Islam Wasathiyah

Islam Wasathiyah

Pada dekade 80-90-an, Islam Indonesia dinilai sebagai pinggiran. Terletak jauh dari pusat Islam di Makkah dan Madinah, Indonesia juga tak pernah masuk peta wilayah negara Islam. Dalam wacana, Islam Indonesia timbul-tenggelam dalam perbincangan di dunia.

Namun kini, Islam Indonesia justru menjadi pemain utama dalam wacana Islam tingkat dunia. Kondisi ini didorong dua hal. Pertama, munculnya banyak intelektual Muslim yang menulis dan berbicara dalam bahasa internasional mengenai Islam Indonesia.

Kedua, aktifnya lembaga sosial keagamaan Indonesia dalam upaya-upaya perdamaian. Bahkan, pada Juni 2019, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dicalonkan untuk mendapatkan nobel perdamaian.

Islam Wasathiyah

Istilah Islam Wasathiyah mendapatkan perhatian saat terjadi gelombang kekerasan mengatasnamakan Islam. Istilah ini diambil dari Surah al-Baqarah [2]: 143, “Dan dengan demikian Kami telah menjadikan kamu ummatan wasathan agar kamu syuhada terhadap/buat manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi syahid terhadap/buat kamu.”

Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini mengemukakan, washat berarti segala yang baik sesuai objeknya. Pada gilirannya, makna washat berkembang menjadi tengah. Karena itu, umat Islam memegang teguh prinsip wasathiyah.

Ini berarti mendorong umat Islam berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi saksi adil atau menjadi penengah kalau tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global?

Selain itu, posisi tengah membuat umat Islam/seorang Muslim dilihat dari penjuru yang berbeda dan ketika itu ia dapat menjadi teladan semua pihak. Posisi itu juga membuatnya bisa melihat siapa pun dan di mana pun (Quraish Shihab, 2015).

Dilihat dari perspektif sejarah, kecenderungan ini terlihat jelas sejak Islam masuk ke kawasan ini, didorong fakta penyebar Islam ke Indonesia adalah para pengembara sufi. Hampir tak ada gesekan berarti saat Islam datang ke Indonesia.

Islamisasi dilakukan bertahap. Dalam bahasa Anthony Jons, Indonesianis asal Australia, Islam datang bukan dengan satu teori ledakan besar. Menurut dia, yang mengislamkan sejumlah besar penduduk nusantara, setidaknya sejak abad ke-13, adalah para sufi.

Mereka menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dalam kesimpulan Jons, Islam tak dapat dan tak menancapkan akarnya di penduduk nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka, sampai Islam disiarkan para sufi.

Ini gambaran dominan perkembangan Islam di nusantara sampai abad ke-13. Teori sufi ini berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dan gelombang konversi kepada Islam. (Azyumardi Azra, 2013).

Dari sini jelas, yang datang pertama kali adalah Islam yang umumnya dibawa para guru sufi pengembara. Islam sufistik memiliki kecenderungan kuat lebih akomodatif dan inklusif terhadap tradisi dan praktik keagamaan lokal.

Teori sufi ini lebih masuk akal berdasarkan fakta terjadi peningkatan orang masuk Islam di Asia Tenggara, berbarengan dengan kemunculan tarekat-tarekat sufi di Asia Barat dan Selatan. Inilah lembaga utama yang menjaga keutuhan umat Islam sesudah keruntuhan Kekhilafahan Abbasiyah karena Baghdad dihancurkan Mongol pada 1258. Namun, tesis ini ditentang Martin Van Bruinesen, Indonesianis dari Belanda.

Mengenai sufi yang mengislamkan kawasan ini, dia setuju. Namun, menurut dia, hampir tak ada bukti kuat keberadaan anggota tarekat di Asia Tenggara sebelum akhir abad ke-16.

Dia juga menyatakan, apakah tepat memikirkan tarekat sufi sebagai serikat dagang meskipun para pendakwah sufi bepergian melalui jalur perdagangan. Terkait ini, ada temuan menarik Michael Laffan dan Michael Feener, Indonesianis dari Australia.

Mereka menemukan teks Yaman yang menyebutkan ulama abad ke-13, Mas'ud al-Jawi di Arabia Selatan. Petunjuk mengenai Jawa Islam muncul dalam berbagai tulisan mistikus kelahiran Aden, Abdullah b As'ad al-Yafi'i (1298-1367).

Al-Yafi'i mencatat berbagai keajaiban Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166), sang wali dari Baghdad yang dianggap banyak persaudaraan mistik sebagai guru tertinggi. Persaudaraan ini dikenal sebagai tarekat.

Pada masa al-Yafi'i, persaudaraan-persaudaraan tumbuh menjadi kelompok di bawah kepemimpinan guru yang diinisiasi secara khusus, yang mengklaim posisi berurutan dalam mata rantai silsilah yang terentang tanpa putus hingga Nabi Muhammad SAW.

Apa pun garis keturunan spiritual mereka, entah Qadiriyah, yang kembali kepada Abd al-Qadir al-Jilani atau Naqsyabandiyah dari Baha' al-Din Naqsyaband (1318-89), tarekat memberikan pengajaran teknik untuk mengenal Tuhan.

Menulis pada abad ke-14, al-Yafi'i mengenang, saat muda di Aden, dia mengenal lelaki yang cakap dalam komunikasi mistis semacam itu. Lelaki ini bahkan membai'at al-Yafi'i ke dalam persaudaraan Qadiriyah.

Lelaki ini dikenal sebagai Mas'ud al-Jawi, Mas'ud si orang Jawi (Laffan dan Feener, 2005). Temuan ini secara meyakinkan, meruntuhkan asumsi Bruinesen di atas.

Selain itu, ada bukti lain berupa temuan arkeologi yang menunjukkan perkiraan masa kematian Hamzah Fansuri, salah satu bapak pendiri budaya sastra Melayu-Muslim dan tradisi teosufi pribumi yang terinspirasi Ibnu Arabi (1165-1240) hampir seabad lebih awal.

Meski belum ada kesepakatan tahun dan tempat lahirnya, para ahli sepakat setidaknya sebagian masa hidup Hamzah Fansuri berbarengan dengan masa kekuasaan Sultan Aceh Alauddin Ri'ayat Syah (1589-1604). Bahkan, mungkin mencapai masa kekuasaan penggantinya, Ali Ri'ayat III (1604-1607) dan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut Carol Kersten, Indonesianis dari Inggris, asumsi ini berdasarkan apa yang dianggap rujukan ke para penguasa itu di tulisan lain yang dianggap karya Hamzah Fansuri.

Mereka yang disebut di atas ini adalah ulama yang dikenal sebagai sufi. Namun, sampai di sini, lalu apa pentingnya teori sufi ini dengan Islam Wasathiyah?

Sebagaimana disebutkan Azyumardi Azra, para sufi itu berhasil mengajak penduduk dan para bangsawan di negeri ini menjadi Muslim dengan kesadaran sendiri tanpa melalui pengerahan kekuatan bersenjata.

Ini bukti penting betapa jalan damai adalah cara terbaik menyebarkan dan mendakwahkan Islam. Jika saja dalam proses pengislaman negeri ini bisa dengan cara damai, dialog, dan baik, mengapa kemudian kita tidak bisa melakukannya sekarang ini?

Dengan cara damai, Islam menjadi agama terbanyak yang dianut penduduk Indonesia dan Indonesia menjadi negara Muslim terbesar dunia. Ini pula yang akan menjadi narasi utama Islam Indonesia di kancah internasional.

Muhammad Husnil, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sumber: Republika, 14 Oktober 2019. (lrf/mf)