Internasionalisasi Islam Indonesia

Internasionalisasi Islam Indonesia

Oleh: Dr. jejen Musfah

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Universitas ini diproyeksikan menjadi lembaga riset studi-studi keislaman, sehingga ke depan Indonesia menjadi kiblat studi Islam. Orang Timur Tengah dan Eropa belajar Islam ke Indonesia, bukan sebaliknya sebagaimana yang terjadi selama ini.

Universitas ini hanya akan membuka program S2 dan S3, sehingga fokus pada riset, baik yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen. Faktanya, universitas kelas dunia memiliki jumlah mahasiswa pascasarjana lebih banyak dibanding mahasiswa sarjana (S1). Hal inilah yang belum terjadi di Perguruan Tinggi Keagmaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia, meskipun para rektor memahami dan menyatakannya di setiap forum. Fokus kerja PTKIN, yaitu 11 UIN, 25 IAIN, dan 9 STAIN masih di tingkat sarjana bukan pascasarjana.

Tidak mudah mewujudkan gedung dan fasilitas universitas berskala internasional di tengah perekonomian bangsa yang sedang lesu, apalagi mewujudkan visi universitas riset di atas. Hingga saat ini bangunan belum ada, saya tidak yakin bisa selesai dalam dua hingga tiga tahun ke depan—meski lokasi kampus kemungkinan di daerah Depok Jawa Barat. Justeru inilah kesempatan baik bagi tim perumus untuk menyusun grand design dan rencana strategis universitas secara matang, sehingga tujuan ideal pendirian universitas bisa dicapai.

 

Mutu Mahasiswa dan Dosen

Tulisan singkat ini menjelaskan sejumlah tantangan dan peluang dalam mewujudkan cita-cita sebagian anak bangsa untuk memiliki universitas Islam bertaraf internasional. Pertama, masukan mahasiswa dan dosen. Kriteria calon mahasiswa pascasarjana di antaranya adalah kemampuan menulis dan kemampuan bahasa asing, karena target lulusannya adalah menjadi peneliti; S2 menguji teori dan S3 menemukan teori baru.

Status para mahasiswa pun harus mahasiswa full study. Tidak sedikit mahasiswa pascasarjana PTKIN di Indonesia masih tetap mengajar dan menjabat, disamping kuliah (izin belajar bukan tugas belajar). Akibatnya mereka tidak bisa fokus meneliti. Tidak akan mudah mendapatkan kriteria mahasiswa full study dan memiliki kemampuan menulis dan Bahasa asing yang bagus di tahun-tahun pertama UIII, karena standar lulusan S1 PTKIN Indonesia lemah dalam kemampuan menulis apalagi meneliti, dan lemah juga dalam kemampuan berbahasa asing. Kecuali itu, kemampuan ekonomi masyarakat masih lemah.

Demikian juga tidak akan mudah mengumpulkan dosen-dosen ahli dalam kajian Islam yang memiliki reputasi internasional, khususnya dalam penerbitan artikel jurnal dan buku internasional. Mungkin ada tapi tersebar di setiap provinsi Indonesia atau tersebar di luar negeri. Bagaimana akan bisa melahirkan lulusan sebagai peneliti yang mampu melahirkan artikel-artikel atau karya berbobot jika para dosennya tidak pernah atau sedikit publikasi internasionalnya?

Jujur saja sedikit sekali dosen PTKIN yang fokus pada dunia penelitian, dan makin sedikit jumlahnya dosen yang pakar dalam penelitian kajian Islam yang berhasil mengkader para yuniornya dalam bidang penelitian. Maka, inilah momentum tepat bagi pemerintah untuk memanggil putra-putri terbaik bangsa yang mengajar di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Yaitu mereka yang bergelar doktor atau profesor dalam bidang kajian Islam. Sebelumnya, pemerintah harus menyiapkan rumah, gaji, dan fasilitas lainnya yang layak buat mereka.

 

Publikasi Hasil Riset

Kedua, proses dan sistem belajar-mengajar. Sulit menghasilkan tesis atau disertasi yang bagus jika kompetensi masukan mahasiswanya lemah seperti dijelaskan di atas. Apalagi tesis ditulis hanya selama satu semester atau disertasi selama tiga atau lima semester. Maka program penguatan bahasa asing dan kemampuan riset harus dilakukan sebelum memulai perkuliahan.

