Kajian Sastra di UIN Jakarta, Makin Meredup

Kajian Sastra di UIN Jakarta, Makin Meredup

rusabesi

UIN JAKARTA, Bertia UIN Online - Setiap hari Kamis, pukul 16.00 WIB di area di Basement Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berkumpul beberapa mahasiswa, yang dengan tekun membicarakan persoalan-persoalan sastra. Mereka menamakan diri kumpulan diskusi sastra Rusa Besi. Mereka kibarkan paji kajian dan tadarus sastra.

Setiap Kamis, para anggota Rusa Besi aktif melakukan kajian sastra, bedah novel dan membicarakan persoalan sastra kontemporer. Pemandangan seperti ini, adalah pemandangan yang jarang terjadi di area kampus UIN Jakarta. Padahal, dalam kurun waktu 80-an dan 90-an, fenomena seperti itu, tumbuh subur di kalangan pegiat kelompok studi di area kampus Ciputat ini.

Sudah dua tahun Rusa Besi berjalan. Awalnya dari perbincangan para mahasiswa Sastra Inggris, yang merasa haus dengan ilmu-ilmu sastra. Dan terjadilah perbincangan untuk berkumpul dalam satu wadah Rusa Besi.

Fenomen kajian Rusa Besi adalah fenomena mahasiswa yang ingin mencari dan menimba pengetahuan sastra. Mereka merasa mata kuliah yang diajarkan di kelas terasa kurang. Begitulah seharusnya. Ciputat sejak era 80-an adalah salah satu basis sastra. Tapi entah kenapa, sejalan dengan bergulirnya waktu, tradisi kehidupan sastra, makin meredup.

Sekadar saran bagi para pegiat Rusa Besi, sudah seharusnya mampu melahirkan karya-karya sastra yang bisa dipandang dalam latar sastra Indonesia. Dan yang paling urgen, saat ini, jarang sekali hadir karya sastra yang berpijak pada fenomena sejarah.

Sastra Sejarah

Mempersoalkan sastra yang bersandar pada peristiwa-peristiwa sejarah selalu menarik untuk dibincangkan. Sastra yang bersandar pada sejarah tak ubahnya mengungkap peristiwa-peristiwa kelam dalam realitas kekinian, yang dikemas dalam dunia fiksi.

Seperti kita tahu, alur cerita-cerita fiksi yang bersandar pada persoalan sejarah yang disodorkan ke wilayah publik setidak-tidaknya ikut serta mere-konstruksi peristiwa sejarah yang terjadi di ranah publik. [1]

Kritikus George Lukacs pernah mensinyalir, sastra sejarah harus mampu menghidupkan masa silam; masa silam harus dekat kepada realitas kita dan kita dapat menyelami kenyataan yang sebenarnya terjadi pada masa silam. Pernyataan George Lukacs mengundang beberapa pertanyaan mendasar dan layak dijawab.

Pertanyaan itu merujuk pada klaim, apakah teks-teks sejarah masih menyimpan ruang-ruang kosong, yang memiliki berbagai ragam dimensi ke-benaran sehingga bisa dihibahkan dalam teks-teks fiksi? Kenapa hingga kini masih saja sering terdengar perdebatan antara pengetahuan sejarah dan realitas sejarah yang sejatinya memiliki perbedaan yang cukup jauh?

Penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah dua hal yang berbeda. Pe-rihal posisi penulisan sejarah dan peristiwa sejarah, dan memeriksa kembali ke-gemparan perdebatan intelektual pada abad ke-19, menjadi sangat menarik jika kita mengikuti pikiran yang dikembangkan Immanuel Wallerstein.

Perdebatan intelektual pada abad itu menjurus pada keretakan episte-mologis. Antara pendekatan nomotetik yang berdasarkan pada hukum-hukum objektif dan universal yang dikembangkan dalam ilmu alam, dengan pendekatan idiosinkretik, yang disandarkan pada keunikan masing-masing kejadian sejarah.

