Hijrah dan Pendidikan Kepribadian

Hijrah dan Pendidikan Kepribadian

Pergantian tahun baru hijriah bagi umat Islam di seluruh dunia memiliki makna historis yang sangat penting. Karena hijrah (berpindah, migrasi, dan berubah menjadi lebih baik) merupakan sebuah keniscayaan dalam perjalanan hidup umat manusia. Hijrah bukan semata peristiwa heroik Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam “menyelamatkan” masa depan Islam dan kemanusiaan dari permusuhan dan kejahatan kemanusiaan kaum kafir Quraisy Mekkah, tetapi juga merupakan rencana strategis untuk memenangkan dakwah dan peradaban Islam berkemajuan di masa depan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, spirit hijrah sangat relevan dan menarik dikontekstualisasikan untuk jihad melawan Covid-19 yang sampai saat ini belum melandai. Bahkan ada kecenderungan peningkatan angka warga terpapar Covid-19. Namun demikian, covid-19 telah “memaksa” warga dunia untuk berubah, beradaptasi, dan bertransformasi dengan budaya positif baru (new positive culture) dalam menjalani hidup ini. Dengan kata lain, hijrah di era pandemi penting dimaknai dalam konteks transformasi mental spiritual menuju edukasi budaya baru yang Islami.

Oleh karena itu, pandemi ini sarat dengan pesan pendidikan. Pandemi mendidik warga dunia untuk lebih memahami hakikat kehidupan, menjaga, melindungi, dan menyelamatkan jiwa (hifzh an-nafs), menghargai makna kesehatan, kebersihan, dan kesucian jiwa dan raga. Pandemi mendidik umat manusia menguatkan iman dan imun. Salah satu dimensi pendidikan sangat penting dikembangkan di masa dan pascapandemi adalah pendidikan kepribadian. Bagaimana pengembangan model pendidikan kepribadian yang dapat memperkuat iman dan imun pribadi Muslim, sehingga memiliki ketahanan mental spiritual yang kokoh dalam melawan Covid-19?

Pendidikan Kepribadian dan Hikmah Covid-19

Penyebaran dan penularan Covid-19 yang luar biasa massif, dan nyaris tidak ada negara di dunia yang tidak terdampak olehnya, menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan bagian dari “takdir” Allah SWT yang tidak bisa dielakkan. Akan tetapi, pandemi ini harus dihadapi, dilawan, dicarikan solusi, dan dimenangi, sekaligus diambil hikmahnya melalui proses pengkajian dan penelitian mendalam dan solutif.

Esensi hikmah adalah pelajaran terpetik (lessons learned) hasil refleksi terhadap makna dan pesan penting di balik peristiwa yang terjadi. Covid-19 yang tidak kasat mata, tetapi bisa menjangkiti siapa saja tanpa mengenal agama, suku bangsa, budaya, warna kulit, status sosial, dan sebagainya terbukti “mengharuskan” manusia mematuhi protokol kesehatan dan keselamatan.

Semua peristiwa dan ciptaan Allah di alam raya ini memang tidak ada yang sia-sia. Semua bernilai, sarat pesan, dan hikmah [QS Ali Imran /3: 121]. Semua harus dijadikan sebagai sarana dan proses spiritualisasi (dzikir) dan intelektualisasi (tafakkur, tafkir, dan tadabbur) agar manusia tidak kehilangan sandaran vertikal (pertolongan, perlindungan, kasih sayang, ampunan, dan sebagainya) [QS Ali Imran /3: 122]. Karena itu, Covid-19 membawa pesan pentingnya pendidikan kepribadian. Pendidikan ini merupakan sebuah model pendidikan yang berporos pada penyucian hati, pembentukan mental spiritual, dan pengembangan pola pikir rasional yang membuah sikap positif dan perilaku konstruktif dalam merespon segala perubahan dan permasalahan yang terjadi dalam hidup ini.

