Hijrah dan Pendidikan Politik Kemaslahatan

Hijrah dan Pendidikan Politik Kemaslahatan

Hijrah Rasulullah itu indah, menarik, dan sarat nilai-nilai edukatif. Hijrah bukan sekedar migrasi dari satu tempat ke tempat lain secara geografis maupun geopolitik. Hijrah merupakan sebuah nilai universal yang esensinya adalah pendidikan, perubahan, perbaikan, dan pembangunan peradaban umat manusia.

Sebagai pendidikan, hijrah itu sebuah proses pemanusiaan manusia, dari alam jahiliyah kebiadaban, kesewenang-wenangan, kezaliman, dan kebobrokan moral  menuju alam syariah, dari kemusyrikan menuju jalan iman kepada Allah, dari kegelapan politeistik menuju cahaya monoteisik tauhid. Hijrah itu mendidik dan menempa umat dan agar menjadi khaira ummah (umat terbaik) yang mengemban visi profetik dan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Hijrah mengedukasi umat untuk keluar dari hegemoni tradisi jahiliyah menuju tranformasi dan kemajuan peradaban Islam (hadharah islamiyyah).

Sebagai perubahan, hijrah meniscayakan dinamika dan progresivitas. Tanpa perubahan ke arah yang lebih baik, hijrah tidak bermakna. Karena substansinya adalah perubahan mindset atau paradigma dan orientasi kehidupan. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW, misalnya, pernah menegaskan bahwa “Muhajir (orang yang berhijrah) itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.“ (HR. al-Bukhari). Berhijrah berarti berubah dari pemaksiat menjadi pribadi yang taat.

Sebagai perbaikan, hijrah itu merupakan jalan terjal yang mendaki, belantara kehidupan yang penuh duri, atau ibarat lautan dalam yang penuh ombak dan tantangan. Semua harus dijalani dan dilalui agar terjadi perbaikan. Atas instruksi Nabi, Ja’far bin Abi Thalib yang memimpin misi hijrah bersama sejumlah sahabat menuju negeri Habsyi (Ethiopia) bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi dari kaum Quraisy Mekkah. Hijrah Nabi ke Thaif, meskipun akhirnya sampai bermigrasi dan berdomisili di kota dingin itu, juga dalam rangka perbaikan kualitas kehidupan

Puncak hijrah adalah pembangunan peradaban Islam yang berkemajuan. Hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah adalah narasi besar tentang bagaimana membangun kehidupan yang berperadaban dan berkeadaban. Bukan sekedar pindah secara fisik dan geopolitik, hijrah Nabi adalah jalan kemenangan dengan strategi dakwah yang elegan dan efektif. Proses, tujuan, destinasi, dan strategi hijrah Nabi sejatinya sarat dengan pendidikan politik kemasalahatan, politik keumatan yang berorientasi kepada kepentingan umum (mashalih ‘ammah) demi kedamaian, kerukunan, kesejahteraan, dan keadilan sosial

Pendidikan Politik Fropetik

Pendidikan politik merupakan proses penyadaran warga dan bangsa agar memahami hak-hak dari kewajiban politik dalam rangka terwujudnya partisipasi publik dalam pembangunan umat dan bangsa. Pendidikan politik bukan hanya soal bagaimana mendidik masyarakat agar menjadi warga negara yang baik, tetapi juga bagaimana kesabaran warga itu diaktualisasikan menjadi warga yang partisipatif dan kontributif dalam membangun dan memajukan bangsa.

Dalam pendidikan politik, warga diperkirakan sebagai mitra sejajar dan strategis dalam mengisi dan memahami pembangunan bangsa dan negara. Perjalanan hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan sebuah potret pendidikan politik partisipatoris yang menarik. Strategi yang diterapkan Nabi dalam hijrah ini adalah strategi politik taktis dan efektif secara diam-diam, para sahabat Nabi yang berusia lanjut diminta meninggalkan Mekkah lebih awal dan berkelompok, masing-masing kelompok ada pemimpin agar semuanya berjalan secara koordinatif dan kompak.