Mahasiswa pascasarjana PTKIN sulit didorong menulis tugas akhir di semester-semester awal perkuliahan karena pemahaman teori, metodologi, dan kemampuan menulisnya sangat lemah. Bahkan setelah mengikuti perkuliahan selama tiga semester pun mahasiswa pascasarjana itu tetap lemah dalam tiga hal tersebut. Hal ini sekali lagi karena mutu masukan mahasisnya sangat lemah sejak awal. Singkatnya, proses seleksi tidak ketat.

Maka, proses seleksi menjadi kata kunci dalam mewujudkan universitas riset. Istilahnya, “menyaring” calon mahasiswa bukan “menjaring”. Pada tahun-tahun pertama pendirian UIII perlu disediakan beasiswa penuh untuk memperoleh calon-calon mahasiswa yang bermutu dalam kajian Islam. Ruang kuliah, perpustakaan, jaringan internet, taman baca, dan ruang menulis khusus disiapkan dengan baik dan matang.

Ketiga, publikasi hasil riset. Melahirkan lulusan menjadi peneliti yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mustahil bisa dicapai dengan sistem dan strategi di atas. Hal lainnya adalah perlu disiapkan jurnal cetak dan daring untuk menampung karya-karya mahasiswa dan dosen, meskipun bisa saja mengirimkannya ke jurnal kampus atau asosiasi lain, baik di dalam maupun luar negeri.

UIII perlu memiliki jurnal ilmiah sendiri tentang kajian Islam Indonesia, terutama yang berbasis daring sesuai tuntutan Kemristek Dikti. Dengan demikian, ilmuwan dari dalam dan luar negeri akan mudah mengakses dan mengenal hasil-hasil riset ilmuwan Indonesia. Semakin sering artikel tersebut dibaca dan dijadikan rujukan oleh para akademisi di banyak negara, maka pelan tapi pasti UIII akan kedatangan mahasiswa dan dosen dari luar negeri.

PTKIN Indonesia tidak menjadi rujukan ilmuwan dunia karena disamping minim publikasi ilmiah juga karena hasil-hasil risetnya tidak terpublikasi secara internasional, baik cetak maupun daring. Karena itu, perlu disiapkan tenaga teknis khusus yang menangani sirkulasi artikel secara daring. PTKIN banyak yang memiliki visi menjadi universitas riset atau universitas kelas dunia tetapi mengabaikan pengadaan staf-staf khusus yang menangani jurnal daring ini.

Idealnya, tidak hanya staf yang memahami sirkulasi artikel secara daring dalam sebuah laman situs web jurnal, tetapi para penulis artikel dan mitra bebestari juga wajib memiliki akun masing-masing dan memahami dengan baik cara menggunakannya. Meski tuntutannya demikian, diakui bahwa sirkulasi artikel secara daring masih dilakukan oleh staf jurnal.

Hal di atas bisa terwujud jika pemerintah dan swasta berkomitmen menyokong pendanaan riset kajian Islam. Selama ini, dosen PTKIN sulit mendapatkan dana penelitian karena dananya terbatas, sehingga harus bersaing dengan ratusan dosen lainnya. Pada medio 2016 ini misalnya, pemerintah tiba-tiba memotong anggaran dana seluruh kementerian, yang di antaranya berpengaruh terhadap jumlah dana penelitian di kampus.

Terakhir, tidak perlu menggunakan kata internasional untuk nama universitas agar dikenal dunia. Cukup dibuktikan dengan produktivitas publikasi hasil-hasil riset yang bagus, konsisten, dan meningkat setiap tahun, insya Allah, dalam sepuluh atau dua puluh tahun setelah berdiri, UIII akan menjadi magnet penarik ilmuwan mengkaji Islam pada umumnya, dan Islam Nusantara pada khususnya.[]

Penulis adalah Dosen FITK UIN Jakarta. Tulisan dimuat di Koran REPUBLIKA, Sabtu 23 Juli 2016.