampanye tak cukup hanya bertumpu pada retorika yang sloganistik. Pemilih tak lagi cukup hanya mendengarkan slogan ”lebih cepat lebih baik dengan hati nurani rakyat” atau ”politik santun dan bermartabat!” atau ”membangun ekonomi kerakyatan” dll. Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Sehingga berbagai rincian program itu dapat menarik dunia luar dan menjadi bagian utuh dari kesadaran khalayak atau apa yang Walter Lipman tulis sebagai the world outside and pictures in our head.

Ketiga, adalah tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini evaluasi diarahkan pada keefektifan kampanye dalam menghilangkan   atau mengurangi masalah  sebagaimana  yang telah diidentifikasi pada tahap pra kampanye. Kampanye dengan demikian bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik. Melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan. Sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. Saat pasangan capres dan cawapres mampu menunjukkan platform dan solusi berbagai persoalan negeri ini, bukan  tidak mungkin akan muncul dukungan pemilih.

Berbasis Komunitas

Kampanye transformasional bisa mewujud dalam penanda kata, konstruksi gagasan, konseptualisasi penanganan  masalah serta teknik dan strategi yang inspiratif. Kampanye jenis ini biasanya tak hanya menghipnotis pemilih dengan kata-kata, melainkan juga dapat menggerakan minat berpartisipasi dalam politik dan menumbuhkan harapan bersama untuk maju bersama-sama.

Biasanya, sebuah kampanye menjadi transformasional selain memiliki titik simpul gagasan besar juga berbasis pendekatan komunitas. Pemberdayaan politik komunitas, misalnya dilakukan oleh tim sukses pasangan capres dan cawapres mulai dari level nasional hingga ke daerah melalui tiga kata kunci utama. Pertama,  pendekatan community relation yakni membangun komunikasi yang inspiratif dengan kalangan grassroot langsung ke sasaran mereka. Kedua, pendekatan community services, dimana para kandidat dan tim sukses harus mau dan mampu melayani komunitas yang menjadi target kampanye secara tepat dan mengena. Ketiga, community empowerment. Sebuah metode kampanye yang berorientasi pada pemberdayaan jangka panjang. Misalnya melalui pendidikan politik  atau pelatihan tertentu sehingga komunitas-komunitas tersebut tumbuh menjadi komunitas yang kuat. Kampanye dengan pendekatan komunitas ini seyogianya dilakukan oleh para kandidat capres dan cawapres, sehingga prosesi kampanye dapat mewujud dalam bentuk yang lebih transformasional.

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute