Haji dan Perubahan Sikap Keberagamaan

Haji dan Perubahan Sikap Keberagamaan

Oleh: Ayang Utriza Yakin

Dalam sejarah Islam di Nusantara, para haji yang kembali ke kampung halamannya menjadi agen perubahan di tengah masyarakatnya. Untuk mengerakkan perubahan tersebut, ada yang menggunakan sikap hanifiyyah (moderat). Sikap moderat diwujudkan dalam bentuk penghargaan terhadap budaya dan kebiasaan setempat dengan cara menghapus secara perlahan unsur yang bukan-Islam, namun secara bersamaan memasukkan unsur keislaman. Ini yang dilakukn para Wali Songo di Jawa dan penyebar Islam awal di Sumatera serta daerah lainnnya di Nusantara. Dengan jalan ini, Islam tersebar dan diejawantahkan ke dalam kehidupan keseharian dengan jalan damai.

 Kendati demikian, ada yang tidak sabar dalam melakukan perubahan dalam masyarakat. Karen itu, setelah kembali ke daerahnya, ada yang mengedepankan sikap haruriyyah (radikal) dalam mendakwahkan pemahaman keislamannya. Para haji itu ingin menerapkan apa yang mereka lihat selama ibadah haji di Tanah Suci sebagai suatu kebenaran

Inilah yang terjadi di dalam beberapa fase sejarah Islam di Nusantara. Jemah haji Nusantara saat tiba di Tanah Suci melihat perilaku ibadah, cara berpakaian, dan pola hidup orang-orang Arab sebagai suatu rujukan yang harus dijadikan contoh dan teladan. Pada saat yang sama, mereka menilai apa yang dilakukan umat Islam di daerahnya adalah salah, keliru, dan menyimpang. Dengan demikian, hal itu harus dibenarkan dan diluruskan. Cara pandang seperti ini terbukti telah menimbulkan konflik dalam sejarah Islam di Nusantara. Contoh-contoh di bawah ini membuktikan alasan tulisan ini.

Pertama, apa yang terjadi di Banten pada abad jke-17. Sultan Abdul Kahar Abu Nasar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji (k. 1682-1687) dari Kesultanan Banten, sikap keberagamaannya berubah setelah pulang haji. Ia berpakaian ala orang Arab, yaitu menggunakan jubah dan turbam, seperti mullah/syaikh (baca, Mémoires sur la prise de Bantan par les Hollandais, 7 avril 1682, dans Bénigne Vachet, “Mémoire de Mr. Bénigne Vachet,” Paris: Archives des Missions Etrangers de Paris (AMEP), microfiche, vol. 112B, 7e jaquette, pp.377-8). Perubahan sikap keberagamaannya menjadi kebijakannya saat itu. Sultan Haji memerintahkan penduduk Banten saat itu menggunakan jubah dan memanjangkan jenggot. Sultan Haji mengambil jalan radikal untuk mendakwahkan Islam di Banten. Ia menggunakan kekuasaan untuk menerapkan syariah, tanpa mempedulikan kebudayaan setempat.

Sultan Ageng Tirtayasa (k. 1651-1682), ayah Sultan Haji, resah oleh sikap anaknya yang dinilai menumbuhkan nilai-nilai fundamentalisme di tengah masyarakat Banten. Sebab Sultan Haji menerapkan apa yang dianggapnya sebagai satu kewajiban agama setelah melihat apa yang ada di Tanah Suci. Ia tidak dapat membedakan antara budaya dan ajaran agama. Sultan Ageng berupaya membantenkan Islam, sementara Sultan Haji ingin mengarabkan Banten. Sultan Ageng menjunjung nilai dan adat setempat, sementara sang anak dihinggapi perasaan rendah diri terhadap kebudayaan luar, sehingga perlu mengadopsinya. Tentu, perubahan sikap keberagamaan Sultan Haji yang menjadi radikal menimbulkan konflik. Perselisihan itu terjadi bukan saja antara bapak dan anak, tapi juga antara Sultan Haji dan para pembesar kerajaan dan punggawa serta rakyat Banten secara umum.