Wallerstein, sejarawan dan Direktur Braudel Center Binghamtom University, berdiri pada posisi “tengah” di antara gejolak “pertikaian episte-mologis” itu

Hukum Alam dan Kreativitas

Wallerstein ingin memperlihatkan ketidakpastian terhadap ilmu-ilmu alam, akibat dari ketidakpuasan teori-teori ilmiah yang lebih tua. Ini untuk menawarkan solusi-solusi yang masuk akal terhadap kesulitan-kesulitan yang muncul ketika para ilmuwan mencoba memecahkan fenomena yang jauh lebih kompleks. Ia mencoba melakukan pembenaran terhadap statement-nya dengan mengambil garis pikiran yang dikembangkan Ilya Progogine.

Menurut ilmuwan terakhir itu, ketika dunia disemarakkan dengan berbagai gejolak, maka dibutuhkan penjelasan yang lebih kompleks: sebuah dunia yang harus dideskripsikan secara agak berbeda. Dari sinilah secara sadar, Wallerstein ingin menawarkan solusi bahwa ilmu-ilmu sosial dapat menjadi “kendaraan” untuk memecahkan masalah realitas yang ada.

Kondisi semacam ini tidak berarti menafikan asumsi-asumsi yang telah dikembangkan para ilmuwan terdahulu—termasuk di dalamnya Newton. Tetapi, dalam batas-batas tertentu, sistem-sistem yang dikembangkan para ilmuwan, seperti sistem-sistem waktu yang reversibel (yang dapat dibalikkan), hanyalah merepresentasikan suatu segmen realitas yang khusus dan terbatas.

Dengan demikian, ilmu-ilmu alam membutuhkan keselarasan hukum-hukum alam yang cocok dengan gagasan tentang peristiwa, tentang sesuatu yang baru, dan tentu tentang kreativitas. Di sisi lain, Wallerstein juga berdiri di pihak “komunitas” idiosinkretik dengan menawarkan perangkat-perangkat ilmu sosial.

Pendekatan yang diterapkan Wallerstein mencoba merekomendasi pendekatan historis yang sering kali “tertinggal” ketika memunguti beberapa peristiwa sejarah. Tampaknya Wallerstein ingin memperlihatkan beberapa tradisi ilmu sosial yang mampu menawarkan peralatan-peralatan spesifik untuk membangun “ilmu sosial historis”, atau “ilmu sosial kritis”.

Sejarah dan sosial

Sebenarnya perkawinan dan kerja sama ilmu sejarah dan ilmu sosial baru terjadi saat memasuki dekade 1960-an. Para sejarawan mulai mempertimbangkan apakah beberapa generalisasi yang diusahakan oleh para ilmuwan sosial nomitetis mungkin tidak membantu menjelaskan pemahaman mereka mengenai masa lalu. Maka perubahan-perubahan fundamental di dalam disiplin ilmu sejarah terus-menerus mendapat dukungan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.

Dalam tataran ini, terlihat keinginan Wallerstein bahwa ada hubungan dialektis antara pengetahuan dan realitas. Pengetahuan yang dikonstruksikan dari realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri; dan perubahan di dalam realitas akan mampu memberi vibrasi dalam merekonstruksi pengetahuan.

Pada situasi seperti inilah, sebenarnya, sastrawan memiliki peran. Sebuah peran yang bisa memberikan kontribusi positif bagi penulisan sejarah dalam bentuk fiksi. Dan inilah yang antara lain diinginkan Asvi Warman Adam (Kompas, 22/12/2008).

Salah satu fakta yang bisa diapungkan dalam konteks sastra sejarah adalah kehadiran sastrawan Nur Sutan Iskandar. Iskandar pada kurun tahun 1934 memberi bukti mungkinnya penulisan novel sejarah yang berpijak pada keselarasan antara bahasa dan pikiran, antara realitas teks sastra dan realitas teks sejarah.

Tengoklah novel Hulubalang Raja dan novel Mutiara yang ditulis Nur Sutan Iskandar. Atau novel AA Pandji Tisna, I Swasta Setahun di Bedahulu, yang cukup berhasil mengangkat zaman Udaya yang mengambil latar lokal Bali. Juga novel Zaman Gemilang dan Cincin Permata dari Kamboja yang ditulis Matu Mona tentang Raden Wijaya dan sekitar kisah awal kerajaan Majapahit. Bahkan, cerita yang disodorkan Matu Mona mampu menjadi pendorong rakyat untuk mengusir bala tentara Kublai Khan.