Setelah hampir semua sahabat dipastikan dapat meninggalkan Mekkah dengan aman, sesuai dengan instruksi Nabi, hanya beberapa sahabat yang diminta untuk tetap berada di Mekkah. Mereka adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, dua anak Abu Bakar (Abdullah dan Asma), berikut pembantunya. Mereka dididik oleh Nabi untuk setia terhadap visi dan misi dakwah Islam. Mereka diminta untuk menunggu komando atau instruksi hijrah dari Nabi atas petunjuk Jibril AS. Dengan kata lain, pendidikan politik melalui hijrah ini menghendaki “permainan cantik dan elegan” dalam mengalahkan lawan politik.

Setelah perintah hijrah melalui wahyu, Nabi kemudian berbagi tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Nabi dan Abu Bakar RA meninggalkan Mekkah, berdua di malam hari menuju Selatan. Sejauh sekitar 7 km menuju Gua Tsur untuk transit, sedangkan Ali bin Abu Thalib diinstruksikan untuk menggantikan posisi tidur Nabi dengan menyesuaikan selimutnya. Abdullah ditugasi untuk menjadi pemberi keterangan dan informasi yang terus mengawasi dan melaporkan gerak-gerik pasukan musuh. Asma ditugaskan menyediakan logistik hijrah. Dan pembantu Abu Bakar diminta untuk mengacaukan dan menghilangkan jejak Nabi menuju Gua Tsur dengan menggembala unta dan domba ke arah Gua Tsur, sekaligus memeras susu untuk minuman mereka.

Pendidikan politik dalam perjalanan hijrah ini mengajarkan pentingnya “berbagi peran dan fungsi” demi keimanan, keselamatan, dan kesuksesan bersama. Pendidikan politik yang diberikan Nabi pada visi dan misi yang sama, yaitu mempersatukan dari pasukan dakwah Islam, meskipun mereka harus rela berkorban jiwa, harta benda, dan keluarga agar pembelajaran ajaran Islam terjadi. Pendidikan politik mengharuskan para sahabat Nabi memiliki etos perjuangan, keberhasilan, dan kesabaran yang prima. Tujuan akhir dari pendidikan politik adalah mewujudkan persatuan dan menyadarkan umat untuk meninggikan kalimat Allah dalam kehidupan bermasyarakat yang aman, damai, rukun, harmoni, penuh toleransi, bersejahteraan, bermartabat, dan berperadaban maju.

Politik Kemaslahatan

Politik profetik yang ditempuh oleh Nabi bukan politik yang menghalalkan segala cara demi meraih tujuan kekuasaan. Politik profetik adalah politik kemaslahatan, politik yang berdasarkan ideologi dan nilai-nilai Islam, dengan menjadikan kepentingan umat sebagai prioritas dan orientasi utama. Politik kemaslahatan berorientasi kepada kebaikan bersama, kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi, dan orang perorang. Kemaslahatan adalah nilai-nilai positif dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hijrah Nabi para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah memperlihatkan dengan jalan politik kemaslahatan. Transit Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsur selama tiga hari dan tiga malam merupakan bentuk politik kemaslahatan tingkat tinggi. Mengingat tempat yang dipilih Nabi sebagai transit itu berada di Selatan Mekkah, padahal tujuan destinasi hijrah itu secara geografis terletak di Utara. Strategis mengacaukan lawan dan musuh adalah politik kemaslahatan yang masih tersisa di Mekkah. Pengecohan ini membuat musuh tidak terkonsentrasi mengejar beliau ke arah Utara Mekkah.

Strategi berbagi tugas, peran, dan fungsi selama proses hijrah juga menunjukkan politik kemaslahatan yang bermuara kepada kesuksesan dakwah Islam. Menarik dicatat bahwa setelah Nabi dan Abu Bakar selamat dan lolos dari penangkapan para pasukan bayaran yang ditugaskan Abu Jahal. Perjalanan menuju Madinah dari Gua Tsur itu dilakukan Nabi dengan bekerjasama dengan seorang Yahudi bernama Abdullah al-Laitsi.

Pemandu jalan hijrah ini diapresiasi oleh Nabi secara profesional dengan diberi bayaran atas jasanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan politik kemaslahatan itu membuka ruang dari seseorang untuk bekerjasama dan berkoalisi. (mf)

Dr Muhbib A Wahab MA, Ketua Prodi Magister PBA FITK UIN Jakarta