Dalam perspektif pendidikan, banyak sekali hikmah besar dan berharga yang dapat dipetik dari pandemi Covid-19. Pertama, manusia memang makhluk yang lemah [QS an-Nisa'/4: 28]. Virus corona yang tidak kasat mata membuat warga dunia “kalang  kabut”,  panik,  resah,  dan s e b a g a i n y a . Ti d a k s e p a t u t n y a m a n u s i a menyombongkan diri, apalagi merasa digjaya dan jumawa, karena Covid-19 terbukti banyak memakan korban meninggal dari berbagai kalangan. Sampai saat ini vaksin untuk mengobati penderita positif Covid-19 belum ditemukan. Kelemahan fisik manusia dalam melawan Covid-19 penting disadari karena penerimaan konsep diri sebagai makhluk lemah mestinya menggugah kearifan spiritual untuk mau mendekatkan diri kepada Allah dan memohon pertolongan dan perlindungan dari-Nya.

Kedua, selain merupakan ujian keimanan dan kesabaran, Covid-19 juga merupakan ujian keilmuan bagi para ahli di bidang epidemiologi, kesehatan masyarakat, farmasi, dan sebagainya untuk memutus mata rantai penyebaran dan penularannya. Secara klinis, Covid-19 menantang para pakar secara terbuka untuk melakukan riset mendalam dan komprehensif tentang pola penularan dan penyebarannya berikut vaksin penawarnya. Warga dunia sedang menunggu hasil riset para saintis berupa vaksin yang diharapkan ampuh melumpuhkan Covid-19. Hal ini berarti bahwa keimanan, kesabaran, dan ketekunan dalam meneliti, mengkaji, menguji klinis, dan menemukan vaksin anticovid-19 menjadi faktor determinan dalam jihad melawan pandemi global ini.

Ketiga, Covid-1 9 menyadarkan kita semua untuk bersatu padu dalam berjihad melawan pandemi ini. Jihad kolektif lintas sektoral dan multikultural dalam melawan Covid-19 merupakan upaya sungguh-sungguh dan sinergis berbagai pihak untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 dengan multiperan dan multipendekatan: klinis, medis, psikologis, sosiologis, mental spiritual, dan sebagainya. Covid-19 menyadarkan  kita  semua  b e t a p a p e n t i n g p e n d i d i k a n kepribadian yang menumbuhkan kesadaran kolektif untuk berta'awun ( berkolaborasi) menyelesaikan masalah global.

Keempat, masyarakat perlu diedukasi dengan informasi dan nilai yang benar bahwa jihad melawan corona itu harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan dan kehati- hatian. Dalam Islam, prinsip yang harus dipedomani adalah dar'u al-mafasid muqaddamun ala jalbi al-mashalih (menolak dan menghindari kerusakan harus diprioritaskan daripada meraih kemaslahatan). Karena di masa pandemi ini, hifzh an-nafs wa al- hayah (menjaga dan melindungi jiwa dan kehidupan) menjadi prioritas utama. Dengan kata lain, pendidikan  kepribadian d a l a m p e r s p e k t i f I s l a m menghendaki pengembangan sikap dan respon positif terhadap nilai kehidupan, arti keselamatan jiwa, dan pentingnya kesehatan masyarakat, sehingga setiap pribadi menunjukkan disiplin d a l a m m e m a tu h i p r o to k o l kesehatan.

Hijrah Menuju Budaya Baru

D e n g a n d e m i k i a n , pendidikan kepribadian itu bermuatan  konten  kognisi  dan  i n f o r m a s i p e n t i n g n y a beradaptasi, bertransformasi, dan hijrah (berubah menjadi lebih baik, menempuh jalan hidup baru yang lebih positif) terhadap segala perubahan secara positif dan arif. Hijrah sejati bukan bersifat fisik, tetapi h i j r a h m e n t a l s p i r i t u a l , intelektual, dan moral. Salah satu makna atau dimensi hijrah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT menuju yang  dicintai  dan d i r i d h a i - N y a ( h i j r a h kepribadian).

