Historisitas Berjenjang

Historisitas Berjenjang

Satu lagi putra terbaik dari Jawa Barat ditasbihkan sebagai Pahlawan Nasional dan dianugerahi Bintang Mahaputera Adhipradana oleh Presiden SBY, Jumat (7/11). Sosok tersebut adalah K.H. Abdul Halim (alm.) yang bersama-sama tokoh bangsa lainnya yakni Muhammad Natsir dan Soetomo (Bung Tomo) dimuliakan nama dan karyanya sebagai sosok yang sangat layak terpatri dalam sejarah sebagai pahlawan nasional. Meski, sebelum mereka dianugerahi gelar tersebut pun, di lubuk hati masyarakat yang terdalam, mereka telah menjadi bagian utuh dari cerita dan simbol kepahlawanan bangsa ini. Tentunya, simbol pahlawan yang disematkan dalam jiwa dan pengorbanan mereka, tak lahir secara instan apalagi melalui kekuatan represif sebuah rezim yang berkuasa, melainkan melalui historisitas yang berjenjang.

Proses simbolik

Banyak pihak mengatakan, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi ketiga tokoh tadi terlambat. Namun jika dibaca dari sudut pandang berbeda, siapa pun orangnya, tatkala dia mendedikasikan diri seutuhnya bagi negara dan bangsa tanpa pamrih, maka dia akan dicatat dengan tinta emas sebagai sosok pahlawan. Cepat atau lambat masyarakat sendiri yang akan menyadari bahwa dia adalah simbol pahlawan sejati.

Kekuatan rezim mana pun tak akan sanggup menghapus ingatan masyarakat, penjara mana pun tak akan mampu membendung semangat kepahlawanan yang memancar dari diri mereka. Misalnya saja, Orde Baru menganggap Natsir sebagai tokoh yang tidak Pancasilais sekaligus pemberontak melalui Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tokoh Masyumi ini dianggap berbahaya karena bermaksud mendirikan negara Islam. Padahal yang dicita-citakan Natsir sesungguhnya adalah negara atas dasar Syariah Islam, itu pun dengan catatan jika dikehendaki secara mayoritas. Begitu pun Bung Tomo, tokoh pertempuran 10 November 1945 ini, selama Orde Baru tidak dikehendaki sebagai pahlawan. Bahkan setelah masa reformasi pun, upaya menjadikan Bung Tomo sebagai pahlawan nyaris gagal. Tahun lalu kita masih ingat, upaya Gerakan Pemuda Anshor, DPRD Jawa Timur dan elemen masyarakat lainnya berujung kekecewaan karena Departemen Sosial ternyata tidak mengusulkan Bung Tomo mendapat gelar pahlawan. Saat itu, berbagai spanduk di jalanan seolah menjadi penanda paling nyata bahwa masyarakat benar-benar menghendaki Bung Tomo menjadi pahlawan mereka.

Kiprah K.H. Abdul Halim tak diragukan dalam kontribusinya bagi bangsa dan negara. Tokoh yang lahir di Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 ini mendirikan Hayatul Qulub pada tahun 1912, yang dengan fokus membela para petani dan pedagang pribumi dari ketidakberdayaan. Mendirikan Persjarikatan Oelama (1917), menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertanggung jawab menyiapkan berbagai hal terkait dengan pembentukan negara. Jasa yang diapresiasi pemerintah dalam penganugerahan gelar kepadanya pekan lalu adalah sebagai anggota Panitia Pembelaan Tanah Air.

Kiprah seorang pahlawan bisa saja dimanipulasi lewat versi sejarah yang bias, atau direduksi melalui berbagai media, tapi kenyataan sejatinya tak akan mampu menghapus proses simbolik yang ada di masyarakat. Contoh lain, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Franklin Delano Roosevelt, merupakan bukti bahwa keikhlasan tak bisa mati karena dipenjarakan, disakiti atau pun disudutkan dalam rentang waktu yang panjang.

Simbol pahlawan ibarat "citra" muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbolisme menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi, dan didaktis. Karya, perjuangan, pengorbanan yang terus-menerus bagi bangsa dan negara merupakan prasyarat simbolisme pahlawan melekat pada diri seseorang. Menurut Deddy Mulyana (2000), simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Dengan demikian, kata kunci menjadi pahlawan adalah historisitas berjenjang atau prosesi mendedikasikan setiap penggal perjalanan hidupnya secara konsisten untuk bangsa dan negara. Sehingga, masyarakat di negara itu akan bersepakat untuk menasbihkan diri seseorang sebagai pahlawan.

Pahlawan kontemporer

Sejarah belum berakhir, lembaran kehidupan terus bergulir seiring dengan dinamisasi waktu dan persoalan. Kini, kian banyak orang yang mencitrakan dirinya seolah menjadi pahlawan. Ada yang tanpa ragu-ragu menyebut dirinya pemimpin para petani dan pedagang kecil meskipun dia tidak pernah merasakan sakitnya menjadi petani dan pedagang kecil yang terpinggirkan. Ada juga yang mengaku bagian dari "wong cilik" meski saat diberi kesempatan memimpin ternyata menyengsarakan mereka. Melalui berbagai instrumen industri pencitraan, banyak tokoh nasional kita yang harus membayar mahal untuk menjadi pemimpin. Membeli slot iklan di media massa, menyewa konsultan politik, melakukan riset pemilih, menentukan segmentasi khalayak dan hal-hal lain sebagai bagian dari marketing politik.

Menurut pakar Komunikasi Politik, Dan Nimmo (1993), bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu.

Harapan masyarakat tentunya adalah kiprah tulus tanpa pamrih dari seorang pemimpin untuk berjuang secara konsisten dengan kekuatan yang dimilikinya. Dia berjuang bukan karena menghadapi pemilu, melainkan dalam rentang historisitas berjenjang perjalanan hidupnya. Tanpa harus memproklamasikan diri menjadi pahlawan pun, masyarakat akan dengan sukarela memandatkan kepemimpinan di pundaknya. Sekalipun tidak merengkuh jabatan formal, maka dia akan hidup di hati sanubari khalayak luas. Sehingga, suatu hari nanti dia akan dikenang sebagai pahlawan, meski pahlawan tanpa anugerah tanda jasa sekalipun.***

Tulisan ini dimuat di Pikiran Rakyat, Senin 10 November 2008

Penulis adalah  peneliti di Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM),dan  Dosen Fakultas dakwah dan komunikasi  saat ini sedang menyelesaikan Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.