Kedua, apa yang terjadi di daerah Minangkabau —sekarang Sumatera Barat— pada awal abad ke-19. Ketiga haji, yaitu Haji Miskin, Haji Piobangm dan Haji Sumanik, setelah kembali dari berhaji, menerapkan ajaran yang tengah berkembang di Semenanjung Hijaz saat itu, yaitu Wahabisme. Ajaran ini merupakan tafsiran yang sangat puritan dalam mazhab Sunni yang ingin membasmi apa pun yang dianggap sebagai penyimpangan akidah, seperti bidah, tahayul, dan khurafat. Tiga haji ini pun mendakwahkan keislaman mereka ala Wahabi dengan jalan radikal. Pada gilirannya, ajaran ketiga haji ini telah memicy terjadinya perang Padri pertama (1821-1825), perang antara para pendukung penerapan syariah ala Wahabi yang keras dan kaum Adat saat itu.

Menurut Jeffey Hadler (2008) dalam bukunya Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism, perang Padri adalah jihad neo-Wahabi yang penuh kekerasan. Perang Padri meletus akibat sikap radikal yang diterapkan oleh para pemimpinnya, yaitu Harimau Nan Salapan, yang tidak lain murid langsung maupun murid ideologis tiga haji tersebut. Pemimpin dan pengikut ajaran ketiga haji itu, tulis Hadler, menyerang lembaga-lembaga martriarkat, membakar rumah gadang, membunuh kepala adat, serta membunuh pemimpin dan pendukung suku. Mereka menuntut ketaatan mutlak terhadap apa yang mereka tafsirkan sebagai jalan kehidupan yang diharuskan dalam Al-Quran.

Apa yang telah terjadi dalam sejarah Islam di Nusantara, hal itu pun terjadi pada masa kini dan kita rasakan. Di abad yang lalu, ke-20, dan sekarang, ke-21, kita telah menyaksikan betapa banyak orang yang berhaji dari Indonesia dan, setelah kembali ke kampung halaman, mereka mulai mendakwahkan ajaran yang tidak ramah terhadap budaya setempat.

Mereka melihat dan langsung menilai bahwa apa yang dipraktekkan di Tanah Suci sebagai suatu rujukan mutlak yang harus diikuti. Kebanyakan dari mermeka tidak tahu dan tidak mendalami agama secara khusus. Karena kedangkalan pengetahuan keagamaan mereka, maka apa yang mereka lihat sudah dianggap sebagai yang benar. Setiba di Tanah Air, mereka menilai apa yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesian tidak Islami dan karenanya sesat dan kafir. Sikap keberagamaan inilah yang banyak menimbulkan permusuhan di tengah masyarakat.

Dengan demikian, untuk menghindari hal-hal tersebut di atas, manasik haji menjadi syarat mutlak bagi siapa pun jauh haris sebelum ia berangkat. Salah satu materi pelajaran yang harus diajarkan adalah identitas Islam Nusantara. Hal ini penting untuk mencegah pemahaman yang salah dan keliru sepulang dari Tanah Suci.

Pelajaran keislaman dan kebangsaan menjadi penting guna mengokohkan jati diri muslim Indonesia dan menghindari pemahaman yang tidak tepat tentang apa itu yang benar dalam Islam. Perubahan keagamaan harus ke arah yang lebih baik. Kembali dari Tanah Suci harus justru memberikan gambaran betapa banyak ragam cara ibadah umat Islam. Mekkah menjadi laboratorium pembelajaran tentang kemajemukan penafsiran ajaran Islam. Kesinilah seharusnya muara perubahan sikap setelah pulang haji mengarah: sikap keberagamaan yang santun dan moderat.

Penulis adalah Wakil Ketua LTM-PBNU 2015-2019 dan Redaktur Pelaksana Jurnal Studi Islamika PPIM UIN Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom opini Koran Tempo (halaman 14), Jumat 25 September 2015.