Hijrah menghendaki p e r u b a h a n m i n d s e t d a n paradigma hidup dari kebiasaan dan budaya lama menuju budaya baru yang senafas dengan nilai- nilai Islam. Banyak budaya positif baru yang “ dipaksa” harus dibiasakan oleh umat manusia di masa pandemi ini. Munculnya budaya baru yang Islami ini menjadi sistem nilai atau tatanan baru yang penting dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Budaya baru sebagai hasil adaptasi dan hijrah di era pandemi ini meliputi: budaya hidup sehat dan bersih, budaya tertib sosial, budaya literasi digital, budaya hemat dan ekonomis, budaya cinta keluarga, budaya belajar, budaya ramah lingkungan, dan budaya  berinovasi. H i j r a h m e n u j u b u d a y a b a r u m e r u p a k a n k e n i s c a y a a n d a r i Pendidikan kepribadian yang efektif jika umat dan bangsa memandang penting adaptasi dan aktualisasi diri dengan tatanan kehidupan baru.

Pandemi telah mengharuskan umat manusia berbudaya hidup sehat d a n b e r s i h . A j a r a n t h a h a r a h (bersuci), wudhu, salat lima waktu, salat tahajjud,  bangun  tidur  lebih  a w a l , b e r j a m a a h d i m a s j i d , mengonsumsi  makanan halalan t h a y y i b a n , d a n s e b a g a i n y a merupakan spirit hijrah yang meniscayakan disiplin hidup sehat dan bersih. Semua ajaran tersebut membiasakan kita mencuci  tangan, m e m a k a i m a s k e r, m e n j a g a k e b e r s i h a n , m e n g u t a m a k a n keselamatan dan kesehatan bersama. Pandemi mendidik warga bangsa untuk mengenyahkan gaya hidup egois, hedonis, materialistis, dan permisif.

Covid-19 juga mendisiplinkan warga bangsa untuk berbudaya tertib sosial dengan menjaga jarak fisik dan s o s i a l ( p h y s i c a l a n d s o c i a l distancing), menjauhi kerumunan, belajar antri dan disiplin berinteraksi sosial. Tertib sosial merupakan kata kunci dan modal hidup harmoni dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena,  m a s y a r a k a t d a n n e g a r a a k a n mengalami kekacauan apabila warga bangsa tidak disiplin menjaga ketertiban sosial. Oleh karena itu, menurut Ibn Taimiyah, pilar keadilan dalam semua aspek kehidupan (sosial, hukum, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya) harus ditegakkan agar tidak terjadi kekacauan.

Pandemi mengharuskan peserta didik dan mahasiswa belajar dari rumah (BDR), pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, sehingga peserta didik dan orang tua harus beradaptasi dan menguasai literasi digital. Orang tua mulai menyadari betapa tugas mendidik anak yang selama ini diperankan pendidik (guru) tidaklah ringan. Karena itu, pelibatan orang tua dalam proses edukasi anak dengan “melek literasi digital” menjadi sebuah keniscayaan. Literasi digital menghendaki budaya baru untuk arif dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara bermakna, bukan sekadar untuk bermedsos ria dan menikmati hiburan.

Budaya hemat dan ekonomis di masa pandemi juga merupakan pilihan bijak untuk dapat bertahan hidup, memiliki ketahanan ekonomi yang tangguh, karena ekonomi nasional dan dunia mengalamai pelambatan, bahkan penurunan. Oleh karena itu, budaya hemat dan ekonomi dalam membiayai kebutuhan rumah tangga dan kehidupan sosial menjadi sangat penting diskalaprioritaskan, dengan manajemen keuangan keluarga yang bijak dan proporsional. Dengan kata lain, pendidikan kepribadian membiasakan kita untuk bijak dalam belanja, berbasis kebutuhan riil, bukan berdasarkan keinginan dan selera gaya hidup; melatih tidak boros, tidak berfoya-foya, dan tidak konsumeristik dalam mensyukuri rejeki dan anugerah dari Allah SWT.