Pramoedya Ananta Toer juga bisa dicatat sebagai sastrawan yang mampu melampirkan teks-teks sejarah ke dalam teks-teks sastra. Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia adalah contoh penting di mana bahasa mampu berfungsi dalam mendefinisikan kehidupan dirinya dalam dua dunia; sastra dan sejarah.

Ternyata jawaban untuk konteks sastra sejarah terletak pada kemampuan mengelola bahasa dan pikiran yang selalu berdiri dalam dua petak yang berbeda. Fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Pada titik inilah sebagian sastrawan Indonesia yang menulis fiksi yang bersandar pada realitas sejarah tak cukup cermat mengawinkan kedua faktor penting itu.

Membaca kembali apa yang diurai Goenawan Mohamad perihal sastra, sepertinya menemukan bentuknya ketika melihat perihal novel yang berbau tema sejarah. Kesusastraan, dalam pandangan Goenawan Mohamad, adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin. [2]

Novel bergenre apapun, tentu saja tak lepas dari proses pengembaraan batin pengarang dengan teknik ketrampilan memainkan kata dan bahasa dalam berbagai ujaran yang membentuk sebuah prosa maupun puisi. Dalam soal teknik ketrampilan memainkan kata dan bahasa yang diusung dalam ranah karya sastra, yang dibutuhkan kemampuan literer pengarang dalam mengemas bahasa.

Persoalannya kemudian, sejauh mana teknik ketrampilan memainkan kata dan bahasa menjadi bagian yang utuh dalam proses penciptaan karya sastra. Tentu saja, novel yang mengurai peristiwa sejarah, tak serta merta merinci fakta-fakta sejarah. Tugas sastrawan adalah membangun konstruk peristiwa tanpa harus mencatat detil peristiwa sejarah.

Itulah kenapa Ben Anderson acapkali menyodorkan beragam novel seba-gai titik pijak untuk melihat alur perubahan zaman yang sedang bergejolak pada titik mangsa tertenu. Ben mengurai dan mencoba menguar berbagai ragam semangat zaman pada periode tertentu dengan membesuk beberapa novel yang menggambarkan sebuah peristiwa sejarah.

Untuk memeta semangat dan gejolak lahirnya aura nasionalisme bangsa Filipina, Ben dalam karya Immagine Communities yang sangat fenomenal itu, mencoba mendekati novel Noli Me Tangere dan El Filibusterismo karya Jose Rizal sebagai cara untuk merekonstruksi kembali kejadian dan peristiwa nasionalisme bangsa Filipina. Dua novel Jose Rizal ini, satu kritik mengenai penjajahan Spanyol atas Filipina. [3]

Jose Rizal menganjurkan kebebasan berbicara dan berkumpul, hak yang sama di depan hukum bagi Filipina, dan penunjukkan imam Filipina. Ia juga meminta Filipina untuk menjadi sebuah provinsi di Spanyol, dengan perwakilan di legislatif Spanyol (Cortes generales). Selain soal hak, Rizal menyeru kemerdekaan bagi Filipina. Seruan Rizal ini, dianggap pemerintah colonial, seruan radikal dan amat berbahaya dan ia dijadikan sebagai musuh negara. Novel Noli Me Tangere, kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia bertajuk Jangan Sentuh Aku dan El Filibusterismo, dialihbahasakan dalam Bahasa Indonesia menjadi Merajalelanya Keserakahan.

Novel yang merujuk pada peristwita sejarah, tetaplah bukan dokumen se-jarah. Bukanlah diktat-diktat baku sejarah. Ia hanyalah penggalan peristiwa sej-arah yang disusun dengan cara membangun konstruksi peristiwa melalui karakter tokoh, alur cerita dan dengan kemampuan literer sang pengarang. Novel yang hanyalah satu titik pijak untuk melihat peristiwa sejarah.

Dalam proses melahirkan novel sejarah dibutuhkan ketajaman analisis dan kepekaan sastrawan agar mampu memotret dunia silam dan dapat dirasakan dalam persoalan kekinian. Gelagat inilah, yang menjadi barikade bagi sastrawan untuk mengolah adonan imajinasi dan persoalan empirik sehingga tercipta sebuah novel yang menghadirkan perisrwia nyata dengan tidak mengabaikan aspek estetika. Ketajaman analisis dan nilai estetik ituah yang hendakan dijadikan patokan bagi para sastrawan.

Apa yang dikatakan kritikus George Lukacs memang benar bahwa novel sejarah harus mampu menghadirkan masa silam; masa silam harus dekat pada diri kita, dan dapat kita alami dalam kenyataaan yang sebenarnya. Di sinilah diper-lukan kejelian sastrawan sebagai creator untuk menangkap suasana, menangkap sebuah suasana, menangkap sebuah kasus yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan kongkrit. Lukacs menyodorkan sebuah alternatif, bahwa para penga-rang, dalam hal ini sastrawan, diharapkan bisa menghadirkan kembali masa lampau yang dapat dirasakan pada masa kini. [4]

Untuk memadukan dua dimensi, ketajaman analisis dan nilai estetik, se-orang sastrawan harus dibekali seperangkat pengetahuan sastra yang bagus sehingga tercipta bentuk organik sastra yang berkualitas. Estetika adalah salah satu Cabang filsafat yang membahas keindahan. Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai.

Narasi Novel Sejarah

Dari ratusan novel yang tersebar dalam konstelasi kehidupan sastra Indonesia, hanya ada beberapa novel yang mengacu pada aspek kesejarahan. MR Dayoh adalah pengarang yang gemar menulis novel sejarah. Tercatat ada tiga buah novelnya yang menguar aspek kesejarahan. Tiga novel MR Dayoh tersebut dapat dilihat dari novel bertajuk Peperangan Antar Orang Minahasa Melawan Orang Spanyol (1931), Minahasa (1934) dan Putera Budiman (1941).

Ketiga aspek novel sejarah yang ditulis MR Dayoh lebih menekankan pada aspek kehidupan remaja, sehingga novel-novel sejarah yang ditulis MR Dayoh oleh para kritikus sastra dianggap terlalu dangkal. Novel-novel Dayoh lebih tepat sebagai legenda dari pada novel sejarah.

Baru pada tahun 1934, Nur Sutan Iskandar menulis novel sejarah yang memberikan bobot kesejarahan, yakni dengan novelnya yang bertajuk Hulubalang Raja. Selain Hulubalang Raja, Nur Sutan Iskandar juga menulis sebuah novel potret perjuangan wanita Aceh, Mutiara. Ada juga pengarang AA Pandji Tisna menulis novel I Swasta Setahun di Bedahulu, yang dianggap oleh banyak kritikus sastra cukup berhasil mengamngat zaman Udayana yang menggambil setting Bali. Novel Zaman Gemilang dan Cincin Permata dari Kamboja karya Ratu Matu Mona yang mengangkat kisah Raden Wijaya dan sekitar kisah sejarah awal kerajaan Majapahit. Dalam kisah novel Ratu Matu Mona dikisahkan bahwa mereka mampu mengusir bala tentara Kubilai Khan.

Kembali ke alur awal, kajian sastra di UIN Jakarta perlu terus dihidupkan agar gairah mencipta terjaga.

[1] Edy A Effendi, “Kawinnya Bahasa dan Pikiran”, Kompas, 8 Juni 2008

[2] Edy A Effendi, “Risalah Membaca Novel Sejarah”, Kompas, 11 Juni 2016

[3] Benedict Anderson, Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism, 1991,(Revised and extended. ed.). London: Verso. pp. 6–7. ISBN 978-0-86091-546-1. Retrieved 5 September 2010.

[4] Georg Lukács, The Theory of the Novel, trans. A. Bostock (Cambridge, Mass.:MIT Press, 1971), p. 93. (Edi E)