Pandemi juga mendisiplinkan warga bangsa untuk “betah di rumah”, atau mengurangi keluar rumah jika tidak sangat penting dan mendesak. Karena itu, spirit hijrah menuju budaya cinta keluarga harus dimaknai dalam rangka mengembangkan komunikasi asertif, kebersamaan dan keharmonisan dengan anggota keluarga, belajar berbagi peran dan tanggung jawab dalam membahagiakan anggota keluarga. Budaya cinta keluarga dengan peningkatan pola komunikasi, pola asuh, dan pola kebersamaan yang intens dan efektif menjadi salah satu kunci keharmonisan dan kebahagiaan semua. Bangsa ini akan tangguh, maju, dan berjaya, apabila budaya cinta keluarga ditumbuhkembangkan.

Implikasi dari budaya cinta keluarga adalah pengembangan budaya belajar dari berbagai sumber, tidak tergantung dan mengandalkan pada guru di sekolah semata. Karena itu, budaya cinta keluarga idealnya dapat mendorong anggota keluarga untuk saling berdiskusi, berbagi informasi, belajar mencari solusi bersama, belajar menghargai perbedaan pendapat, belajar arif bermedia sosial, belajar berjamaah, belajar kaderisasi imam salat (bagi yang mempunyai anggota keluarga lelaki), belajar bertaushiyah, dan sebagainya. Dengan kata lain, budaya cinta keluarga dapat difungsikan sebagai “benih pesantren berbasis keluarga” yang diorientasikan kepada pendidikan kepribadian berupa pembiasaan nilai-nilai akhlak mulia dan karaker positif.

Selama masa pandemi, budaya ramah lingkungan juga terbuka peluang untuk dikembangkan dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bercocok tanam (sayuran, buah-buahan, bunga) dan menghijaukan taman rumah. Budaya ramah lingkungan ini sangat penting untuk memperindah lingkungan rumah dan meningkatkan supply oksigen bagi semua. Budaya ramah lingkungan ini juga dapat mengembangkan nilai estetika dalam melestarikan lingkungan rumah dan sekitarnya, termasuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan.

Selain itu, pandemi juga membiasakan budaya berinovasi dalam banyak hal, khususnya bisnis on-line, rapat daring, webinar virtual, riset digital, belajar daring melalui aneka platform, dan sebagainya. Teknologi

informasi dan komunikasi berbasis internet menjadi media yang sangat membantu banyak orang  untuk b e r i n o v a s i d a l a m r a n g k a menemukan solusi, alternatif- alternatif baru, dan kontribusi positif yang kompatibel untuk tetap hidup bermakna dan bermaslahat bagi semua. Budaya inovasi untuk merengkuh masa depan yang lebih optimistis dan bermakna dapat dikembangkan melalui pendidikan kepribadian yang melatih dan membiasakan berpikir kreatif dan inovatif.

Akhirul kalam, hijrah di era p a n d e m i m e l a t i h d a n mendisiplinkan kita semua untuk berbudaya baru yang Islami melalui pendidikan kepribadian yang produktif, karena semua budaya positif tersebut relevan dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Dengan hijrah menuju budaya positif baru tersebut, kita dapat mengatasi aneka persoalan bangsa yang hingga saat ini masih m e n j a d i b e n a l u k e m a j u a n peradaban bangsa.

Budaya baru tersebut mengharuskan kita menghijrahi (meninggalkan) budaya korupsi, kolusi, nepotisme, ancaman serius kebangkitan komunisme yang menyelinap dalam berbagai jaringan kekuasaan. Dengan pendidikan kepribadian bervisi dan berawasan Islam dan nasionalisme, k i t a h a r u s h i j r a h d e n g a n menyelamatkan masa depan Indonesia dari keterpurukan yang lebih dalam, kebangkrutan,  dan k e h a n c u r a n . P e n d i d i k a n kepribadian dengan spirit hijrah m e n u j u b u d a y a b a r u I s l a m i mengharuskan kita semua untuk bersikap waspada dan siap siaga menghadapi pengkhianatan dan mengganyang PKI yang nyata-nyata berupaya dengan menghalalkan segala cara untuk membelokkan kiblat bangsa Indonesia. Selamat Tahun Baru Hijriyah 1442 H. []

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 09/XVIII Muharram 1442 H/September 2020 M. (mf)